Review Film Keramat (2009)

Saya sudah mendengar tentang film “Keramat” ini sejak tahun lalu. Banyak yang mengelu-elukannya dan menganggapnya sebagai film horor lokal paling menyeramkan yang pernah dibuat. Sayangnya, waktu itu saya hanya bisa menemukannya di Youtube dengan kualitas gambar yang tidak terlalu baik. Setelah menunda selama setahun, ketemu juga akhirnya di sebuah layanan streaming. Hasilnya? Simak deh sinopsis dan review singkatnya di bawah.

Sinopsis Singkat

poster keramat

Sekelompok orang yang tergabung dalam tim produksi film “Menari di Atas Angin” mendatangi daerah Bantul, Yogyakarta, untuk proses pra-shooting. Mereka adalah sang sutradara Miea (diperankan oleh Miea Kusuma), asisten sutradara Sadha (diperankan oleh Sadha Triyudha), manajer produksi Dimas (diperankan oleh Dimas Projosujadi), aktor Diaz (diperankan oleh Diaz Ardiawan), dan aktris Migi (diperankan oleh Migi Parahita). Juga ada tim BTS (behind the scene) Poppy (diperankan oleh Poppy Sovia) dan kameramennya Cungkring (diperankan oleh Monty Tiwa). Anehnya, tak lama sejak mereka tiba di lokasi, kejadian-kejadian aneh mulai mereka alami. Puncaknya adalah saat Migi yang kerasukan mendadak menghilang begitu saja. Atas bantuan seorang paranormal, mereka diantar menuju gerbang masuk dunia gaib agar bisa menjemput Migi kembali.

Tanggal Rilis: 3 September 2009
Durasi: 82 menit
Sutradara: Monty Tiwa, Ivander Tedjasukmana
Produser: Chand Parwez Servia
Penulis Naskah: Monty Tiwa
Produksi: Kharisma StarVision Plus, Indie Picture, Moviesta Pictures, Wong Cilik’s
Pemain: Poppy Sovia, Migi Parahita, Sadha Triyudha, Miea Kusuma, Dimas Projosujadi, Diaz Ardiawan, Brama Sutasara, Monty Tiwa

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Sebuah kegiatan pra-shooting film dalam sekejab berubah menjadi pengalaman hidup mati para kru yang terlibat di dalamnya. Bahkan sampai merenggut nyawa sebagian di antara mereka. Semuanya tersaji dengan gaya found-footage atau mockumentary tanpa naskah dan full improvisasi. Siapa sangka hasil akhirnya malah jauh lebih bermutu ketimbang kebanyakan film horor lokal saat ini.

Penggunaan sudut kamera ala nge-vlog memang bukan yang pertama. Namun Monty Tiwa membalas ‘ketidakorisinalan’ tersebut dengan menyuguhkan alur cerita yang rapi, menguras emosi, sekaligus menegangkan. Level seramnya mungkin relatif, tapi nuansa horor yang dibangun jelas patut diacungi jempol. Film maker zaman now wajib mengaca pada “Keramat”, yang secara tidak langsung mengajarkan bahwa musik atau suara latar sebenarnya minim konstribusi dalam menciptakan ambience yang mencekam.

Sebagai sutradara, Monty Tiwa hanya memberikan gambaran adegan pada para pemain sekitar 10 menit sebelum pengambilan gambar dimulai. Selanjutnya masing-masing dari mereka bebas untuk berimprovisasi. Baik dari dialog maupun bahasa tubuh. Sulit dipercaya bahwa hasilnya bisa mengalir sedemikian bagusnya.

Satu yang bagi saya agak mengecewakan (dan membingungkan) adalah ‘pesan moral’ yang disampaikan oleh penunggu hutan. Pesannya memang tidak salah, namun tidak terlihat sama sekali hubungannya dengan cerita. Saya bahkan tidak bisa memahami bagaimana asal mula dari segala insiden yang terjadi dalam “Keramat”. Semuanya terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang berulah keterlaluan, maupun melanggar norma kesopanan.

Penampakan hantu tidak diumbar di sini. Meski bisa dihitung dengan jari, namun kehadirannya terasa natural dan tidak dipaksakan. Momen saat kamera menyorot sejajar dengan tanah dan lantas kaki pocong berdiri tepat di hadapannya asli the best. Seperti di masa ini Monty Tiwa belum sadar bahwa pocong bergerak dengan cara melayang, bukan melompat-lompat. Suatu fakta yang baru ia amini dalam “Pocong The Origin” sepuluh tahun kemudian.

Oh ya, Monty Tiwa sempat menyatakan bahwa ada dua hal mistis yang terekam dalam kamera dan ikut dimasukkan ke dalam film. Yang pertama adalah suara drum militer dan yang kedua penampakan seorang wanita. Mungkin ada teman-teman yang tahu di menit keberapa kedua hal tersebut bisa dilihat / didengar?

Ngomong-ngomong, soal suara drum militer, kejadian mistis tersebut acap terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Suara yang jelas di telinga, tapi tidak bisa ditemui sumbernya. Saya juga pernah mengalaminya di waktu sekitaran subuh. Ada suara drum band yang rasanya berasal tepat di depan penginapan saat itu di daerah Malioboro. Berhubung sudah mengetahui soal itu sebelumnya, jadinya tidak terlalu kepo dan lanjut berbaring di tempat tidur sembari menikmati momen langka yang mungkin hanya bakal terjadi sekali seumur hidup, hehehe.

Balik lagi ke film. Tanpa adanya script, akting para pemain di dalamnya malah terasa alami dan tidak dibuat-buat. Emosinya dapet, keselnya dapet, sedihnya dapet, tengilnya dapet, takutnya dapet. Entah benar atau tidak, tahun lalu Monty Tiwa menyatakan bahwa beberapa di antara pemain hingga sekarang masih trauma secara psikis saking terlalu dalamnya mereka menjiwai peran mereka di film “Keramat”.

Serem, ya?

Penutup

Saya tidak menyangka. Semua kegelisahan saya akan film-film horor lokal sekarang malah terjawab oleh sebuah film horor yang dibuat lebih dari satu dekade yang lalu. Cerita yang rapi, akting yang natural, suasana horor yang mencekam, semuanya bisa ditemui dalam “Keramat”. Minusnya hanya satu, tidak adanya kejelasan penyebab dari kejadian mistis yang dialami. Pun begitu, film ini masih tetap pantas meraih salah satu posisi 5 film horor Indonesia terbaik yang pernah ada. Bravo!

9/10. WAJIB TONTON!

rf keramat

Leave a Reply