Review Film Tujuh Bidadari (2018)

Ada beberapa film horor lokal yang mengambil latar mancanegara. Sepertinya “Tujuh Bidadari” ini adalah yang pertama yang saya tonton. Dengan rating 6.6 di IMDB (dari 8 orang penilai), judul ini jelas cukup menggoda untuk disimak. Apalagi lokasi yang diangkat adalah Aradale Lunatic Asylum atau Aradale Mental Hospital, tempat yang digosipkan terangker di seantero Australia. Saat ini, kalau mau, kita juga bisa mengikuti tur untuk berkeliling di bekas rumah sakit jiwa tersebut untuk sekedar mencicipi nuansa angker di dalamnya. Nabung dulu deh.

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Sinopsis Singkat

poster tujuhbidadari

Stella (diperankan oleh Dara Warganegara), Carla (diperankan oleh Gabriella Desta), Dian (diperankan oleh Lia Waode), Tari (diperankan oleh Camelia Putri), Mika (diperankan oleh Brigitta Cynthia), Amy (diperankan oleh Adeayu Sudrajat), dan Anggun (diperankan oleh Salini Rengganis) adalah para personel grup band Tujuh Bidadari (7B) yang tengah berada di Australia untuk melakukan pembuatan video klip single mereka yang berjudul “Angels Are Falling”. Di sela syuting, mereka jalan-jalan ke Ballarat dan berkenalan dengan seorang penyanyi lokal, Mark Moore. Mark lantas mengajak mereka untuk pergi ke tempat terangker di Australia, Aradale Lunatic Asylum, sebuah bekas rumah sakit jiwa yang sudah lama terbengkalai.

Setibanya di sana, di luar dugaan, Mark ternyata punya maksud lain. Ia membunuh para personel 7B satu persatu, hingga hanya tersisa Stella dan Dian. Dian menjadi gila dan dikurung di sebuah ruangan, sementara Stella dijadikan medium untuk menghidupkan kembali arwah penyihir bernama Shu Yin. Apes bagi Mark, Shu Yin justru membunuhnya usai bangkit dari alam kematian.

Di akhir terungkap masa lalu Shu Yin yang mengakibatkan ia terbunuh di tahun 1918. Sebelum meninggal, ia mengatakan bakal balik lagi 100 tahun kemudian. Mark sendiri sepertinya adalah keturunan salah seorang yang membunuh Shu Yin pada saat itu.

Tanggal Rilis: 1 November 2018
Durasi: 90 menit
Sutradara: Muhammad Yusuf
Produser: Resika Tikoalu
Penulis Naskah: M. Yusuf, Konfir Kabo, King Javed, Resika Tikoalu
Produksi: Triple A Films, Black Spade Productions
Pemain: Dara Warganegara, Gabriella Desta, Lia Waode, Camelia Putri, Brigitta Cynthia, Adeayu Sudrajat, Salini Rengganis, William D. Mclennan, Peter Barron

Review Singkat

Sulit dipercaya bahwa M. Yusuf adalah sutradara yang sama dengan “Angker“, satu dari sedikit film horor lokal di Curcol.Co yang review-nya saya beri nilai di atas 6. Kualitas jauh sekali berbeda, bagai bumi dan langit. Bahkan Lia Waode, sepertinya satu-satunya aktris berpengalaman di “Tujuh Bidadari” ini, terlihat buruk sekali aktingnya. Sepertinya mengimbangi akting cast pemain lainnya, yang tiarap di bawah standar.

Permasalahan utama jelas ada pada naskah skenario yang hancur berantakan dan sama sekali tidak meyakinkan. Sedari awal saya sudah dibikin bingung dengan ulah ketujuh personel 7B yang urakan saat melakukan wawancara di radio Australia. Anehnya lagi, sebuah band yang pergi ke luar negeri untuk melakukan pembuatan video klip bisa-bisanya tidak didampingi oleh seorang manajer, asisten, atau apa pun itu. Lebih anehnya lagi, hanya dengan berkenalan 5 menit saja mereka setuju untuk ikut dengan seorang pria yang baru dikenal, Mark.

Masih berkaitan dengan ketujuh personel 7B, tidak ada satu pun yang jelas karakternya. Selain Stella dan Dian, yang lain bagai sekelompok remaja alay yang bertingkah laku urakan karena baru pertama kali menginjakkan kaki ke luar negeri. Jangankan personaliti individu, chemistry yang menunjukkan ketujuh orang tersebut adalah sahabat pun tidak terasa berkat dialog-dialog mereka yang tidak konsisten dan menggelikan.

Set latar bekas rumah sakit jiwa seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan ketegangan. Tapi dengan memilih waktu adegan di siang hari dengan kondisi bangunan yang bersih, rapi, dan tidak suram, sangat sulit untuk bisa membangun ketegangan. Saya curiga para pendatang baru yang bermain di dalam “Tujuh Bidadari” ini penakut dan ogah berakting gelap-gelapan sehingga terpaksa syuting di siang bolong.

Pilihan untuk menggabungkan unsur slasher dan supernatural tidak salah. Berpotensi untuk menyajikan kengerian ekstra. Lolos dari pembunuh, ketemu hantu. Atau sebaliknya. Sayangnya, alih-alih merasa ketakutan, saya justru merasa bosan. Gak ada ngeri-ngerinya sama sekali. Adegan bunuh-bunuhannya, kejar-kejarannya, takut-takutnya, sama sekali tidak meyakinkan. Dan lagi-lagi, pemilihan hantu yang mengenakan baju berwarna putih bersih cemerlang tidak berkontribusi terhadap unsur horor di film ini.

Oh ya, di beberapa bagian diputarkan lagu latar yang ceritanya adalah lagu yang hendak dibuatkan video klipnya di Australia. Gak ada yang salah sih. Cuman saya pribadi merasa lagunya, terutama aransemennya, tidak klop dengan adegan yang ada. Bukannya jadi bersemangat, malah jadi tambah ilfil.

Penutup

“Tujuh Bidadari” jelas merupakan sebuah kemunduran dalam portofolio M. Yusuf. Gagal total di segala hal. Ceritanya, karakternya, akting para pemainnya, horornya. Tidak ada satu pun yang bisa dinikmati. Sayang sekali. Satu poin untuk keniatan menggunakan area asli Aradale Lunatic Asylum di Australia. 1/10.

Catatan: review serta rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi

rf tujuhbidadari 2

Leave a Reply