Sudah tidak terhitung lagi jumlah film horor Indonesia yang mengangkat tema hantu wanita yang satu ini, kuntilanak. Saking populernya makhluk gaib tersebut, terdapat beberapa versi asal usul dan juga penampilannya. Di antara berderet judul yang ada, trilogi Kuntilanak besutan Rizal Mantovani yang dibintangi oleh Julie Estelle bisa dibilang yang paling banyak mendapat pujian. Kisahnya bahkan kembali berlanjut di tahun 2018 lalu walau tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai sekuel. Ada juga “Mangkujiwo” di awal tahun 2020 yang mengangkat sejarah awal hadirnya kuntilanak dalam trilogi tersebut.
Mari kita mulai bahas film “Kuntilanak” terlebih dahulu.
Sinopsis Singkat
Sejak kematian ibunya, Samantha (diperankan oleh Julie Estelle) memilih untuk keluar dari rumah dan tinggal di sebuah kos-kosan. Mimpi misterius yang terus berulang serta kelakuan kekasihnya, Agung (diperankan oleh Evan Sanders), yang masih belum bisa ia maafkan membuat hubungan mereka menjadi renggang. Namun peristiwa-peristiwa misterius mulai terjadi semenjak Yanti (diperankan oleh Lita Soewardi), ibu kos Sam, menembangkan durmo Lingsir Wengi di hadapannya. Hampir semua peristiwa tersebut berujung pada kematian penghuni kos yang lain. Apa yang sebenarnya terjadi? Adakah hubungannya dengan trah Mangkoedjiwo selaku pemilik bangunan kos tersebut dengan rumor pemujaaan setan yang mereka lakukan di masa lalu?
Tanggal Rilis: 27 Oktober 2006
Durasi: 95 menit
Sutradara: Rizal Mantovani
Produser: Raam Punjabi
Penulis Naskah: Ve Handojo
Produksi: MVP Pictures
Pemain: Julie Estelle, Evan Sanders, Ratu Felisha, Ibnu Jamil, Lita Soewardi, Alice Iskak
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Perjuangan saya me-review satu demi satu film horor lawas untuk mengembangkan konten Curcol.Co seperti menemukan oase saat usai menonton “Kuntilanak”. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar judul film horor lokal punya kualitas cerita yang menyedihkan. Namun tidak dengan film yang dibintangi oleh Julie Estelle dan Evan Sanders ini.
Premisnya mungkin agak tidak dinalar. Ayolah, siapa orang waras yang sudah tahu punya jadwal kuliah malam namun memilih untuk ngekos di bangunan yang ada di samping kuburan angker. Memang disebutkan bahwa biaya kos bulanannya murah, tapi semurah apa? Kebetulan saya pernah ngekos di Jakarta di tahun 2007-2008, jadi setidaknya punya gambaran biaya hidup di ibukota pada masa yang sama dengan latar dan lokasi cerita.
Tapi di luar itu nyaris tidak ada lagi hal-hal yang patut dipertanyakan. Penulis maupun sutradara sudah cukup baik mempersiapkan dan mengembangkan alur cerita yang ada dengan set lokasi yang terbatas. Dialognya bisa dinikmati tanpa perlu mengernyitkan dahi.
Kalau pun ada yang menimbulkan pertanyaan adalah dari sikap karakter Sam yang dingin terhadap Agung. Hanya dijelaskan (pada saat adegan berantem) bahwa Agung tidak ada saat Sam kehilangan ibunya. Tapi saya pribadi merasa pada titik tersebut ungkapan emosi Sam masih kurang kuat sehingga agak tidak meyakinkan. Kurang greget sedikit lagi marah-marahnya, hehehe.
Dengan sosok kuntilanak yang diceritakan tinggal di pohon tua yang ada di kuburan serta keluar melalui media cermin warisan dari trah Mangkoejiwo, saya merasa pohon tua yang dimaksud masih kurang diulik. Kemunculan kuntilanak yang ketiga kalinya juga sayang tidak ditunjukkan keluar dari cermin yang ada di kamar penghuni bernama Ratih. Biar adil karena tiga cermin lainnya sudah kebagian jatah.
Penampakan tidak mengecewakan walau tidak terlalu istimewa. Yang dimunculkan sebelum credit scene sih asli kampungan, sama sekali tidak perlu dilakukan. Bagi sebagian orang mungkin bikin lompat dari kursi, tapi tidak menutupi fakta bahwa jump scare model demikian tidak ada kreatif-kreatifnya sama sekali.
Bagian pamungkas saat Sam mengucapkan “yang kuat yang memelihara” agak kurang dramatis. Padahal saya pribadi merasa bahwa di situlah puncak cerita, momen dimana Sam pada akhirnya pasrah menerima kenyataan bahwa dirinya harus menjadi penguasa dari sang kuntilanak.
Tapi semua masalah di atas pada proses menjadi tak berarti berkat cerita keseluruhan yang berkualitas plus akting Julie Estelle sendiri yang tidak kalah mumpuninya. Minus pada bagian-bagian dimana doi kaget ya. Alih-alih kelihatan terkejut atau syok, saya melihatnya kok malah kayak orang habis ngelamun terus dikagetin, hehehe.
Penutup
Akhirnya saya paham kenapa trilogi film Kuntilanak versi Julie Estelle ini memiliki banyak fans garis keras. Ceritanya benar-benar solid dan rapi. Penampakan dan jump scare sewajarnya, tidak berlebihan dan sesuai jalan cerita. Jika dibandingkan dengan era sekarang mungkin tidak terlalu seram, tapi masih mampu berkontribusi dalam membangun suasana yang menegangkan. Akting Julie Estelle yang di atas rata-rata melengkapi semuanya itu.
8/10. Wajib ditonton!
Leave a Reply