Oke, mungkin gak sepenuhnya ala ala Ada Apa Dengan Cinta? 2. Bukan apa-apa, kondisi cuaca yang memang kurang mendukung memaksa saya dan teman-teman yang tadinya berniat untuk melakukan napak tilas perjalanan Rangga dan Cinta di film AADC? 2 untuk menyesuaikan itinerary. Apalagi dengan waktu yang memang terbatas hanya satu hari. Untunglah gak kentang-kentang amat karena dua tujuan utama masih bisa tercapai. Gak sengaja nemu air terjun yang masih perawan dan belum banyak dikunjungi wisatawan pula. Seru. Begini ceritanya.
Hari 1 – 8 Mei 2016
Trip ke Yogyakarta dimulai bersama kawan saya pada tanggal 8 Mei 2016 (dari Surabaya) dengan menggunakan pesawat Sriwijaya Air. Kenapa gak naik kereta api? Ya karena harga normal tiket pesawat terbang ke Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan harga tiket kereta api eksekutif. Dengan pertimbangan waktu dan juga energi, jelas timbangan terbang ke udara yang lebih unggul.
Jadwal keberangkatan sempat mengalami delay selama kurang lebih 45 menit. Wajar mengingat arus penerbangan yang cukup tinggi pada hari libur panjang terakhir itu. Sesampainya di bandara Adi Sucipto Jogja, kami sudah dijemput oleh salah satu teman yang nantinya juga akan ikut ngetrip bersama.
Pemberhentian pertama adalah Greenhost Boutique Hotel, hotel butik yang menjadi official hotel-nya crew film Ada Apa Dengan Cinta? 2 selama proses syuting berlangsung. Tidak jelas apakah para bintang utamanya juga ikut menginap di tempat tersebut, mengingat, meski penampilan hotelnya cukup indah dan menarik, namun ukuran kamarnya tidak begitu luas. Rencananya, kami hanya akan menggunakan tempat ini untuk beristirahat sejenak sebelum memulai perjalanan ke Punthuk Setumbu di dini hari.
Setelah mandi dan beristirahat sejenak, kami berdua dijemput kembali oleh teman yang tadi menjemput di bandara, bersama dengan kawan yang lain. Tujuan kami adalah bukit bintang, salah satu spot untuk menyaksikan gemerlap kota Yogyakarta dari kejauhan. Namun dengan pertimbangan waktu, kami hanya singgah di RM Bukit Indah yang terletak di ‘dasar’ Bukit Bintang. Sayang agak sulit untuk mengabadikan pemandangan malam ini karena keterbatasan kemampuan kamera ponsel dan kamera digital yang kami bawa. Seperti inilah kira-kira.
Secara umum sih rasanya hampir sama ketika saya dulu berkunjung ke sebuah rumah makan di daerah Semarang Atas (lupa namanya). Udaranya pun hampir sama, tidak terlalu dingin. Bahkan hampir tidak terasa ada angin yang bertiup. Yang agak bikin kurang betah adalah ternyata resto ini jadi satu dengan hotel yang kami curigai sebagai hotel short-time. Kami pun memutuskan untuk tidak berlama-lama dan segera cabut setelah usai menyantap hidangan makan malam untuk kembali ke hotel dan beristirahat.
Hari 2 – 9 Mei 2016
Dini hari, sekitar pukul tiga, kami pun berangkat menuju Punthuk Setumbu dengan sebelumnya mengurus check-out dari hotel Greenhost. Agak berat hati karena reservasi kamar di tempat tersebut sebetulnya sudah termasuk breakfast (edisi salah pesen kamar). Sebagai gantinya, sandal hotel (yang benar-benar bagus dan tidak mirip dengan sandal hotel pada umumnya), kantong-kantong teh kopi gula, serta botol mineral saya ambil semuanya, hehehe.
Perjalanan menuju Punthuk Setumbu memakan waktu kurang lebih 1.5 jam. Karena sempat berhenti di masjid untuk melaksanakan sholat subuh serba cuaca yang tiba-tiba berkabut dan turun hujan, kami baru tiba di lokasi sekitar pukul setengah enam. Apesnya, tanah yang berlumpur akibat turun hujan membuat perjalanan menuju puncak agak terhambat dan harus ekstra hati-hati. Alhasil, kita baru tiba di tangga terakhir beberapa menit setelah matahari mulai nongol.
Meski cukup ramai (parkiran mobil di area parkir full), untungnya masing-masing dari kita masih bisa mencari posisi enak untuk menikmati pemandangan alam nan indah. Tidak terlalu strategis untuk berfoto sih, tapi setidaknya masih dapet lah view Candi Borobodur serta Gereja Ayam yang akan menjadi destinasi selanjutnya.
Setelah hampir 1 jam menjadi saksi keindahan ciptaan Tuhan, dan juga setelah tidak tahan dengan banyaknya lumpur yang nangkring di sepatu, kami pun memutuskan untuk turun dan melanjutkan perjalanan. Sebenarnya ada jalur untuk langsung menuju Bukit Rhema dari Punthuk Setumbu, namun dengan pertimbangan jalur pulang yang membutuhkan perjalanan ganda, kami menuju tempat tersebut dengan menggunakan kendaraan.
Jarak dari Punthuk Setumbu menuju Rumah Doa Bukit Rhema sebenarnya cukup dekat. Mungkin hanya sekitar 2-3km saja. Setelah melalui jalan kampung yang tidak begitu lebar (dan sempat salah jalan), 15 menit kemudian kami pun tiba di Gereja Ayam.
Sayangnya, sama seperti sebelumnya, perjalanan tidak berhenti di area parkir. Kali ini kami harus berjalan sekitar 150 meter untuk menuju bukit Rhema. Iya, tanjakan lagi, bahkan lebih curam dan melelahkan karena tidak berbentuk undakan. Sempat hampir menyerah di paruh jalan dan berharap ada ojek yang lewat. Tapi berhubung termasuk hil yang mustahal, kami pun pasrah dan melanjutkan perjuangan.
Dannnn… jreng jreng… inilah hasil dari perjuangan part 2 di trip ala AADC? 2.
Pintu masuk ke dalam bangunan Gereja Ayam dijaga oleh dua orang pemuda, yang menagih biaya sebesar Rp 10.000,- per orang. Tidak ada tiket yang diberikan sebagai buktinya, melainkan langsung diarahkan untuk menaiki tangga kayu menuju ke bagian atas bangunan. Ada sekitar 4 lantai yang harus dilewati sebelum bisa mencapainya. Sayangnya, bagian atas kepala ‘ayam’ tidak terlalu luas, sehingga untuk bisa menikmati pemandangan dengan nyaman dan berselfie ria di sana harus sabar mengantri dengan pengunjung yang datang terlebih dahulu.
Selain di bagian kepala, sebenarnya bangunan ini juga memiliki ruang bawah tanah. Sayangnya, saya lupa sama sekali tentang bagian tersebut dan baru sadar sudah melewatkan kesempatan untuk menjelajah ruang demi ruang yang penuh misteri 🙁
Target selanjutnya sebenarnya adalah Cur ug Suroloyo. Namun dengan mempertimbangkan dua destinasi pertama yang becek dan licin karena hujan, sedangkan pendakian di Curug Suroloyo dikabarkan lebih berat lagi dalam kondisi normal, maka destinasi selanjutnya pun disesuaikan menjadi Air Terjun Sidoharjo yang berada di area yang sama dengannya.
Dalam perjalanan menuju ke sana kami sempatkan untuk mampir ke Camera House, sebuah bangunan galeri foto yang berbentuk kamera DSLR. Juga ada beberapa wahana, yang sengaja kami lewatkan karena tiket masuk yang lumayan mahal, Rp 50.000,- per orang. Selain itu, berhubung terlihat penampakan warung yang sudah buka di pagi hari, kami juga menyempatkan mengisi perut di sana dengan sarapan tengkleng kambing. Anti mainstream lah pagi-pagi makan tengkleng, hehehe.
Perjalanan menuju Air Terjun Sidoharjo ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Bahkan lebih tepatnya sudah berubah menjadi petualangan. Mulai dari jalanan yang terjal, menanjak, berliku (tapi dihibur dengan view indah Sungai Progo), titik peta Google Maps yang ternyata mengarah ke sebuah masjid, ancer-ancer dari penduduk setempat yang tidak sesuai dengan kenyataan (atau mungkin memang kami yang #gagalpaham terhadap petunjuk beliau), hingga berjalan kaki menyusuri bukit melalui jalur selebar kurang lebih setengah meter (dan di sampingnya jurang). Pada akhirnya kami memang sukses mencapai sebuah air terjun, tapi ternyata itu bukan Air Terjun Sidoharjo, melainkan Curug Siluwok!
Hanya ada tiga pengunjung lain di curug tersebut ketika kami tiba, dan dari info yang mereka berikan, ternyata kami salah jalan, yang harusnya mengambil jalan lurus agak ke kiri di pertigaan, kami justru mengambil arah ke kanan, hehehe. Info lain dari mereka, curug Siluwok ini jauh lebih keren dibandingkan tujuan kami semula, air terjun Sidoharjo. Asikkkk!
Puas bermain air, trip berlanjut menuju Goa Kiskendo, pemberhentian sementara sebelum meluncur ke destinasi terakhir pada hari itu, Kalibiru. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, apes bin siyal, sesampainya di Goa Keskindo ternyata goa tersebut ditutup sementara karena sedang proses penggantian lampu-lampu di dalam goa yang mati. Dan baru sempat foto-foto barang sejepret dua jepret, hujan deras pun turun. Lengkap sudah kekacauan trip AADC? 2 kali ini.
Awalnya kami memilih untuk berteduh sejenak karena dari semalam memang hujan berulang kali mengguyur kota Yogyakarta namun tidak pernah berlangsung lama. Namun setelah beberapa waktu berteduh di pendopo sambil ngintip sepasang remaja yang asik berpacaran tanpa mempedulikan keberadaan kami berempat, diputuskan untuk menerjang hujan dan kembali ke area parkir. Lebih tepatnya ke warung yang ada di area parkir. Segelas teh hangat dan beberapa biji gorengan pun masuk ke perut sebelum capcus.
Lanjut ke Kalibiru? Sayangnya tidak. Dengan kondisi cuaca seperti itu, sepertinya menuju ke Kalibiru bukan pilihan yang tepat. Gak ada lucu-lucunya sama sekali kalo pas udah naik ke atas pohon tiba-tiba hujan turun dengan deras, lalu kita kepleset dan jatuh ke jurang.
Kami tiba di kota Yogyakarta sekitar satu jam kemudian. Saya dan kawan saya diturunkan di hotel Ibis Styles, tempat kami menginap untuk semalam, sebelum pulang ke Surabaya keesokan hari. Ruangan kamar hotel ini tidak jauh berbeda dengan hotel-hotel Ibis lainnya, mungkin sedikit lebih luas. Yang jelas, meski terletak di jalan Dagen, tapi lokasinya (relatif) cukup jauh dari jalan Malioboro. Bukan pilihan yang tepat bagi teman-teman yang ingin belanja-belenji di sana.
Acara malam harinya sebenarnya ingin diisi dengan mencicipi Sate Klatak Pak Bari, salah satu kuliner yang mendapat berkah popularitas dari film Ada Apa Dengan Cinta? 2. Namun karena teman-teman di Jogja mengajak hangout bareng akhirnya Legend Cafe menjadi tempat menghabiskan waktu di malam kedua. Eh tempatnya super duper asik, lengkap fasilitasnya. Mushola juga lumayan luas, sesuatu yang jarang ada di sebuah cafe. Recommended deh buat yang butuh tempat nongkrong, belajar, atau ngerjain tugas dalam waktu lama.
Hari 3 – 10 Mei 2016
Tidak ada rute spesial di hari ketiga karena saya dan kawan saya hanya ingin menikmati kota Jogja dengan segala rutinitasnya sembari menunggu waktu pesawat berangkat. Tidak lupa untuk mampir ke Gudeg Yu Jum di Selokan Mataram, beli oleh-oleh Bakpia Pia, serta mampir makan di warteg (gak bisa disebut warteg juga sih, pake rombong / gerobak soalnya) langganan yang ada di ujung jalan Dagen. Enak loh, sudah pernah nyobain?
Sesampainya di bandara ternyata masih ada kejutan ekstra, yang seharusnya turun di terminal 1, malah nyasar ke terminal 2. Untung sudah ada kendaraan gratis antar terminal. Tapi dewi fortuna belum benar-benar berpihak karena pesawat mengalami delay selama 1 jam lebih. Terpaksa merelakan uang di luar budget untuk menghabiskan waktu di cafe (yang mark-up harganya sendiri bisa dibuat makan malam di resto).
Dan karena sudah terlanjur overbudget, setibanya di bandara Juanda, Surabaya, saya memutuskan untuk memesan taksi dari loket yang ada di dalam bandara (biasanya langsung menggunakan taksi argo yang ada di luar). Jika menggunakan loket yang ada di luar bandara, harganya rata-rata berselih Rp 20.000,- dari biaya taksi argo. Ternyata biaya pemesanan dari loket di dalam gak tanggung-tanggung selisihnya, hampir mencapai Rp 40.000,-. Busetttt.
Yah overall, sebuah perjalanan yang menyenangkan, meski lebih banyak yang zonk alias tidak sesuai dengan harapan, hehehe. Tapi itulah serunya traveling. Hasil lain, saya jadi bisa lebih yakin dalam merancang itinerary trip ala AADC? 2, versi yang lebih baik dibanding itinerary saya kemarin tentunya. Besok saya tuangkan di situs saya lainnya, Trepling.Xyz. Mampir ya ke sana 🙂
Leave a Reply