“4 Tahun Tinggal Di Rumah Hantu” adalah film horor yang diadaptasi dari novel best seller berjudul sama karangan pijar88. Novel itu sendiri ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami sang penulis tatkala ia tinggal di sebuah rumah di kawasan Cimanggis, Depok.
Permasalahannya, hingga sekarang saya jarang sekali mendapati ada film horor berkualitas yang terinspirasi dari kisah nyata. Apakah yang satu ini juga sama?
Untuk tahu jawabannya, yuk simak sinopsis dan juga review singkatnya di bawah ini.
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Alur Cerita / Sinopsis Singkat
Sejak pindah ke rumah baru, pasangan suami istri Jaka (diperankan oleh Arie Dwi Andhika) dan Yanti (diperankan oleh Nabila Putri) serta anak mereka acap mengalami kejadian mistis. Usahanya juga mengalami kebangkrutan, mengakibatkan hubungannya dengan sang istri retak.
Belakangan terungkap bahwa tanah tempat rumah Jaka tinggal dulunya merupakan makam kuno. Mereka tidak terima rumah mereka dihancurkan.
Berbagai cara coba Jaka lakukan untuk mengusir mereka. Pun begitu selalu saja menemui jalan buntu.
Hingga kemudian ia menempuh jalan terakhir. Menjual rumah tersebut dan pindah dari sana.
Jalan tersebut sepertinya diamini oleh para setan penunggu rumah. Keluarga Jaka kembali utuh dan mereka hidup bahagia.
Tanggal Rilis: 2014
Durasi: 110 menit
Sutradara: Jessica Angelica
Produser: Ravi Pridhnani
Penulis Naskah: Nicho AP, Pijar88
Produksi: Studio Sembilan Productions
Pemain: Arie Dwi Andhika, Nabila Putri, Torro Margens, Lara Slvy Yuniar, Arthur Tobing, Fahmi Bo, Purwaniatun, Agus Leo, Untung Blangkon, Lia Trio Macan, Ricky Perdana, Kriss Firdaus, Linda Ramadhanty, Vicky, Roman D. Man
Review Singkat
“4 Tahun Tinggal Di Rumah Hantu” ini bikin saya terkagum-kagum. Bisa-bisanya terpikir untuk menggunakan musik latar di nyaris sepanjang durasi.
Sepertinya tidak mau kalah dengan film horor kebanyakan yang ‘hanya’ menggeber efek suara keras kala ada penampakan.
Hebatnya lagi, musik latar justru ditiadakan dengan kasar di momen-momen yang umum dihiasi backsound.
Yang bikin naik darah adalah volume suara musik latar yang JAUH lebih besar ketimbang volume percakapan para pemainnya. Acap tidak jelas terdengar dialog yang ada.
Untuk penampakan dan jump scare menggunakan ramuan yang biasa ditemui pada masa film ini ditayangkan. Jadi saya tidak akan berkomentar terlalu banyak.
Berbeda dengan naskah skenarionya yang layak untuk diadili.
Sang sutradara seolah tidak mementingkan perlunya ada benang merah antara satu adegan dengan adegan lain. Atau mungkin malah tidak peduli.
Cerita yang ada seperti kepingan puzzle berserakan yang seandainya berhasil disatukan pun tidak bakal menjadi gambar yang utuh.
Ponsel Jaka yang hilang lalu beberapa waktu kemudian sudah kembali ia gunakan.
Jaka yang sering naik ojek padahal nyatanya punya sepeda motor. Saat motornya mogok dan dititipkan di SPBU pun di adegan berikutnya ia sudah kembali bisa menggunakan motor tersebut.
Tetangga yang datang di tengah hujan lebat tapi pakaiannya sama sekali tidak basah.
Lantai ruang tengah yang berlubang besar namun Jaka sukses meminta Yanti untuk meninggalkan rumah tanpa tahu lantainya berlubang.
Anak Jaka yang di satu adegan sakit namun di adegan berikutnya auto sembuh.
Uang dalam amplop kecil yang disebut berisi 30 juta.
Dan masih banyak lagi.
Kesemuanya itu ditutup dengan ending yang membagongkan.
No wind no rain tiba-tiba berakhir begitu saja.
Saya curiga budget film ini dihabiskan untuk menggaji pemain figuran. Pasalnya, banyak sekali karakter yang numpang lewat dan tidak jelas fungsinya.
Alhasil si penulis naskah dan sutradara cuma kebagian sisa-sisa dana saja sebagai bayaran mereka.
Setidaknya ini klop dengan kualitas cerita serta eksekusi yang jauh dari kata serius.
Penutup
Terlalu sering menonton film horor lokal membuat saya mengetahui ciri film horor yang TIDAK berkualitas.
Salah satu indikasinya adalah jump scare tanpa alasan di awal seperti yang dipertontonkan oleh “4 Tahun Tinggal Di Rumah Hantu” di DETIK KE-53.
Naskah dengan alur yang berantakan, penyelesaian akhir yang dipaksakan, serta akting pemain yang asal-asalan membuat saya menyesali keputusan untuk me-review film ini di akhir pekan.
0/10. Jangan ditonton.
Film ini bisa ditonton di Youtube.
P.S.: Entah kenapa saya terbayang-bayang Ladda Land saat menonton film ini.
Catatan: review serta rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi
Leave a Reply