Tiga malam di Jaffna sebenarnya masih kurang. 24 jam lagi setidaknya. Untuk menyusuri pantai-pantai yang ada di sekeliling Jaffna serta dua pulau besar di sekitarnya. Apa mau dikata. Durasi traveling terbatas memaksa saya untuk berpindah kota. Dan tujuan saya berikutnya adalah Sigiriya.
Jangan lupa untuk membaca juga catatan perjalanan sebelumnya di Sri Lanka:
Daftar Isi
Dari Jaffna ke Sigiriya
Tidak ada kereta yang langsung menuju ke Sigiriya. Pun begitu dengan bus. Tapi moda transportasi tersebut lebih ramah kantung. Cukup berganti rute sekali saja. Diawali dari Jaffna menuju Dambulla. Disambung dengan rute Dambulla ke Sigiriya.
Sayangnya saya telat tiba di terminal bus. Memasuki area terminal pukul setengah sembilan lewat. Berselang sekitar 10 menit saja dari jadwal keberangkatan bus pertama menuju Dambulla. Terpaksa menunggu hingga jadwal keberangkatan selanjutnya. Pukul setengah sebelas siang.
TIPS: Jadwal keberangkatan bus di terminal Jaffna bisa berubah sewaktu-waktu. Cek jadwalnya di papan whiteboard yang ada di pos informasi (dekat toilet).
Beberapa hari di Sri Lanka sudah membuat saya paham posisi paling strategis di bus. Pojok kiri depan. Satu-satunya kursi dimana kaki kita bisa selonjoran.
Perjalanan menuju Dambulla normalnya ditempuh selama kurang lebih 4-5 jam. Biayanya 380 LKR. Hujan turun (nyaris) sepanjang perjalanan. Baru sekitar pukul 4 sore saya tiba di Dambulla. Itu pun tidak di terminal. Seluruh penumpang diturunkan di pusat kota. Dekat Bentoka Bake House.
Sebenarnya hanya perlu untuk menyeberang jalan untuk mendapatkan bus yang menuju Sigiriya. Kurang informasi, saya justru memutuskan untuk berjalan kaki sekitar 900 meter menuju terminal bus. Di tengah guyuran hujan. Untung sudah beli payung ungu.
Dari Dambulla menuju Sigiriya ternyata tidak terlalu jauh. Perjalanan mungkin hanya sekitar 30 menit saja. Berbiaya 40 LKR. Perlu diketahui kalau bus tersebut hanya akan mengantar hingga halte di ujung luar kota Sigiriya. Tidak sampai masuk ke dalam kota. Tidak masalah sih bagi turis. Mayoritas hotel ada di pinggiran kota. Bukan di dalam.
Apes, saya tidak melihat keberadaan penginapan saya saat bus melaju. Padahal dari peta seharusnya berlokasi tepat di pinggir jalan raya. Terpaksa turun di halte terakhir itu. Dobel apes, tidak ada sinyal di wilayah tersebut. Tidak bisa cek Google Maps. Mau tidak mau naik tuk tuk. Pasrah dengan tawaran 150 LKR dari driver karena memang tidak tahu lokasi. Nyatanya hanya berjarak 200 meter dari halte. DUA RATUS METER.
Penginapan di Sigiriya
Saya menginap di Kalana Homestay. Nama lainnya Flower Inn. Biayanya 1400 LKR per malam. Atau sekitar Rp 110.000,-. Letaknya tidak jauh dari Sigiriya Rock dan juga Pidurangala Rock. Keduanya magnet utama kota Sigirya. Berturut-turut 800 meter dan 1.8 km jaraknya.
Di depan hotel berjajar beberapa restoran, toko kelontong, dan tur / rental kendaraan. Sekilas mengingatkan saya pada jalan Pantai Kuta di Bali. Versi sepi. Iya, benar-benar sepi. Mengingat bahwa waktu itu adalah musim penghujan. Musim yang acap dihindari wisatawan.
Layaknya introvert, saya girang melihat suasana sekitar saat itu. Reflek mengiyakan saat nenek pemilik homestay menawarkan apakah saya ingin menginap lebih dari durasi yang saya booking. Dari yang hanya semalam menjadi dua malam.
Saya memang gampang tergoda. Lemah.
Kamarnya sendiri cukup luas. Bahkan cukup untuk 4 orang. Tempat tidurnya saja dapat 2 biji ukuran Queen. Tidak ber-AC. Juga tidak ber-TV. Kamar mandi dalam dengan shower dan air panas. Letaknya di bagian depan bangunan utama. Dengan akses masuk terpisah. Perfect bagi saya.
Kuliner di Sigiriya
Seperti disebut di atas, di depan hotel berjajar beberapa restoran. Di antaranya Ahinsa, Chooti, Pradeep, Shenadi, Wijiseri, dan D.H.S. Fernando. Baik menu dan harga rata-rata sama.
Hampir semua menu mengkombinasikan makanan khas Sri Lanka dan India. Kurang lebih harga di masing-masing resto tidak jauh berbeda. Jadi pilih saja yang kira-kira paling sreg di hati. Gak usah repot membandingkan harga.
Saya sendiri makan di tiga tempat yang disebut pertama. Ahinsa di malam pertama. Chicken Kottu dan lupa segelas jus buah apa. Habisnya 600 LKR. Porsi cukup berlimpah. Tidak kuat untuk saya habiskan sendiri. Untung pasukan laron menyerbu lampu-lampu restoran saat perut sudah mulai kenyang. Dua di antaranya jatuh ke gundukan Chicken Kottu saya. Jadi ada alasan untuk tidak menghabiskannya.
Kuliner Kottu ini sendiri cukup menarik. Benar tidak terlalu terasa kalau bahan dasarnya adalah roti. Tapi sepertinya saya tidak mampu mengkonsumsinya dalam jumlah banyak. Jadi eneg.
Keesokan harinya saya menjajal restoran Chooti. Pesan Coconut Rotti dan segelas kopi. Bonus sepiring buah potong. 500 LKR harganya. Coconut Rotti agak mencewakan. Seharusnya dapet home-made sambol. Tapi ditunggu-tunggu tetap tidak disajikan. Mungkin karena masih pagi. Home-made sambol-nya belum sempat di-made.
Malam terakhir di Sigiriya saya putuskan untuk menyantap kuliner khas Sri Lanka yang paling mahal. Chicken Devilled atau Devilled Chicken. Saya mememesannya di Pradeep. Kebetulan juga lebih murah dari yang ditawarkan Ahinsa dan Chooti. Ditambah segelas teh dan pajak, total tagihan saya adalah 880 LKR.
Saya tidak bisa mendeskripsikan rasa hidangan ini. Di Indonesia sepertinya ada yang serupa. Tapi lupa namanya. Yang jelas top markotop ntap surantap. Pantas kalau selalu dibandrol harga mahal. Banyak diminati wisatawan juga.
Di malam terakhir juga saya iseng membuat mie instan. Kottu Mee namanya. Di sini terbukti kenapa Indomie banyak dipuja di berbagai belahan dunia. Si Kottu Mee hambar rasanya. Bagai minum dan makan rebusan air saja.
Sigiriya Rock dan Pidurangala Rock
Sigiriya Rock adalah bekas benteng kuno yang terletak di atas sebuah tebing batu setinggi hampir 200 meter. Nama lainnya Lion Rock. Dulunya tempat tersebut digunakan sebagai kerajaan oleh King Kasyapa (477–495 CE). Raja kedua dari dinasti Mauryan. Raja Kasyapa ini pula yang mengembangkan wilayah kota di sekitar Sigiriya Rock.
Pasca Raja Kasyapa lengser, para pendeta Budha menggunakan bekas istananya sebagai biara. Ini berlangsung hingga abad ke-14. Kini Sigiriya Rock ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs World Heritage. Warisan Dunia.
Tiket masuk Sigiriya Rock untuk turis manca adalah $30. 5000 LKR lebih. Mendekati 500 ribu rupiah. Setengah juta. Berbanding entah berapa persen dengan tarif turis lokal. Tidak sampai 30 sen.
Itu sebabnya saya tidak masuk ke sana. Alih-alih, Pidurangala Rock yang jadi tujuan. Sedikit lebih jauh dari Sigiriya Rock. Tapi tiket masuknya lebih masuk akal. Cuma 500 LKR. Sepersepuluhnya gaesss.
Pidurangala Rock sendiri adalah temple di atas tebing batu. Memang tidak semegah Sigiriya Rock. Tapi jika cuaca cerah kita bisa menyaksikan Lion Rock dari puncak Pidurangala Rock.
Apakah itu yang saya alami? Tentu tidak 😀
Hujan masih belum berhenti semenjak hari kedatangan saya. Berlanjut hingga keesokan harinya. Saya pun berjalan kaki dari hotel hingga Pidurangala Rock di tengah turunnya air hujan. Melewati kumpulan monyet yang sedang cangkruk di sisi kiri. Serta papan pengumuman di sungai yang kurang lebih berisi peringatan agar hati-hati dengan buaya yang sedang berjemur.
Gak takut? Yang ada di kepala saya pada saat itu adalah kecepatan lari buaya pastinya di bawah manusia normal. Belakangan saya baru tahu kalau kecepatan lari buaya SAMA DENGAN manusia normal. Untung waktu itu gak ada buaya, hehehe.
Setelah melewati salah satu pintu masuk Sigiriya Rock, saya tiba di jalanan kecil yang kiri kanannya hutan lebat. Di sini saya putuskan untuk naik tuk-tuk saja. Bukan capek. Tulisan “Beware Elephant” jadi penyebabnya. Yang ini saya yakin kecepatan larinya lebih kencang dari manusia. Bisa penyet kalau terinjak.
Driver tuk-tuk tidak menentukan tarif. Bayar seikhlasnya. Saya merasa diselamatkan dari injakan gajah. Saya beri dia 200 LKR.
Tiket masuk Pidurangala Rock benar 500 LKR saja. Penjaga tiket menawarkan pemandu. Hujan yang turun sebagai alasannya. Saya menolak. Kalau bingung atau tersesat kan tinggal ngikutin pengunjung lain. Pelit dot com.
Usaha mencapai puncak Pidurangala Rock bisa dibilang tidak terlalu berat. Jalur pendakian mungkin hanya separuh atau sepertiga dari Sigiriya Rock. Kata orang-orang sih. Namun di bagian akhir harus sedikit berjuang. Belum ada tangga dan penunjuk arah. Harus memanjat batu-batu besar mengikuti insting. Yang sudah biasa trekking mungkin ora masalah. Tapi tetep ribet juga mendaki sambil bawa-bawa payung itu.
Karena hujan, kondisi cuaca menjadi berkabut. Jangankan melihat Sigiriya Rock. Menatap lebih dari beberapa puluh meter di depan saja sudah susah. Saya sempat menunggu bersama empat orang turis. Sepasang pria wanita dari Perancis. Serta dua orang cowok dari Itali dan Spanyol. Pada akhirnya kami menyerah. Pasrah tidak bisa memperoleh apa yang harusnya bisa diperoleh.
Ada drama ngomong-ngomong. Selain empat orang turis, sebenarnya ada sekelompok remaja lokal di sana. Salah satunya, seorang wanita, mabuk. Berkali-kali ia hendak meloncat turun dari pinggir tebing. Dianya tertawa-tawa, sahabat-sahabatnya kelimpungan menahan. Seru.
Total Pengeluaran
Berikut ini adalah rincian pengeluaran selama berada di Sigiriya selama 3 hari 2 malam. Untuk hari ketiga kebetulan tidak ada pengeluaran apa-apa. Langsung cuss menuju kota berikutnya tanpa sarapan terlebih dahulu. Hemat gaes.
Keterangan | Biaya (LKR) |
---|---|
Bus Jaffna -> Dambulla | 380 LKR |
Beli air mineral | 50 LKR |
Bus Dambulla -> Sigiriya | 40 LKR |
Tuk-Tuk ke Penginapan | 150 LKR |
Makan di Ahinsa Restaurant | 600 LKR |
Total pengeluaran pada hari pertama di Sigiriya adalah 1220 LKR.
Keterangan | Biaya (LKR) |
---|---|
Sarapan di Chooti Restaurant | 500 LKR |
Tuk-Tuk ke Pidurangala Rock | 200 LKR |
Tiket masuk Pidurangala Rock | 500 LKR |
Tuk-Tuk ke penginapan | 300 LKR |
Bayar Kalana Homestay (2 malam @ 1400 LKR) | 2800 LKR |
Beli minum dan mie instant | 200 LKR |
Makan malam di Pradeep Restaurant | 880 LKR |
Total pengeluaran pada hari kedua di Sigiriya adalah 5380 LKR.
Dengan demikian, total pengeluaran selama 3 hari 2 malam di Sigiriya adalah 1220 + 5380 = 6600 LKR atau sekitar 505 ribu dengan menggunakan kurs pada saat artikel ini ditulis.
Leave a Reply