Bukan hal yang gampang ternyata untuk bisa tidur pulas di bandara Haneda. Selain bandara ini memang aktif selama 24 jam, saya baru menyadari bahwa kursi tempat saya merebahkan badan ternyata tidak jauh dari eskalator menuju Chartered Bus. Masalahnya? ‘Gerbang’ eskalator tersebut setiap 30 detik sekali berbunyi, memberitahukan pada orang-orang yang berniat menggunakannya untuk berhati-hati, berpegangan, dan sejenisnya. Entahlah, kira-kira begitu bunyinya, saya belum begitu paham bahasa Jepang. Untungnya, mantel dingin yang tebal bisa menjadi penutup wajah dan peredam bunyi yang (agak) sempurna, sehingga setidaknya saya masih bisa beristirahat sejenak hingga terbangun pukul 05.05.
Udara saat itu benar-benar dingin. Tidak heran, karena suhu menunjukkan angka 4 derajat celcius. Saat itu saya masih belum mengenakan longsleeve penghangat, hanya berbalut winter coat saja. Jelas tidak mempan, lha wong AC kamar saja saya kedinginan, hehehe.
Setelah melaksanakan sholat subuh di Prayer Room, kami kembali bersandar di kursi tunggu. Kali ini di dekat gerai Lawson, yang baru akan dibuka pukul 06.00. Tujuannya satu, mengisi perut. Dan tak lama, onigiri seperti terlihat pada gambar di bawah inilah yang menjadi santapan resmi pertama saya di Jepang. Rasanya lumayan juga, isi daging ikan tuna atau apa gitu.
Perut (agak) kenyang, saatnya membasuh muka dan berganti pakaian. Mendobel pakaian lebih tepatnya, dengan longsleeve hangat dari H&M (bukan promosi). Sebenarnya ingin mandi juga untuk lebih menyegarkan badan. Apa daya, biaya pemakaian shower room di bandara Haneda bikin badan langsung segar, ¥1,030 per 30 menit. 125 ribu.
Tarif ini sebenarnya masih lebih murah dibandingkan pemakaian shower lounge di bandara internasional Changi (Singapura), SGD$16 (150 ribu). Tapi berhubung baru tiba di Jepang, agak riskan juga untuk mengeluarkan budget yang belum direncanakan seperti ini. Skip dulu deh mandinya.
Berhubung masih ada waktu sebelum kantor JR East Travel Service Center dibuka pukul 07.45, kami putuskan untuk membeli kartu IC Passmo terlebih dahulu. Rencana awal sih beli satu kartu Passmo dan satu kartu SUICA untuk nantinya dibandingkan lebih hemat mana pemakaiannya, tapi berhubung gak tahu harus beli kartu SUICA dimana (padahal ternyata di kantor JR itu juga), akhirnya kita berdua sama-sama beli kartu Passmo.
Seperti halnya kartu IC lainnya, Passmo dapat digunakan untuk naik kereta / bus, membeli minuman di vending machine, berbelanja di minimarket (konbini), dan sebagainya. Lebih praktis ketimbang harus menggunakan uang fisik. Di mesin kartu, ada beberapa pilihan nominal deposit yang hendak dipilih. Nominal tersebut sudah termasuk dana sebesar ¥500 yang tidak bisa digunakan dan hanya bisa diambil apabila kartu tersebut kita kembalikan. Dengan mempertimbangkan durasi backpacking kami di Jepang, kami memilih kartu berisi dana ¥3,000.
Selanjutnya adalah membeli kartu JR Tokyo Wide Pass. Sudah mulai ada beberapa orang bule yang antri di depan kantor JR yang masih belum dibuka. Agar tidak banyak membuang waktu, kami putuskan untuk ikut antri di belakang mereka. Lumayan, masih posisi 5 besar. Beberapa menit sebelum kantor beroperasi, beberapa orang petugas keluar dan mulai menanyakan satu persatu kepada yang antri mengenai tujuan mereka dan apa saja yang harus dipersiapkan. Untuk pembelian kartu JR Tokyo Wide Pass, saya diminta untuk mengisi formulir seperti pada gambar di bawah ini.
Kembali saya dibuat kagum oleh betapa efektifnya orang-orang Jepang bekerja. Dengan prosedur di atas, proses pelayanan di dalam kantor pada saat mulai dibuka menjadi lebih singkat karena hanya tinggal melakukan pembayaran dan menjelaskan informasi-informasi penting tambahan saja. Tidak sampai 10 menit saya sudah keluar dengan membawa bekal Tokyo Wide Pass, kartu sakti yang memberi akses penggunaan kereta dan bus milik jaringan perusahaan JR (termasuk shinkansen) di wilayah Tokyo dan sekitarnya.
Daftar Isi
Ueno Park, Lebih Dari Sekedar Taman
Destinasi pertama kami di Jepang adalah Ueno Park. Setelah sempat kebingungan menghadapi peta jalur kereta dan salah turun stasiun sehingga belum apa-apa sudah overbudget :p akhirnya kami pun tiba di stasiun Ueno, stasiun terdekat dari taman Ueno yang tersohor. Ekspektasi saya terhadap taman ini ternyata berbeda dengan realita. Saya pikir Ueno Park ini merupakan taman yang besar dan semuanya dipenuhi dengan rumput-rumput hijau sehingga kita bisa duduk santai ala piknik di bawah pohon rindang sambil menikmati angin yang bertiup sepoi-sepoi. Areanya memang besar, tapi tidak semuanya berupa dataran hijau dan tidak semuanya ditumbuhi pohon rindang.
Setelah beristirahat sejenak di dekat kolam air mancur sembari membuat rekaman timelapse, kami mampir ke Starbucks yang tak jauh dari tempat kami berada untuk ngopi-ngopi cantik dan mengamati lebih detil aktivitas warga Jepang di Ueno Park. Ya, mayoritas yang berada di sana pada saat itu memang warga lokal sendiri. Saya hampir tidak menemui turis melintas. Entah karena masih terlalu pagi atau karena memang ini bukan tempat favorit wisatawan untuk kongkow.
Satu dari sekian banyak ruang publik di kota Tokyo ini memang cukup ramai. Mulai dari anak sekolah yang sekedar lewat, orang tua yang berjalan bersama anjingnya, wanita muda yang berolahraga lari, ibu-ibu yang bermain bersama anaknya, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling menarik perhatian saya justru sekumpulan burung merpati yang dengan jinaknya sliweran di antara kaki para pengunjung Starbucks, berharap mendapat seremah dua remah kue dari mereka.
Setengah jam sudah cukup untuk membiarkan cairan kopi menghangatkan tubuh. Kami pun beranjak untuk menuju destinasi berikutnya, patung Hachiko dan Profesor Ueno yang ada di halaman Universitas Tokyo.
Sowan Ke Patung Hachiko
Ini kesalahan perdana saya di Jepang. Saat menyusun itinerary, saya sudah berulang kali memastikan bahwa jarak dari Ueno Park menuju Yayoi Campus, tempat patung Hachiko dan Profesor Ueno berada, hanya sedikit lebih jauh dibandingkan jarak antara Yayoi Campus dengan stasiun Todai-Mae. Yang luput dari perhitungan saya… jalanan dari Ueno Park menuju Universitas Tokyo tersebut ternyata berupa tanjakan, sodara-sodara. Alhasil, meski secara perhitungan jarak di Google Maps tidak terlalu jauh, tapi kaki jadi lumayan pegel. Itu masih ditambah dengan salah jalan yang BERLAWANAN ARAH gara-gara sinyal GPS sempat hilang.
Kisah kesetiaan anjing Hachiko terhadap pemiliknya, Profesor Hidesaburō Ueno, menjadi populer semenjak diangkat ke layar lebar pada tahun 2009 dengan judul “Hachiko: A Dog’s Story”, dibintangi oleh Richard Gere. Namun jauh sebelum itu, warga Jepang juga sudah sangat menghargai loyalitas yang ditunjukkan oleh Hachiko, hingga dibuatlah beberapa patung untuk mengenang kisahnya. Yang paling populer adalah patung Hachiko yang ada di depan stasiun Shibuya, Tokyo. Informasi lebih detil mengenai Hachiko dan juga patung-patungnya dapat dibaca di sini.
Apes, patung yang ditemui penuh perjuangan itu ternyata sedang direnovasi area sekitarnya pada saat kami tiba. Patung yang menggambarkan ending alternatif dari kisah nyata profesor Ueno dan Hachiko ini memang masih bisa terlihat jelas, tapi area sekitar yang masih berupa gundukan tanah membuat tangkapan foto menjadi kurang sedap dipandang. Yah, setidaknya ada bukti kalau pernah sowan ke Hachiko dan majikannya.
Capek berjalan jauh, kami beristirahat sejenak di taman Yayoi Campus yang cukup nyaman meski dalam kondisi musim dingin. Kurang tahu apakah memang bukan saatnya ngampus atau tidak, yang jelas suasananya tidak begitu ramai. Hanya sesekali terlihat beberapa orang dosen dan mahasiswa / mahasiswi yang berlalu lalang. Bangunan gedung kampusnya juga tidak mirip dengan gedung-gedung kampus di Indonesia. Lebih mirip kompleks rusun, hehehe.
Acara selanjutnya sebenarnya adalah menuju stasiun Yotsugi yang terletak di pinggiran kota Tokyo untuk memulai petualangan berburu tujuh patung Captain Tsubasa yang tersebar di wilayah Yotsugi. Namun karena membayangkan enaknya mandi terlebih dahulu untuk menyegarkan badan, kami putuskan untuk mampir check-in ke hostel sebelum menuju ke sana. Kebetulan, jalur keretanya memang searah.
Yang bikin keki, letak stasiun Todai-Mae ternyata tepat berada di samping kampus Yayoi. Bodohnya. Ngapain ya tadi pakai berjalan kaki susah payah melewati tanjakan?
Berburu Patung Captain Tsubasa
Hostel yang kami inapi bernama ENAKA Asakusa. Letaknya di tengah-tengah area Shin-Nakamise, tidak jauh dari Nakamise Shopping Street, gang tersohor di Asakusa yang dipenuhi aneka jajanan dan suvenir yang menggoda iman. Sayangnya, check-in baru bisa dilakukan pada pukul 16.00, sementara waktu itu jam masih berada di angka 14.30. Setelah duduk-duduk sejenak dan menitipkan tas ransel di resepsionis, kami pun melanjutkan perjalanan.
Meski berada di track kereta yang sama, kami harus turun terlebih dahulu di stasiun Oshiage untuk membeli tiket menuju stasiun Yotsugi seharga ¥160. Pasalnya, kartu Metro Subway Pass tidak meng-cover kereta jalur Keisei-Oshiage Line yang menuju stasiun Yotsugi. Apabila dari stasiun Asakusa tidak menggunakan kartu pass, bisa saja langsung membeli tiket ‘terusan’ yang turun di stasiun Yotsugi. Tapi namanya juga mau hemat, #rapopo lah repot sedikit.
Perjalanan menuju stasiun Yotsugi membawa kereta menyeberangi sungai Arakawa. Dan saya benar-benar ngarep.com banget pengen bisa mampir ke ‘bantaran’ sungai tersebut, mengingat banyak sekali adegan film dan komik Jepang yang berlatar tempat serupa. Asyik membayangkan kalau bisa ikut merasakan duduk-duduk di pinggir sungai yang berbentuk seperti bukit sembari melihat anak-anak dan remaja lokal beraktivitas. Sayangnya untuk edisi backpacking kali ini harapan saya belum bisa terwujud.
Seperti sudah disebutkan di atas, ada tujuh buah patung karakter Captain Tsubasa dan teman-temannya yang tersebar di wilayah Yotsugi, membentang dari stasiun Yotsugi hingga stasiun Tateishi. Awalnya patung Tsubasa Oozora sendiri yang pertama kali dibangun pada tahun 2013. Namun melihat respon yang positif, enam buah patung lainnya dibangun setahun kemudian. Salah satu yang paling gampang ditemui adalah patung Ryo Ishizaki yang berada tidak jauh dari pintu keluar stasiun Yotsugi. Lebih detil mengenai patung-patung Captain Tsubasa dan lokasinya dapat dibaca di sini.
Manga Captain Tsubasa (キャプテン翼) pertama kali diciptakan oleh Yōichi Takahashi pada tahun 1981. Sejak kemunculannya itu, manga yang judulnya diambil dari nama pemeran utamanya, Tsubasa Oozora, telah menarik minat banyak penggemar dan ceritanya telah berkembang sedemikian rupa, tidak hanya dalam bentuk komik saja, melainkan juga dalam layar kaca (anime) hingga video game. Popularitas Captain Tsubasa bahkan menginspirasi banyak pesebakbola profesional tingkat dunia, termasuk Fernando Torres, Hidetoshi Nakata, Alexis Sánchez, Andrés Iniesta, Alessandro Del Piero, hingga Lionel Messi!
Di hari kedua ini sendiri kami hanya sempat mendatangi lima dari tujuh patung yang ada. Bukan apa-apa, waktu yang sudah mepet dengan jadwal sholat maghrib membuat kami memutuskan untuk balik terlebih dahulu ke hostel dan melanjutkan perburuan tersebut di hari terakhir berada di Tokyo nanti, yang kebetulan memang jadwalnya tentatif. Yang pasti, kami berdua sangat menikmati berjalan kaki di area Yotsugi ini. Jauh dari hingar bingar pusat kota, dengan nuansa yang benar-benar terasa sedang berada di Jepang, karena jujur, bagi saya pribadi, saat berada di area perbelanjaan dan hiburan yang padat seperti di Shinjuku, Shibuya, dan Akibahara sekali pun, saya merasa tidak terlalu berbeda dengan saat berada di Singapura atau Bangkok.
Berbeda dengan di pinggiran kota Tokyo. Toko yang merangkap sebagai rumah tinggal, gang-gang kecil, penduduk yang kebanyakan berjalan kaki, truk kecil pengantar barang, ibu-ibu yang membonceng anaknya, anak kecil bermain di taman. Semua terekam dengan jelas di memori hingga saat artikel ini ditulis.
Malam Menawan Di Asakusa
Setelah kembali ke hostel dan beristirahat sejenak, agenda berikutnya tentu saja adalah makan malam. Untuk menu kali ini sudah ditetapkan terlebih dahulu: Ramen Naritaya, resto ramen halal yang berada tidak jauh dari hostel. Dalam perjalanan menuju ke sana, kami dibuat terbengong-bengong dengan suasana daerah Asakusa yang sudah relatif gelap dan sepi, meski saat itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul 20.00 malam. Ditambah, resto yang dituju terletak di tengah kompleks pertokoan yang juga hampir semuanya sudah tutup. Kami sempat sejenak mematung di depan pintu, tidak yakin apakah tempat tersebut masih buka atau juga ikutan tutup, sebelum akhirnya seorang wanita membukakan pintu dari dalam dan mempersilahkan kami untuk masuk.
Setelah melihat sekilas menu yang ada, saya memesan Chicken Bowl seharga ¥500. Selain murah, saya juga tidak terlalu fanatik dengan ramen. Sayangnya, wanita yang rupanya pemilik resto dan berasal dari Pakistan itu mengatakan bahwa persediaan nasi sudah habis dan menu tersebut tidak akan terasa enak tanpa nasi. Meski agak kurang setuju dengan argumennya, saya mengalah dan terpaksa memesan menu ramen seharga ¥700. Untuk minumannya saya pilih orange juice berbandrol ¥250.
Sambil menunggu hidangan siap, saya minta ijin untuk menggunakan fasilitas mushola yang memang tersedia di lantai 2. Ruang musholanya agak sempit dan hanya cukup untuk 1 orang saja. Selain untuk sholat, di lantai 2 juga tersedia meja-meja makan tambahan, sepertinya digunakan pada siang atau sore hari saat kunjungan padat.
Bagaimana dengan rasa ramennya? Yah, menurut saya cukup lumayan. Tidak yakin untuk bilang enak karena kondisi perut saat itu memang sudah di ambang batas lapar yang amat sangat. Tapi setidaknya poin 7 dari 10 masih dapat lah. Selain mie, ada potongan daging ayam, rumput lain, dan tentu saja, telur setengah matang, ciri khas dari ramen. Porsinya juga tidak pelit. Sayang sekali saya lupa untuk memfoto penampakannya karena sudah terlanjur kalap saat hidangan tiba di hadapan, hehehe.
Saat meninggalkan TKP, kami bertemu dengan rombongan keluarga asal Jambi yang kebetulan juga hendak makan malam di Ramen Naritaya. Saya pribadi sebetulnya menghindari bertemu wisatawan asal Indonesia saat berada di luar negeri (biar berasa jauh dari Indonesia), tapi berhubung tidak bisa dihindari lagi ya boleh deh bersosialisasi sejenak. Sebelum berpamitan, saya sempat bertukar nomer telpon dengan mereka karena mereka sedang mewacanakan untuk bepergian ke Gunung Bromo suatu saat nanti dan siapa tahu bisa bertukar informasi.
Kami sengaja mengambil jalur lain untuk menuju kembali ke hostel, melalui Sensoji Temple dan Nakamise Street yang hari itu tidak sempat kami jelajahi. Keputusan ini tanpa disangka sangat tepat karena kuil tersebut terlihat sangat indah di malam hari. Apalagi dengan latar belakang Sky Tree yang berkilau kebiruan di kejauhan.
Meski semua toko di jalan Nakamise sudah tutup, tempat ini ternyata tidak benar-benar sepi pengunjung. Tidak sedikit orang yang lalu lalang, termasuk beberapa yang menyempatkan diri untuk berdoa di depan Sensoji Temple. Yang jelas, jika dibandingkan dengan kondisi pada siang hari seperti yang sempat kami saksikan sore harinya saat mampir ke hostel untuk meletakkan ransel maupun yang ada di video-video Youtube, suasana area Asakusa di malam hari tidak kalah berkesannya. Sangat saya rekomendasikan bagi yang tidak suka keramaian untuk justru blusukan di area Nakamise, Kaminarimon Gate, Sensoji Temple, dan sekitarnya pada saat gelap tiba. Kita bisa menghindar dari godaan menghabiskan isi dompet untuk membeli jajanan yang menggugah selera, dan sebaliknya, menikmati hal-hal lain yang mungkin luput terlihat di saat kondisi jalanan ramai. Seperti mural di tembok / pintu toko, lukisan yang menceritakan sejarah wilayah Asakusa, dan tak lupa kemegahan Hozomon Gate.
Keuntungan lainnya, kita bisa memotret Kaminarimon Gate, ikon tersohor wilayah Asakusa, dalam keadaan lenggang semacam ini. Hil yang mustahal dilakukan di siang maupun sore hari.
Mandi Bareng di Sento
Tiba di hostel, saya teringat salah satu kegiatan di itinerary saya hari itu yang belum terlaksana. Enggan melewatkan lebih banyak lagi kegiatan dari itinerary, saya memutuskan untuk terlebih dahulu menjajal Jakotsuyu Sento sebelum tidur. Sesuai namanya, Jakotsuyu Sento adalah pemandian umum air panas yang terletak di tengah-tengah Asakusa, hanya beberapa ratus meter dari hostel. Travel mate saya sempat ikut menuju ke sana, tapi mundur teratur begitu tiba di TKP, mungkin belum kuat mental untuk merasakan sensasi mandi bareng sesama pria 😀
Saya yang kebetulan sebisa mungkin mencoba aktivitas-aktivitas warga lokal semacam ini di tiap negara yang saya singgahi, bisa dibilang sudah cukup terbiasa dengan yang namanya pemandian umum. Di Malaysia dan Kamboja saya juga sudah pernah mampir ke tempat serupa. Bedanya tentu saja ada. Yang paling utama adalah tujuan orang-orang datang ke tempat tersebut. Di Jepang, penduduk murni datang untuk mandi dan menyegarkan tubuh setelah seharian bekerja. Di dua negara yang saya sebutkan sebelumnya, sebagian besar datang untuk bersosialisasi dan ‘mencari mangsa’. Jadi bagi teman-teman yang hendak masuk ke pemandian umum selain di Jepang, sebaiknya cari-cari informasi dulu deh mengenai tempatnya. Pahami pula do’s and dont’s-nya, karena salah gesture bisa membawa petaka, hehehe.
Untuk cerita selama berendam dan main air di sento ini sudah saya tuliskan sebelumnya di artikel mengenai Pengalaman Mandi Bareng di Sento Jepang.
Balik ke hostel dengan badan segar, saya langsung masuk ke tempat tidur dan menutup perjalanan hari kedua di Jepang dengan sebelumnya minum sebotol teh oolong yang sempat saya beli di jalan.
Masih beradaptasi dengan sistem transportasi di Jepang serta jarak dari satu stasiun ke stasiun lain yang lumayan jauh, tidak sedikit itinerary yang terlewatkan di hari kedua ini. Mulai dari mampir ke Hanayashiki Amusement Park, beribadah di Asakusa Mosque, ngeliatin patung-patung kucing imut di Imado Shrine, leyeh-leyeh di Sumida Park, hingga mengamati area Asakusa dari Observation Deck Asakusa Tourist Information Centre yang letaknya sebenarnya tidak jauh dari hostel tempat kami menginap.
Bagi saya pribadi ini adalah pelajaran yang sangat berharga dan pengingat agar tidak terlalu pede meski sudah berpengalaman naik MRT di negara lain, karena belum tentu kondisi dan sistem MRT yang diterapkan di tiap negara serupa. Yang paling bikin syok sebenarnya adalah banyaknya jalur tangga yang harus dilalui di dalam stasiun. Untuk berjalan kaki biasa saya terus terang sudah cukup terlatih, sampai 10 km pun oke oce aja. Lain cerita untuk naik turun tangga. Dan meski sudah berusaha strong, efeknya ternyata mulai terasa pada hari kelima…
—
Cerita ini adalah bagian ketiga dari tulisan berseri mengenai perjalanan backpacking ke Jepang. Untuk info lebih detil dan daftar tulisan keseluruhan dapat dibaca di sini. Jika tertarik, tulisan sebelumnya adalah mengenai “Drama Keberangkatan Menuju Tokyo“. Selamat membaca 🙂
Leave a Reply