Review Film Kembang Kantil (2018)

Sebelum “Roh Fasik” dan “Uka Uka The Movie“, Ubay Fox pernah membesut film horor lain yang bertajuk “Kembang Kantil”. Saya tidak tahu apa yang harus saya harapkan dalam film ini mengingat bagaimana kita tahu sendiri kualitas kedua judul yang disebut barusan. Tapi yah, siapa tahu ada kejutan dari film yang dibintangi oleh Irish Bella, Nafa Urbach, dan Sarwendah ini. Yuk deh, simak sinopsis dan review singkatnya di bawah.

Sinopsis Singkat

poster kembangkanthil

Demi menghadiri pementasan teater Alisa (Irish Bella) datang ke rumah kakaknya Anton (Fadika Royandi) dan istrinya Santi (Nafa Urbach). Di rumah itu Alisa bertemu Tania (Richelle Georgette Skonicki), anak angkat Anton dan Siska. Alisa langsung menyadari keanehan sikap Tania yang misterius. Alisa memergoki Tania sedang memakan kembang kantil di kamarnya. Teror gaib mulai dialami Alisa, hingga munculnya sosok pria misterius Toro (Dorman Borisman) yang mengingatkanya agar jangan mendekati Tania. Didorong rasa penasaran Alisa mulai mencari tahu asal-usul Tania. Ia ditemani Aldy (Kevin Kambey), senior Alisa di teater, ke sebuah panti asuhan. Di sana mereka bertemu Novi (Sarwendah) pemilik panti asuhan. Dari Novi terkuaklah masa lalu Tania yang kelam. Alisa mulai bergerak melaksanakan misi-misi yang semakin berbahaya.

Tanggal Rilis: 29 November 2018
Durasi: 80 menit
Sutradara: Ubay Fox
Produser: Dheeraj Kalwani
Penulis Naskah: La Ode Muhammad Farhan
Produksi: MD Pictures, Dee Company
Pemain: Irish Bella, Nafa Urbach, Fadika Royandi, Richelle Georgette Skornicki, Kevin Kambey, Sarwendah, Dorman Borisman

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Untuk kesekian kalinya ada film horor lokal yang punya pembukaan menarik namun keteteran di pertengahan hingga akhir. Babak pertama cerita terbilang berjalan mulus tanpa adanya lobang yang bikin geleng-geleng kepala. Kejanggalan justru hadir dari sisi set latar yang digunakan. Mulai dari bangunan panti asuhan yang tidak ubahnya rumah mewah, hingga rumah keluarga Anton dan Santi yang bak istana namun terlihat hanya memperkerjakan satu orang asisten rumah tangga saja.

Tema kembang kantil yang diangkat secara keseluruhan bagi saya sudah pas. Dalam arti, ada kejelasan benang merah antara judul dengan isi cerita. Tidak sekedar tempelan saja seperti sebagian film sejenis. “Alas Pati” misalnya.

Film mulai terasa membosankan saat teror gaib bermunculan. Begitu-begitu saja polanya. Dengan bumbu volume keras pula. Adegannya pun nyaris repetitif. Terlihat dari bagaimana cara tiga karakter menemui ajal. Semuanya terlempar ke tembok lantas menancap di benda tajam. Hanya satu yang berbeda, ketiban kipas angin yang ada di langit-langit kamar. Sayangnya, tidak serius untuk dibuat berbeda. Malah terasa tidak masuk akal, mengingat putaran baling-balingnya terlihat sangat lambat sesaat sebelum jatuh. Tidak sebanding dengan efek yang kemudian ditimbulkan.

Ada sebagian penonton yang sepertinya gagal paham bahwa ada dua setan yang beraksi dalam “Kembang Kantil”. Yang satu adalah perwujudan iblis merah, satu lagi arwah Lastri, ibu Tania. Yang bagi saya perlu diacungi jempol adalah terlihat jelas perbedaan di antara keduanya. Yang satu memang melakukan teror secara agresif, yang satu lagi bertindak pasif untuk memberi petunjuk.

Semakin mendekati akhir, sutradara Ubay Fox seolah diburu durasi untuk segera menamatkan film ini. Seperti Alisa yang tiba-tiba bisa tahu tempat tinggal Toro, atau Santi yang memilih untuk bersusah payah meletakkan kembali mayat Aldy di atas motor ketimbang menyembunyikannya di semak-semak. Toh sama-sama ketahuan juga kalau doi sudah mati.

Alunan tembang yang dilantunkan Nafa Urbach cukup mampu membangun suasana jadi sedikit creepy. Setidaknya bisa bikin sedikit memaafkan altar penyembahan iblis yang dihiasi oleh patung prajurit romawi. Adegan pertarungan penutup juga tergesa-gesa sehingga berakhir begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang berarti.

Tidak terlalu banyak karakter dalam film ini sehingga semua terasa pas pada porsinya. Akting Irish Bella serta Nafa Urbach sebagai pemeran utama bagi saya cukup memuaskan.

Penutup

Pola ‘rapi di awal keteteran di belakang’ untuk film horor lokal sepertinya memang sudah menjadi masalah yang mendarah daging sejak beberapa tahun lalu. Bahkan beberapa sutradara papan atas pun terkadang turut mengalaminya. Entah apa penyebabnya. “Kembang Kantil” adalah salah satunya. Nafsu menakut-nakuti penonton dengan jump scare seolah tidak sebanding dengan kreatifitas yang dimiliki dalam mengolah momen yang berkaitan. Alih-alih ketakutan, penonton jadi gerah dan bosan melihat adegan serupa yang terus menerus diulang. Debut Nafa Urbach di layar lebar sendiri terbilang memuaskan, walau sayangnya harus rela tertutupi oleh buruknya kualitas naskah skenario yang ada.

Masih layak ditonton jika Anda gabut. 5/10.

rf kembangkantil

Leave a Reply