Review Film Lorong (2019)

“Lorong” hadir sebagai film horor lokal kedua di bulan September 2019 ini. Setelah minggu kemarin dibikin kecewa dengan tontonan “Kembalinya Anak Iblis“, akankah kali ini sutradara Hestu Saputra mampu menyuguhkan karya yang jauh lebih menarik ketimbang trailernya yang (sepertinya) over revealed alias terlalu banyak membongkar plot cerita? Simak langsung deh review singkatnya di bawah ini. Cekidot!

Sinopsis Singkat

poster lorong

Setelah menjalani operasi caesar, Mayang (diperankan oleh Prisia Nasution) terbangun di kamar rumah sakit dengan sebuah kamar duka. Suaminya, Reza (diperankan oleh Winky Wiryawan), mengatakan bahwa bayi mereka telah meninggal dunia. Bahkan ia sendiri yang menguburkan jenazahnya. Mayang yang sulit menerima kenyataan tersebut meyakini bahwa sebenarnya anaknya masih hidup dan kini disekap oleh pihak rumah sakit. Bukti dokumen terkait kematian bayinya yang diberikan oleh Dr. Vera (diperankan oleh Nova Eliza) juga tidak ia percaya. Walau dianggap depresi oleh orang lain, Mayang pun tetap berusaha untuk membongkar rahasia yang tersembunyi di rumah sakit tersebut.

Tanggal Rilis: 12 September 2019
Durasi: 93 menit
Sutradara: Hestu Saputra
Produser: Raam Punjabi
Penulis Naskah: Andy Oesman, Hestu Saputra
Produksi: MVP Pictures
Pemain: Winky Wiryawan, Prisia Nasution, Nova Eliza

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Di bagian awal, saat adegan operasi caesar berlangsung, saya agak kurang fokus ke layar karena satu dan lain hal. Tapi. saya yakin bahwa tidak ada suara tangisan bayi saat itu. Kenapa hal ini saya sebutkan? Karena dalam cerita, karakter Mayang bersikukuh sempat mendengar suara tangisan bayinya di saat operasi caesar berlangsung, sesaat sebelum ia tak sadarkan diri.

Ini yang kemudian membuat saya pribadi agak sulit menerima kondisi Mayang yang begitu kerasnya meyakini bahwa bayinya masih hidup. Lagipula, bukankah memang ada kemungkinan seorang bayi yang baru lahir sempat hidup beberapa saat sebelum kemudian meninggal dunia?

Ke-depresi-an Mayang menjadi terasa begitu dipaksakan untuk membuat cerita berjalan maju. Termasuk ketika ia mengendap-endap dan bersembunyi dari satu ruangan ke ruangan lain di area rumah sakit, sembari mengambil sisa makanan atau minuman pasien untuk mengisi perut. Begitu berlebihan.

Di sisi lain, akting Prisia Nasution sesuai dengan ekspektasi saya saat melihat trailernya. Saking meyakinkannya bisa membuat saya ikut gemes dengan karakter yang ia perankan.

Yang juga lantas sesuai dengan ekspektasi awal adalah twist-nya. Hampir tidak ada yang meleset dari tebakan karena nyatanya tidak ada hal baru yang dihadirkan. Kasus bayi yang hilang misterius di rumah dalam film horor sudah pasti tidak jauh jauh dari urusan tumbal.

Yang pada akhirnya berhasil mengejutkan saya dan membuat saya girang adalah unsur ritual pemujaan iblis yang digarap dengan amat sangat serius. Dari semua film horor lokal yang sudah beredar hingga saat ini, “Lorong” sukses mematok tonggak standar adegan ritual iblis yang baru. Mulai dari set, upacara ritual, hingga adegan pamungkas. Ketidakjelasan proses pembangunan cerita di 2/3 durasi terasa terbayar lunas di babak ketiga. Belum ditambah dengan akting Winky Wiryawan yang tidak kalah memukaunya.

Masih sesuai dugaan, unsur horor dalam “Lorong” tidak terlalu dominan. Penampakan yang ada patuh pada tujuan dari penampakan itu sendiri. Untuk meng-guide Mayang dan membantunya keluar dari masalah yang ada.

Ada satu momen dimana efek CGI dari penampakan si setan terlihat sangat bagus. Saat Mayang berada di sebuah lorong dan si setan muncul di belakangnya. Ketika Mayang menyadari ada penampakan di sana, ia pun lari menjauh. Si setan sempat mengejar, namun perlahan menghilang dengan efek asap. Efek grafisnya benar-benar halus.

Ajaibnya, di adegan akhir, saat si setan menampakkan diri sekilas untuk berpamitan, CGI-nya hancur. Terlihat sekali seperti tempelan. Tone warnanya juga tidak nyambung.

Sebelum ditutup, ada satu lagi yang bikin saya agak terganggu. Yaitu adegan pergerakan Mayang dari satu tempat ke tempat lain yang acap dipotong. Tiba-tiba sudah ada di satu tempat begitu saja. Ini membuat saya kesulitan untuk membayangkan denah rumah sakit tempat cerita berlangsung, terutama di area barat tempat ritual pemujaan berlangsung.

Kesimpulan

Kombinasi premis klise, set up yang meninggalkan celah, serta punch line yang sudah tertebak tidak sepenuhnya bakal garing. Setidaknya di sini Hestu Saputra berhasil membuktikannya. Memang tidak sempurna, tapi beliau terlihat serius menggarap elemen pemujaan iblis dalam film “Lorong”. Babak ketiga dari film ini terasa menegangkan dan sangat menarik untuk ditonton. Akting kedua pemeran utama, Prisa Nasution dan Winky Wiryawan pun sama-sama patut diacungi jempol. Layak tonton!

rf lorong

Leave a Reply