Review Film Terowongan Casablanca (2007)

Meski (sebelum pandemi) cukup sering ke Jakarta, sampai sekarang saya sama sekali tidak ingat apakah sudah pernah melewati terowongan Casablanca atau belum.

Seharusnya sih sudah, karena beberapa tempat yang tak jauh dari terowongan tersebut pernah saya datangi.

Bahkan saat terakhir ke ibukota saya menginap di guest house yang hanya berjarak kurang lebih 3 km darinya.

Apapun itu, yang jelas saya ingat bahwa saya belum pernah menonton film horor lokal yang memiliki rating 3.9 di IMDB ini, “Terowongan Casablanca”.

Seperti apakah filmnya? Layakkah untuk ditonton?

Yuk simak sinopsis dan review singkatnya di bawah.

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Alur Cerita / Sinopsis Singkat

poster terowongan casablanca

poster terowongan casablanca

Astari (diperankan oleh Asha Shara) dihamili oleh kekasihnya, Refa (diperankan oleh Nino Fernandez). Kendati demikian, Refa memutuskan untuk kabur dan meninggalkan Astari begitu saja.

6 bulan kemudian, Astari berhasil menemui Refa di sebuah klub malam. Ia meminta pertanggungjawaban Refa atas kehamilannya. Refa mengiyakan.

Tanpa disadari Astari, ia mau saja meminum minuman keras yang disodorkan oleh Refa. Di saat ia tak sadarkan diri, Refa memanggil tiga orang temannya — Onal (diperankan oleh Donny Arifin), Gun (diperankan oleh Farhat Dath), dan Noldy (diperankan oleh Jupiter Fortissimo) — dan meminta bantuan mereka untuk membawa Astari ke dukun aborsi.

Di saat proses aborsi berlangsung, Astari tersadar dan kabur. Refa mengejarnya dan tidak sengaja membunuhnya. Ia lalu diam-diam menguburkan mayat Astari.

3 tahun berselang. Refa pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya di Australia. Ia ditemani oleh kekasihnya, Agnes (diperankan oleh Ardina Rasti).

Anehnya, sejak itu Refa, Gun, Noldy, dan Onal justru dihantui oleh sosok kuntilanak dan bayinya. Gun dan Noldy bahkan menemui ajalnya.

Kawan mereka, Timbo (diperankan oleh Aldiansyah Taher), memberitahu bahwa itu semua adalah ulah kuntilanak yang menuntut balas.

Timbo mencoba membantu dengan menggunakan ceker ayam sebagai sesajen untuk kuntilanak. Apes, yang datang justru kuntilanak-kuntilanak lain. Onal bahkan tewas akibat ketakutan.

Agnes sendiri kemudian mengetahui tentang perbuatan Refa terhadap Astari. Ia lalu mengajak Refa mendatangi rumah Astari untuk memastikan apakah ia benar-benar sudah meninggal atau belum.

Di sana, arwah Astari merasuki tubuh Agnes dan membuatnya berhubungan intim dengan Refa.

Refa yang mengetahui hal itu jadi syok dan trauma hingga akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa.

Seorang dukun menangkap kuntilanak Astari dan menancapkan paku di kepalanya sehingga ia kembali menjadi ‘manusia’.

Beberapa saat kemudian, saat Agnes menemui Refa di rumah sakit jiwa, ia kaget melihat ada Astari di sana. Refa pun dengan santai memperkenalkan Astari pada Agnes.

Sepeninggal Agnes, Refa yang penasaran dengan paku di kepala Astari mencabutnya. Astari berubah menjadi kuntilanak merah dan langsung membunuh Refa.

Tanggal Rilis: 22 Februari 2007
Durasi: 90 menit
Sutradara: Nanang Istiabudi
Produser: Shankar RS
Penulis Naskah: Faldhin Martha
Produksi: Indika Entertainment
Pemain: Ardina Rasti, Asha Shara, Nino Fernandez, Aldiansyah Taher, Jupiter Fourtissimo, Ray Sahetapy, Five Vi, Ki Joko Bodo, Titi Qadarsih, Tri Yudiman, Ade Constantia, Donny Arifin, Farhat Dath

Review Singkat

Karena ini adalah film yang dirilis hampir 15 tahun silam, maka saya akan mengabaikan kualitas efek visual yang ada. Mungkin saja pada masa itu apa yang tersaji dalam “Terowongan Casablanca” sudah termasuk istimewah.

Saya juga akan pura-pura tidak melihat adanya editan kuntilanak terbang yang lebih mirip dengan gambar kain putih biasa yang diberi pergerakan melayang di layar.

Toh faktanya saat ditayangkan di bioskop film ini sukses meraup lebih dari 900 ribu penonton.

Lantas apakah dengan menghilangkan kedua parameter tersebut film ini menjadi layak untuk ditonton?

Tentu saja TIDAK.

Jika sebelum-sebelumnya saya sering dibuat kesal oleh cerita atau jump scare berbagai judul film horor lokal, untuk pertama kalinya saya dibikin emosi dengan cara film ini menyampaikan ALUR cerita.

Sang sutradara sepertinya belum pernah mendengar istilah transisi antar adegan. Pokoknya asal syuting dan asal menempelkan adegan-adegan yang sudah direkam secara berurutan.

Lihat saja bagaimana dengan ajaibnya momen Refa dkk membopong Astari ke rumah dukun berpindah ke adegan Refa nyetir mobil sendirian 3 (TIGA!!!) tahun kemudian.

Bahkan untuk tahu waktu telah berjeda selama tiga tahun pun kita harus jeli menyimak dialog-dialog yang ada.

Walau memang setelah itu secara dicicil terungkap apa yang terjadi pada Astari, namun bukan begitu caranya membuat penonton penasaran.

Yang ada justru jadi malas melanjutkan menonton.

Adegan ditakut-takuti yang ujug-ujug berpindah ke adegan lain dimana karakter yang sebelumnya ketakutan sudah biasa saja beberapa kali ditemui di sini. Berhubung ini penyakit umum film horor lokal, saya tidak terlalu mempermasalahkannya.

Kejanggalan cerita atau plot hole pun termasuk penyakit umum. Namun sulit untuk mengabaikan bagaimana di satu malam karakter Refa terjatuh dari balkon apartemen dan berada dalam posisi pendarahan dalam, namun keesokan harinya ia sudah BAIK BAIK SAJA.

Sulit juga untuk mengabaikan bagaimana karakter Agnes yang dirasuki arwah Astari menggoda Refa untuk berhubungan intim, lantas sosoknya bisa tiba-tiba berada di luar rumah begitu saja.

Di tengah semua kebingungan, seolah belum cukup, film menghadirkan sosok dukun yang tidak jelas asal usulnya untuk menangkap kuntilanak Astari.

Selanjutnya, kuntilanak Astari ujug-ujug, masih tanpa kejelasan, menemani Refa yang dirawat di rumah sakit jiwa.

Pamungkas yang paling pamungkas, cerita dalam film ini sama sekali TIDAK ADA HUBUNGANNYA dengan terowongan Casablanca. Satu-satunya benang merah hanyalah karakter Refa dan Astari yang sama-sama pernah dihantui kuntilanak saat melintasi terowongan tersebut. That’s it.

Penutup

“Terowongan Casablanca” menambah panjang deretan film horor adaptasi mitos yang gagal. Mungkin baru satu yang benar-benar patut diacungi jempol, “Kereta Hantu Manggarai“-nya Nayato Fio.

Saya tidak tahu apakah naskahnya yang berantakan atau sutradaranya yang gagal mengeksekusi. Yang jelas, dari segi cerita, kita harus bekerja ekstra keras untuk memahami apa yang hendak disampaikan.

Bukan karena rumit. Melainkan karena dibikin rumit.

Prinsip dasar yang dianut sepertinya adalah ‘daripada susah-susah bikin benang merah antar adegan, biar saja penonton yang berpikir keras’.

Untungnya, sama sekali tidak perlu berpikir keras untuk memberikan penilaian akhir untuk film ini.

0/10.

Catatan: review serta rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi

rf terowongan casablanca

Leave a Reply