Gara-gara kepotong mudik singkat lebaran, baru sempat deh untuk review film “Ghost Writer” yang mengusung genre komedi horor ini. Padahal nontonnya sih sudah dari hari Jum’at minggu lalu. Semoga saja masih keinget semua detil-detil filmnya, hehehe. Yang jelas sih, pada saat artikel ini ditulis, jumlah penontonnya sudah mendekati angka 500 ribu penonton (sumber: http://filmindonesia.or.id). Jadi bisa dikatakan tidak terlalu mengecewakan hasilnya.
Sinopsis Singkat
Akibat masalah ekonomi, Naya (Tatjana Saphira) dan adiknya, Darto (Endy Arfian), pindah ke sebuah rumah tua yang dikontrakkan dengan harga murah. Suatu ketika tanpa sengaja Naya menemukan buku harian milik Galih (Ge Pamungkas), putra dari keluarga pemilik rumah tersebut yang telah meninggal. Sebagai penulis yang kebetulan sedang kesulitan menggarap novel terbarunya, Naya melihat tulisan-tulisan kisah masa lalu Galih sebagai materi bagus untuk novelnya. Sementara itu, Bening (Asmara Abigail), adik Galih yang juga telah meninggal, menganggapnya sebagai rahasia kelam mereka dan kedua orang tuanya yang harus disimpan sampai kapan pun. Akankah kerjasama pembuatan novel yang terjalin antara Naya dan Galih pada akhirnya akan terwujud?
Produser: Ernest Prakasa, Chand Parwez Servia
Produksi: Starvision Plus
Durasi: 97 menit
Sutradara: Bene Dion Rajagukguk
Penulis: Nonny Boenawan, Bene Dion Rajagukguk
Tanggal Rilis: 4 Juni 2019
Pemeran: Tatjana Saphira, Ge Pamungkas, Deva Mahenra, Ernest Prakasa, Asmara Abigail, Arie Kriting, Dayu Wijanto, Muhadkly Acho, Endy Arfian
Review Singkat
Khas film-film karya Ernest Prakasa, meski menjagokan perpaduan genre komedi dan horor yang masih belum banyak dijamah di Indonesia, tetap saja ada sempalan unsur drama yang kental. Terutama di babak ketiga cerita hingga menuju akhir.
Saya coba bahas satu persatu.
Dari segi komedi, pada awalnya jujur saja tidak terlalu meyakinkan. Adegan slapstick dan bercandaan garing yang membosankan diulang berkali-kali. Untungnya, hal tersebut hanya ada mungkin di dua atau tiga adegan pembuka. Selanjutnya kita akan diajak untuk tidak berhenti tertawa dengan banyolan-banyolan unik lintas dunia antara karakter Naya dan Galih. Tatjana dan Ge, by the way, melakukan tugas mereka dengan baik di sini.
Yang sebetulnya agak aneh adalah kehadiran karakter Arie Kriting dan Acho yang jelas terlihat sebagai ice breaker — untuk sekedar penambah titik tawa tanpa ada kaitannya dengan cerita utama. Dengan hampir sebagian besar cerita yang sudah kental dengan unsur komedi, kedua karakter tersebut bagi saya pribadi tidak terlalu banyak efeknya. Bukan tidak lucu, hanya tidak terlalu terasa bedanya antara ada dan tidaknya adegan mereka di dalam film.
Dari segi horor, “Ghost Writer” tidak melulu menyuguhkan setan yang bikin yang ketawa. Justru sebaliknya, dengan cerdas dihadirkan dua karakter hantu, Galih dan Bening, yang punya karakteristik berbeda. Yang satu nyeremin, yang satu cuma bermodal bedak tebal di muka. Di titik tertentu, keduanya juga bisa bertukar ‘peran’. Yang nyeremin bisa tampak tenang, yang modal bedak bisa terlihat garang.
Inilah yang terus terang tidak saya sangka bakal datang dari Ernest, sutradara yang tidak pernah bersingungan dengan film bertema horor sebelumnya. Mungkin ada campur tangan dari partner duetnya, Chand Parvez, yang sebelumnya menggarap “Pocong The Origin” dengan cukup baik.
Di kebanyakan film horor lokal, setan selalu digambarkan sebagai sosok yang mengerikan. Padahal nyatanya tidak seperti itu. Saya tidak mau menjelaskan lebih jauh lagi, tapi yang paham dengan dunia mistis pasti mengerti maksud saya.
Selain itu, hal cerdas lain dalam film ini adalah sosok hantu yang serta merta bisa dilihat oleh siapa saja. Ada benang merah yang membuat frekuensi antara manusia dengan si hantu menyatu. Dalam “Ghost Writer”, perantaranya adalah buku harian milik Galih (dan belakangan adalah Galih sendiri).
Di film horor lain? Semua orang seolah-olah punya indera keenam atawa mati batin yang terbuka sempurna. Mau hantu apapun pasti bisa terlihat di depan mereka. Padahal tidak semudah itu, Ferguso. Jangankan dari sisi manusia, dari sisi makhluk halus pun tidak mudah bagi mereka untuk mempertontonkan wujud mereka. Butuh energi yang tidak sedikit.
Disengaja atau tidak, Ernest dan Chand seolah sedang memberi materi kuliah tentang bagaimana menggarap film horor yang realistis pada sutradara-sutradara lainnya.
Eh, tapi kalau masalah nyeremin atau nggaknya, jawabannya sudah jelas ya. Ujung-ujungnya ini tetap film komedi. Jadi tidak perlu takut ada titik jumpscare di dalamnya.
Pembahasan terakhir adalah soal drama. Meski hanya dimasukkan di babak ketiga cerita, unsur dramanya masih lumayan mampu mengolah emosi penonton. Tanpa perlu banyak meneteskan air mata atau mengeluarkan teriakan histeris, ikatan rasa antara Naya dan Galih sudah berhasil membuat mata penonton untuk setidaknya berkaca-kaca.
Bagaimana dengan karakter-karakter lainnya?
Peran Deva Mahenra sebagai kekasih Naya (saya lupa namanya) bagi saya tidak terlalu berkembang. Yah begitu begitu saja. Sosoknya bisa digantikan oleh siapa saja tanpa mengurangi skor akhir film. Pun begitu dengan Endy Arfian sebagai Darto. Saya malah lebih banyak merasa iri kepadanya karena bisa meluk-meluk Tatjana, hehehe.
Di sisi lain, kehadiran keduanya, plus Asmara Abigail dan Ernest Prakasa (yang turut menyumbangkan aktingnya), bisa dikatakan sesuai pada porsinya. Tidak berlebihan dan tidak pula membuat kualitas film terdegradasi.
Pada akhirnya, secara keseluruhan, film “Ghost Writer” ini sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Tidak ada adegan pacaran atau cinta-cintaan ala orang dewasa di dalamnya, sehingga cocok pula untuk disaksikan bersama keluarga dan anak-anak. Siap-siapa saja untuk tertawa terus menerus hingga akhir cerita. Atau yah, setidaknya hingga dua pertiga awal cerita.
Leave a Reply