Salah satu bukti bahwa sebuah film mampu meraih kesuksesan adalah kehadiran versi remake dari judul yang bersangkutan. Dan “Shutter” membuktikannya.
Selain versi Hollywood di tahun 2008, juga ada versi Tamil dan Hindi-nya. Berturut-turut bertajuk “Sivi” dan “Click”.
Lain kali mungkin akan dibahas pula judul-judul tersebut. Namun untuk saat ini kita obrolin versi orisinilnya terlebih dahulu, yang dirilis pada tahun 2004 di Thailand.
Seperti apakah filmnya? Layak kah untuk ditonton?
Yuk simak alur cerita dan resensi singkatnya di bawah ini.
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Alur Cerita / Sinopsis Singkat
Usai menghadiri sebuah pesta, mobil yang dikendarai Jane (diperankan oleh Natthaweeranuch Thongmee) dan kekasihnya, Tun (diperankan oleh Ananda Everingham), tanpa sengaja menabrak seorang wanita yang tengah menyeberang.
Melihat ada mobil lain di belakang mereka, Tun takut dimintai pertanggungjawaban. Ia meminta Jane untuk lanjut melajukan kendaraannya. Walau panik Jane melakukannya.
Pasca kejadian tersebut, baik Jane maupun Tun sama-sama mengalami berbagai kejadian misterius. Anehnya, sama sekali tidak ada berita mengenai kasus tabrak lari di TKP.
Selain itu, foto-foto yang dibuat oleh Tun dengan kameranya sebagian besar terdapat bayangan berwarna putih.
Dari seorang kepala redaksi majalah mistis, ada kemungkinan bayangan tersebut adalah sosok arwah penasaran yang tertangkap kamera. Bisa tidak sengaja, bisa juga disengaja karena arwah tersebut punya maksud tertentu.
Tun juga terus merasa pundak dan lehernya berat. Walau setelah diperiksa, dokter memastikan Tun hanya kelelahan.
Jane yang penasaran mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pada akhirnya terungkap bahwa sosok yang mereka tabrak saat itu adalah Natre, mantan kekasih Tun, sekaligus orang yang telah membelikan kamera yang saat ini digunakan Tun.
Kala itu, Tun sebenarnya tidak benar-benar mencintai Natre. Ia memang mencoba untuk melakukannya, namun tidak bisa. Ia pun memilih untuk meng-ghosting-nya.
Naasnya, ketiga sohib Tun malah memp3rkos4 Natre. Tun sempat memergoki mereka.
Alih-alih membantu Natre, ia justru menuruti permintaan Ton (diperankan oleh Unnop Chanpaibool), salah satu dari ketiganya, untuk memfoto kejadian tersebut demi membungkam Natre.
Natre pun kemudian bunuh diri beberapa waktu kemudian.
Dan kini, arwah penasaran Natre mulai melancarkan balas dendam.
Ton beserta dua orang teman Tun satu persatu melakukan bunuh diri.
Tun yang menyadari hal itu mencoba ‘bernegosiasi’ dengan Natre. Usahanya gagal.
Natre, yang selama ini ternyata duduk di pundak Tun (sehingga membuat Tun merasa berat), lantas mengarahkan Tun agar terjatuh dari gedung apartemennya.
Di akhir terlihat bahwa Tun masih bisa selamat namun dalam kondisi seperti kosong atau hilang ingatan. Terlihat juga sosok Natre yang masih tetap bertengger di pundak Tun.
Tanggal Rilis: 9 September 2004
Durasi: 97 menit
Sutradara: Banjong Pisanthanakun, Parkpoom Wongpoom
Produser: Yodphet Sudsawad
Penulis Naskah: Banjong Pisanthanakun, Sopon Sukdapisit, Parkpoom Wongpoom
Produksi: GMM Grammy, Phenomena Motion Pictures
Pemain: Ananda Everingham, Natthaweeranuch Thongmee, Achita Sikamana
Review Singkat
Untuk ukuran film horor pada masanya, harus saya akui “Shutter” termasuk dalam jajaran elit.
Baik cerita maupun unsur horornya berkualitas.
Alih-alih menghadirkan cerita klise, film ini menghadirkan pengalihan isu (insiden tabrak lari yang dilakukan Jane dan Tun) yang sukses memburamkan plot yang sesungguhnya.
Kecelakaan yang seolah tampak nyata tersebut ternyata adalah bagian dari gangguan gaib yang menghantui Tun.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri begitu sedikit terungkap mengenai hubungan Tun dengan Natre, sudah gampang ditebak bahwa teman-teman Tun yang mati bunuh diri pasti pernah berlaku tidak senonoh pada Natre di masa lalu.
Saya pribadi juga tidak begitu suka dengan ending-nya dimana Tun dipaksakan untuk selamat (pasca terjatuh dari kamar apartemen) hanya demi menunjukkan penderitaannya yang tiada akhir.
Dibuat meninggal pun sebenarnya kita sebagai penonton sudah paham dan bisa menerima pesan yang ingin disampaikan.
Keseluruhan naskah yang rapi disempurnakan dengan unsur horor yang tidak membosankan.
Mungkin YA jika ditonton sekarang. Tapi kembali lagi, pada masanya, “Shutter” punya adegan jump scare dan penampakan yang bervariasi.
Tidak seperti kebanyakan film bergenre serupa yang acap terjebak pada formula menakut-nakuti yang terus diulang di sepanjang durasi.
Eh, tapi ada ding bagian yang berulang. Yaitu gangguan gaib yang ujung-ujungnya hanya mimpi.
Sekali dua kali masih oke. Tapi lebih dari itu mengganggu kenyamanan.
Oh ya. Saya juga mengapresiasi bagaimana film ini tidak lebay dalam menggunakan efek CGI.
Sang sutradara sepertinya sadar diri bahwa hal tersebut memakan banyak biaya jika ingin hasilnya berkualitas.
Daripada dipaksakan dan bikin kecewa, maka cukup seadanya saja.
Penutup
“Shutter” bisa dibilang sebagai salah satu film horor terbaik di awal tahun 2000-an.
Naskahnya rapi, akting pemainnya meyakinkan, dan unsur horornya berkualitas.
Tercatat hanya ada satu adegan yang menyematkan efek CGI kualitas rendah, yang mungkin terpaksa harus digunakan.
Yang jelas tidak ada geberan efek suara mengganggu di saat jump scare. Salah satu ciri dari film horor yang percaya diri bisa menakut-nakuti tanpa harus mengagetkan.
Dan memang terbukti.
Secara pribadi saya bukan penggemar ending yang disajikan. Twist klise dan mudah ditebak. Begitu pula dengan adegan mimpi yang terlalu sering.
Tapi bagaimana pun, secara keseluruhan ini adalah film yang sangat layak untuk ditonton. Highly recommended!
7/10.
Film “Shutter” dapat ditonton melalui layanan streaming Netflix.
By the way, saya jadi teringat dengan “U Turn“, film yang juga memiliki beberapa versi remake.
Jadi kepengen liat versi aslinya mengingat versi daur ulang yang saya tonton tidak terlalu bagus, hehehe.
Catatan: review serta rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi
Leave a Reply