Setelah kecewa dengan debut Maxime Bouttier sebagai sutradara dalam “Kain Kafan Hitam”, agak dilema juga apakah bakal nonton “MatiAnak”, debutnya Derby Romero dalam jabatan yang sama. Untungnya, kali ini keputusan saya untuk ‘nekat’ nonton film horor tersebut tidak salah. Tanpa ragu akan saya sampaikan di awal paragraf, ini adalah film horor lokal TERBAIK yang saya tonton sepanjang tahun 2019 (mungkin bahkan 2018). WAJIB DITEMBUSKAN 1 JUTA PENONTON!
Sinopsis Singkat
Sutradara: Derby Romero
Produser: Manoj Punjabi
Penulis Naskah: William Chandra, Wendy Chandra
Pemain: Cinta Laura Kiehl, Jovarel Callum, Irsyadillah, Fatih Unru, Basmalah Gralind, Juliant Rafael, Gesata Stella, Yayu Unru, Elsa Diandra, Chico Radella, M. Rafli, Arswendi Bening Swara
Distributor: Warna
Produksi: PIChouse Films
Tanggal Rilis: 28 Maret 2019
Ina (Cinta Laura) adalah salah seorang pengurus sebuah panti asuhan yang keuangannya pas-pasan. Suatu hari, pak kepala desa datang membawa seorang anak bernama Andi (Jovarel Callum) untuk dititipkan di sana hingga kerabatnya ditemukan. Sejak hadirnya Andi di panti asuhan, berbagai kejadian mistis terjadi. Salah satunya bahkan sampai menewaskan pimpinan panti, pak Rosman (Yayu A.W. Unru). Belakangan Ina baru mengetahui bahwa keluarga Andi tewas terbunuh secara misterius dan Andi adalah satu-satunya anggota keluarga yang selamat.
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!
Seperti biasa kita mulai terlebih dahulu dari segi cerita. Siapa sangka, naskah yang ditulis oleh William Chandra dan Wendy Chandra, dua nama yang belum berpengalaman menulis skenario film horor, ternyata nyaris tanpa cela. Cerita mengalir begitu saja tanpa terkesan terburu-buru atau dilambat-lambatkan. Yang patut diberi acungan jempol adalah twist yang dihadirkan di seperempat akhir cerita. Plus endingnya. Tidak terlihat dipaksakan. Sekali lagi, mengalir begitu saja.
Seluruh karakter dalam “MatiAnak” punya peran masing-masing. Bahkan karakter anak-anak penghuni panti, yang biasanya hanya sempalan, terasa hidup di film ini. Dialog mereka seperlunya, tapi sesuai adegan. Akting juga terasa pas porsinya. Tidak ada yang lebay, atau sebaliknya, kurang bersemangat. Pengecualian mungkin untuk karakter Siti (Elsa Diandra), yang terasa tidak cukup kuat keberadaanya di layar.
Sayangnya, kehadiran tokoh antagonis mungkin sudah bisa langsung tertebak. Bukan sepenuhnya salah penulis naskah. Namun karena sudah terbiasa alurnya seperti itu. Dengan durasi tayang yang terbatas, agak sulit memang untuk memasukkannya ke dalam cerita tanpa kita bisa langsung menebaknya.
Dari segi horor, alias penampakan hantu, saya cukup suka. Derby sepertinya tahu kondisi pasar dan respon penikmat film terhadap judul-judul horor yang belakangan beredar. Ia membatasi kehadiran sosok seram yang ada di layar, namun saat muncul dibuat sedemikian rupa agar efeknya (terhadap penonton) maksimal. Jurus audio keras yang memekakkan telinga juga tidak terlalu sering dipakai.
Kendati demikian, ada dua hal yang menghambat saya memberikan nilai sempurna untuk film ini.
Yang pertama adalah satu kejanggalan yang terlihat berulang. Panti asuhan digambarkan memiliki kondisi yang pas-pasan, bahkan sampai listriknya diputus karena menunggak pembayaran tagihan bulanan. Namun bisa dilihat sendiri bahwa setiap malam lampu rumah banyak yang dinyalakan. Seperti di kamar anak-anak. Selain lampu baca di samping tempat tidur masing-masing, masih ada pula lampu ruangan. Jika kondisi keuangan buruk, secara logika penggunaan listrik bakal dihemat, kan?
Yang kedua adalah kesesuaian judul dengan cerita. MatiAnak adalah nama hantu wanita dari daerah Bawean. Ciri-cirinya serupa dengan hantu kuntilanak atau sundelbolong di wilayah Jawa. Biasa tinggal di atas pohon, punggungnya berlubang, suka mengganggu pria, dan lain-lain. Nyatanya, dalam film “MatiAnak”, sama sekali TIDAK ADA penampakan hantu seperti itu. Ceritanya pun bahkan tidak ada hubungannya dengan hantu MatiAnak.
Di luar kedua hal di atas, saya sangat puas menonton film horor lokal yang satu ini. TERBAIK dari yang pernah saya tonton sepanjang tahun 2019 (dan saya sudah menonton SEMUANYA selain “Perjanjian Dengan Iblis” dan filmnya Roy Kimochi Kiyoshi). Bahkan mungkin juga di atas rata-rata film horor lokal yang rilis sepanjang tahun 2017-2018 lalu. Salut banget buat Derby Romero.
Level Horor: 7/10
Level Cerita: 9/10
WAJIB TONTON, GAES!
Leave a Reply