“Angker” adalah film horor Indonesia yang disutradarai oleh Muhammad Yusuf dan dirilis pada tahun 2014 lalu. Di sini ia bekerjasama dengan King Javed, penulis naskah “Arwah Noni Belanda“. Kisahnya dikabarkan mengadaptasi kejadian nyata di kota Bangil, Jawa Timur, yang berkaitan dengan dukun santet. Penasaran seperti apa? Simak yuk reviewnya di bawah ini.
Sinopsis Singkat
Pasangan suami istri Harun (diperankan oleh Muhammad Yusuf) dan Ratna (diperankan oleh Lia Waode) bersama tiga orang anak mereka — Ayu (diperankan oleh Armeena Yusuf), Ita (diperankan oleh Adinda Divia), dan Bimo (diperankan oleh Ariel) — pindah ke sebuah rumah di Bangil. Namun sejak hari pertama menempati rumah tersebut, teror misterius terus dialami oleh Ratna dari sosok wanita tua bernama Mbah Tun (diperankan oleh Agung Ayu) yang mengaku sebagai penghuni rumah tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapakah Mbah Tun?
Tanggal Rilis: 20 November 2014
Durasi: 1 jam 29 menit
Sutradara: Muhammad Yusuf
Produser: M Zainudin, Amin Adios
Penulis Naskah: King Javed
Produksi: Triple A Films
Pemain: Lia Waode, Muhammad Iqbal, Armeena Yusuf, Adinda Divia, Ariel, Agung Ayu, Sofia Adios, Charles Jansen, Muhammad Yusuf, Ayub Darjam
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Ini adalah film horor besutan sutradara Muhammad Yusuf yang pertama kali saya tonton dan sepertinya beliau bakal jadi salah satu sutradara favorit saya di genre tersebut. Tidak banyak rekan seprofesinya yang mampu menghasilkan film horor dengan cara membangun suasana mencekam secara perlahan tanpa bergantung pada penampakan dan jump scare. Modal lukisan dan suara-suara gaib saja terbukti ampuh untuk itu.
Tanpa terburu-buru, kita diajak untuk menyelami keangkeran yang ditawarkan oleh rumah tua yang dihuni oleh Ratna dan keluarganya. Setelah puas bermain-main dengan sudut demi sudut ruangan, perhatian kita dibawa pada lukisan dengan gambar Mbah Tun di dalamnya. Belakangan terlihat bahwa gambar tersebut seolah-olah hidup. Sederhana tapi menakutkan.
Karakter Mbah Tun yang disajikan tanpa make up aneh-aneh justru berhasil menjadi pelengkap semua ketegangan yang sudah dibangun. Pandangan matanya yang melotot saja cukup untuk bikin kita merasa tidak nyaman menatap layar.
Sayangnya, itu hanya terjadi paruh awal. Memasuki paruh kedua, dengan intensitas sosok Mbah Tun yang makin acap, sutradara terlihat tidak mampu menahan diri untuk tidak menggunakan musik dan suara pendukung yang mengagetkan telinga. Ujung-ujungnya, babak akhir film “Angker” jadi tidak begitu angker lagi karena tidak ubahnya dengan film horor Indonesia lain pada umumnya.
Memang agak mengecewakan. Padahal jika bisa konsisten mengandalkan suasana mencekam hingga akhir, saya setidaknya bisa melupakan unsur naskah yang terasa sangat kurang. Sumbernya adalah tidak adanya perkenalan dengan para karakter utama yang ada. Tidak ditunjukkan alasan keluarga tersebut pindah rumah, tidak dijelaskan kenapa suami Ratna jarang ada di rumah (iya, kerja, tapi kerja apa, kan kepo benernya), dan sebagainya. Saya jadi tidak bisa sepenuhnya bersimpati pada Ratna dan anak-anaknya. Ingat, tak kenal maka tak sayang, hehehe.
Untuk pemain, bagi saya hanya Lia Waode yang menonjol. Yah, salah satu faktornya sih karena hampir di sepanjang durasi ia berakting sendiri. Tidak banyak interaksi dengan karakter-karakter lain. Pemain sisanya biasa-biasa saja, sebagian cenderung di bawah standar.
Penutup
“Angker” adalah contoh film horor lokal yang mampu menakut-nakuti penonton melalui suasana mencekam yang dibangun. Tanpa perlu banyak penampakan, tanpa perlu berteriak-teriak histeris, cukup dengan sebuah rumah dan suara-suara gaib yang muncul. Sayang di paruh kedua durasi film berubah menjadi layaknya genre sejenis pada umumnya. Potensi yang begitu besar dicampakkan begitu saja.
7/10. Seharusnya bisa lebih tinggi lagi.
Leave a Reply