Akhir pekan kemarin, tepatnya pada tanggal 27 dan 28 November 2021, saya (dan keluarga) melakukan kunjungan singkat ke kota Kediri, Jawa Timur. Bukan untuk berlibur, melainkan untuk sebuah urusan.
Perjalanan dari kota Surabaya ditempuh menggunakan mobil pribadi. Melalui tol, hanya butuh waktu sekitar 2 jam saja untuk tiba di kota tersebut.
Berangkat sekitar pukul 5 pagi, waktu menunjukkan pukul setengah 8 sesampainya di sana.
Biaya tol jika tidak salah ingat adalah Rp 85.000,-.
Jalur tol sendiri lumayan lengang. Kendaraan bisa melaju mulus tanpa hambatan.
Berbeda dengan saat sudah keluar dari tol dan memasuki wilayah kabupaten Kediri yang hanya memiliki dua lajur untuk arah yang saling berlawanan.
Daftar Isi
Hari Pertama
Titik pertama yang dituju setibanya di kota adalah mencari tempat untuk sarapan. Yang menjadi pilihan adalah depot Wilis yang legendaris karena sudah berdiri sejak tahun 1943.
Berhubung saya sedang malas melakukan riset, jadi saya buta menu apa yang menjadi andalan alias favorit di rumah makan yang menghadirkan aneka hidangan rumahan tersebut.
Pilihan acak jatuh pada rawon. Dan ujung-ujungnya zonk karena rasanya terlalu manis. Malah kuahnya lebih mirip semur kecap ketimbang kuah rawon pada umumnya.
Belakangan saya baru tahu bahwa menu andalan di depot Wilis adalah sop buntut. Yah sudahlah.
Destinasi berikutnya tentu saja yang haram hukumnya untuk dilewatkan saat berkunjung ke kota Kediri. Yaitu menyambangi Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) yang tersohor.
Walau hari masih terhitung pagi, rupanya sudah banyak orang yang berkumpul di tempat tersebut. Tujuan utamanya tentu saja untuk berfoto ria.
Sebelum dilanjut, bagi yang menggunakan kendaraan bermotor, area parkir berada di seberang monumen. Ada tiga area kalau tidak salah.
Nantinya kita bisa menyeberang melalui terowongan bawah tanah yang sudah disediakan.
Selain biaya parkir, tidak ada tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk memasuki area monumen. Cukup mengikuti standar prokes pencegahan Covid dengan melakukan scan melalui aplikasi Peduli Lindungi saja.
Di dinding terowongan terdapat beberapa foto yang menggambar kondisi kota Kediri pada jaman dulu. Juga kesenian atau kebudayaan khas daerah tersebut.
By the way, bagi yang ‘sensitif’ terhadap hal gaib, jangan kaget kalau merasakan sesuatu saat menyusuri terowongan, ya, hehehe.
Terdapat ornamen yang berbeda di masing-masing sisi monumen yang bentuknya mirip dengan bangunan Arc de Triomphe di Paris. Diresmikan pada tahun 2008, terdapat patung Ganesha di tiap sudut monumen yang memiliki ketinggian 25 meter tersebut.
Dari Monumen Simpang Lima Gumul, tujuan selanjutnya adalah kuliner spesial Sate Emprit Mbah Darmo yang hanya berjarak 1.5 km. Sayangnya, setiba di sana warung dalam kondisi tutup.
Menurut warga lokal, sudah 2 minggu belakangan warung tersebut tutup karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Gabut, saya dan keluarga memutuskan untuk pergi ke salah satu obyek wisata alam. Yang menjadi pilihan adalah Kedung Malang di dekat kota Pare. Apes, jauh jauh ke sana yang kami dapati adalah area hijau yang sudah rata dengan tanah. Alias sudah tutup dan terbengkalai.
Entah imbas dari pandemi atau popularitasnya yang anjlok mengingat belakangan wisata selfie di wilayah Kediri menjamur.
Kembali ke kota Kediri, sembari menunggu waktu makan siang, kami mampir ke Pusat Oleh Oleh Tahu Poo.
Saya bukan penggemar tahu selain tahu bacem dan tahu isi. Tapi ada jajanan yang sudah jadi favorit sejak SD. Apalagi kalau bukan krupuk pedas.
Merk yang populer rupanya yang biasa saya temukan di salah satu supermarket di Surabaya. Yaitu “Surip”. Harganya hampir separuhnya.
Sempat juga membeli lumpia basah yang ternyata enak banget. Jadi nyesel hanya beli sebiji.
Lokasi makan siang yang dipilih adalah rumah makan Kampoeng Nelayan. Menunya tidak jauh berbeda dengan restoran seafood pada umumnya. Untungnya kali ini rasanya cukup lumayan walau tidak terlalu istimewa.
Usai makan siang saya berpisah dengan keluarga. Sementara yang lain menginap di hotel Grand Surya, saya memilih melipir ke hotel Penataran, masih berada di jalan yang sama.
Alasannya? Karena sudah banyak yang me-review hotel Grand Surya. Jadi, agar ada bahan konten, saya sengaja menginap di hotel berbeda. Yang masih sedikit ulasannya di internet, hehehe.
Jadwal saya pribadi sebenarnya hendak mendatangi Goa Selomangleng. Sayangnya, siang itu hujan turun tanpa henti. Terpaksa dibatalkan.
Agar tidak nganggur, saya putuskan untuk berhujan-hujanan ria ke Ramayana yang berjarak sekitar 200 meter dari hotel. Bukan untuk shopping, melainkan untuk men-survey salah satu game center yang ada.
Kebetulan lokasi game center lain ada di arah yang berlawanan, sehingga tidak mungkin bisa saya datangi di waktu bersamaan.
Malam harinya, setelah hujan reda, saya dan keluarga makan malam di salah satu penjual pecel di jalan Dhoho. Rasanya biasa saja, jadi tidak perlu disebutkan detil, hehehe.
Hari Kedua
Setelah sarapan, jam 9 pagi saya berjalan kaki menuju Kediri Mall. Jaraknya kurang lebih 950 meter dari hotel Penataran. Tujuannya masih sama, untuk keperluan survey game center.
Hasil survey dan ulasan lengkapnya nanti saya bahas di artikel terpisah.
Siangnya, setelah check-out dari hotel, kami mampir untuk makan siang di Sate Ayam Pak Siboen.
Pesanan saya kemarin adalah sate kulit. Sebagian masih alot. Bumbunya pun tidak begitu terasa.
Tapi mengingat itu adalah kuliner legendaris, sepertinya memang lidah saya saja yang tidak akur. Sama seperti hidangan di Depot Wilis sehari sebelumnya.
Perjalanan pulang menempuh durasi yang hampir sama. Dua jam lebih sedikit.
Penutup
Semalam di kota Kediri memang bukan waktu yang cukup. Terlebih dalam kondisi cuaca yang tidak mendukung.
Goa Selomangleng dan Emprit Goreng sudah cukup sebagai alasan bagi saya untuk mencari kesempatan datang lagi ke kota tersebut.
Semoga saja terwujud.
Leave a Reply