Bulan Maret 2019 bisa dibilang bulan dengan pengalaman menonton yang paling tidak menyenangkan yang pernah saya alami. Dua kali saya berada dalam studio yang sama dengan penonton-penonton yang tidak memahami etika. Tidak orang dewasa, tidak remaja alay. Sama saja kelakuannya. Seolah mereka lupa, bahwa yang membayar tiket bukan cuma mereka saja. Yang ada di bangku penonton lain, termasuk saya, juga bayar loh.
Sejak beberapa bulan terakhir sebenarnya etika menonton sudah rutin diinformasikan di awal film. Seperti misalnya untuk tidak berbicara dengan volume keras, tidak menggunakan perangkat handphone, serta memahami batasan umur yang ditetapkan untuk judul film yang bersangkutan.
Yang amat sangat sering saya temui adalah penonton yang menggunakan ponsel. Biasanya mereka membuka WA atau Instagram di tengah-tengah berlangsungnya film. Ada juga yang hapenya bolak balik muncul notif, tapi bukannya disimpan di saku, malah ditaruh di luar / dipegang sehingga nyala layarnya berkali-kali hidup mati. Bahkan ada pula yang dengan santainya menerima panggilan dalam jangka waktu yang lumayan lama. Hampir 10 menit!
Ngobrol dengan teman sebangku dengan suara keras sebenarnya sudah jarang saya alami. Tapi entah kenapa, di dua film yang saya tonton bulan ini, “The Sacred Riana: Beginning” serta “MatiAnak”, saya apes duduk di deretan bangku di belakang sekelompok anak SMA yang sibuk ketawa ketiwi gak jelas di hampir sepanjang film.
Harus diakui, masalah etika dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia memang masih belum tertanam dengan baik. Tidak perlu menuding salah satu generasi karena nyatanya merata. Jadi tidak perlu heran ketika di MRT Jakarta kemarin banyak ulah penumpang yang bikin geleng-geleng kepala. Mulai dari piknik di area peron sampai berdiri di atas kursi gerbong.
Saya jadi ingat satu momen yang bikin saya memutuskan untuk traveling.
Beberapa tahun lalu, saya pertama kali ke luar negeri. Ke Singapura tepatnya, bersama dengan keluarga. Saat sedang naik MRT, ada beberapa orang Indonesia, kebetulan semuanya wanita, yang dengan santainya duduk di lantai. Posisinya pas di antara dua pintu gerbong, yang ada tiang di tengahnya. Penumpang yang ada di sebelah saya, bule (bukan warga Singapura), melihat fenomena tersebut sambil menatap jijik dan berkata ke teman di sebelahnya.
“Indonesian”.
Cuma satu kata, yang bahkan bukan ditujukan untuk saya. Tapi malunya setengah mati. Sejak itu saya bertekad untuk bisa traveling ke banyak negara dan menunjukkan bahwa orang Indonesia bisa juga jadi ‘turis’ yang baik dan beretika.
Eniwei, saya berharap semoga ke depannya semakin banyak penonton bioskop yang paham akan etika saat menonton sehingga tidak merugikan atau menganggu kenyamanan penonton yang lain. Aminnn.
Untuk film horor lokal, ada 3 judul yang saya tonton di bulan Maret kemarin. Yaitu “Reva Guna Guna”, “The Sacred Riana: Beginning”, dan “MatiAnak”.
“Reva Guna Guna” punya premis yang menarik dan berbeda. Latar rumah perawatan pasien yang dianggap gila dengan sedikit bumbu kriminal di awal. Sayangnya, banyak yang mencewakan dari segi cerita maupun eksekusinya. Hal kecil yang tidak konsisten, alur yang bikin dahi berkenyit, serta kemunculan hantu yang gak nyeremin adalah tiga penyebab utamanya. Apalagi hantu yang tidak biasa dan diniatkan jadi daya tarik malah bikin blunder karena tidak sesuai dengan mitosnya. Satu-satunya momen yang berkesan dalam film ini mungkin adalah adegan saat Angel Karamoy mandi, hehehe.
“The Sacred Riana: Beginning” sebenarnya cukup saya harapkan. Janji cerita yang mengangkat asal usul karakter The Sacred Riana terdengar menarik. Apalagi sutradaranya, Billy Christian, cukup eksis di Youtube dengan konten-konten yang berbau mistis. Sayangnya, harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Ceritanya sama sekali tidak memuaskan siapa saja yang ingin tahu seluk beluk karakter The Sacred Riana. Alurnya sangat lambat, yang anehnya berimbas ke tingkah laku karakternya. Ada setan dengan nafsu membunuh di hadapan mata, tapi karakter-karakternya cuma berlari-lari kecil saja. Saya yakin emak-emak yang bergegas ngambil jemuran saat hujan tiba-tiba turun geraknya jauh lebih cepat dari para karakter di film ini.
Padahal, sekali lagi, film ini punya potensi menjanjikan. Setting cerita di bagian akhir, di sebuah taman hiburan, termasuk jarang dieksplor di film horor lokal. Namun lagi-lagi, karakter-karakter yang seolah kegendutan dan tidak bisa berlari jadi kendala utamanya. Ini belum ngomongin masalah naskah dan dialog ya.
Detilnya baca sendiri deh di https://curcol.co/review-film-the-sacred-riana-beginning-2019-14757.
Film terakhir yang rilis di bulan Maret 2019 justru surprisingly excellent. “MatiAnak” sebenarnya agak bikin pesimis. Ini adalah debut pertama Derby Romero sebagai sutradara, sementara sebelumnya ada debut Maxime Bouttiere, juga sebagai sutradara, dalam “Kain Kafan Hitam” yang amat sangat mengecewakan. Tapi Derby membuktikan bahwa ia tidak hanya piawai dalam berakting, melainkan juga dalam merealisasikan naskah skenario menjadi sebuah film yang super keren.
Cerita selalu jadi pertimbangan utama bagi saya pribadi. Skenario besutan William Chandra dan Wendy Chandra terbukti minim celah. Hanya ada satu dua kejanggalan yang sangat bisa untuk dimaafkan mengingat banyak hal positif yang menutupinya. Alur cerita mengalir dengan wajar. Bahkan saat twist yang benar-benar tidak disangka pun sama sekali tidak terasa sebagai sebuah ‘tempelan’ demi mengejutkan penonton belaka.
Akting? Ada yang mengatakan akting Cinta Laura Kiehl di sini biasa-biasa saja. Yang saya lihat, hampir semua pemain di sini memerankan karakternya dengan pas, sesuai porsi. Tidak lebay, juga tidak loyo.
Kalau mau lebih jelas, baca aja review saya selengkapnya di https://curcol.co/review-film-matianak-2019-15032.
Tanpa perlu banyak mikir, saya bisa nobatkan “MatiAnak” sebagai film horor lokal terbaik di bulan Maret 2019. Mungkin bahkan di sepanjang tahun 2018-2019, kalau menurut saya pribadi ya. Yang pasti, jika teman-teman rindu film horor lokal Indonesia yang berkualitas, jangan sampai tidak menonton film layar lebar tersebut.
Leave a Reply