Berhubung baru dapet mood-nya untuk nulis bagian terakhir, jadi catper Backpacking Jepang-nya loncat dulu ke hari ke-tigabelas, ya 🙂 Paragraf awal ini nanti akan saya updet lagi apabila catatan hari sebelumnya sudah dipublikasikan. Semoga berkenan dan selamat membaca.
Menuju Namba Station di pagi hari ternyata tidak semudah angan. Meski sudah berbekal rute dari Google Maps, tapi suasana sepanjang perjalanan yang masih sepi dan toko-toko dalam kondisi tutup malah membuat tidak yakin kemana harus melangkah. Pada akhirnya kami gambling mengikuti 4 orang gadis asal Korea yang sepertinya juga akan menuju stasiun Namba, jika dilihat dari cara berpakaian dan barang bawaan mereka yang seperti turis akan pulang kampung. Dan untungnya benar, hehehe.
Setibanya di stasiun, kami langsung membeli tiket kereta terlebih dahulu dengan menggunakan sisa saldo di kartu IC Passmo. Harganya ¥920 atau sekitar Rp 110.000,- untuk perjalanan selama kurang lebih 57 menit melalui 9 pemberhentian. Ada juga yang lebih mahal, kereta Nankai Limited Express dengan biaya tiket ¥1.430. Jika naik yang ini, waktu tempuh hanya 40 menit saja. Berhubung waktu masih on schedule, bisa skip kereta yang lebih mahal dan hemat sekitar Rp 60.000,-
Karena belum makan dan juga tidak memesan makanan di pesawat (hemat, bro!), saya mampir sebentar ke minimarket yang ada di dekat gerbang tiket (lupa waktu itu Sevel atau Lawson) dan membeli satu buah roti isi mie goreng dan dua buah onigiri. Sejak beberapa hari sebelumnya saya memang sudah penasaran dengan roti isi mie tersebut, untunglah masih kesampaian untuk nyicipin sebelum meninggalkan negeri Sakura.
Daftar Isi
Episode Pamungkas Drama Jepang
Kansai-Airport Station, stasiun pemberhentian terakhir dari kereta yang kami tumpangi, terletak tepat di dalam area bandara internasional Kansai (KIX). Hanya tinggal berjalan sekitar 100 meter saja untuk mencapai pintu masuk bandara. Saat kami tiba, konter check-in belum dibuka. Masih harus menunggu sekitar setengah jam lagi.
Berhubung tempat duduk semuanya sudah ditempati, kami memilih melipir di pinggir jendela, tak jauh dari konter check-in. Supaya bisa langsung antri begitu counter dibuka. Saya tidak ingat apa yang dilakukan teman saya, tapi saat itu saya memutuskan untuk mengambil rekaman video keadaan sekitar untuk terakhir kalinya sebelum tongsis saya bongkar dan saya masukkan ke dalam backpack.
Tepat di saat rekaman saya hentikan dan saya mulai mempreteli three-way monopod saya, dua orang pria tegap dengan memakai jas datang menghampiri kami. Tanpa banyak basa-basi, setelah mengucap salam, keduanya mengeluarkan lencana polisi dari balik jasnya.
“We are the police. We’d like to ask a few question about you.”
Saat itu saya cuma bisa terdiam. Anehnya saya tidak merasa takut, tapi justru merasa kagum dengan mereka. Gayanya keren, kaya detektif atau komisaris polisi di film-film. Awalnya saya pikir saya yang dicurigai karena sebelumnya mengambil video di dalam area bandara. Tapi ternyata yang ditanya-tanya justru teman saya. Saya hanya tinggal menimpali jawaban teman saya saja, atau membantu menterjemahkan pertanyaan mereka, yang disampaikan dalam bahasa Inggris yang lumayan lancar untuk ukuran orang Jepang.
Apa saja yang ditanyakan? Hal sepele sebenarnya. Yang pertama sih mereka meminta buku paspor dan mencatat nama serta nomer paspor kita. Kedua, mereka bertanya seputar kunjungan kita ke Jepang. Seperti berapa lama berada di Jepang, mengunjungi kota apa saja, dan sebagainya. Dan bagusnya, sama seperti saat saya terkena pengecekan di custom saat mendarat di bandara Haneda, cara mereka bertanya cukup sopan. Sambil tersenyum dan seperti sedang bertanya biasa dengan teman atau orang yang baru berkenalan. Jadi apabila ada teman-teman yang nanti mengalami hal serupa, tidak perlu takut ya. Hal semacam ini wajar kok di bandara Jepang.
Yang kemudian menjadi drama adalah, 10 menit kemudian, kali ini saat saya sedang menyantap onigiri yang saya beli sebelumnya, datang lagi satu orang detektif polisi dan melakukan hal yang sama kepada kita! Prosedurnya sama persis — minta buku paspor, dicatat, dan ‘diinterogasi’ seputar kunjungan ke Jepang. Dan lagi-lagi, yang lebih banyak ditanya juga teman saya. Lucunya, polisi tersebut juga sempat membatalkan salah satu pertanyaannya gara-gara ia bingung sendiri bagaimana menyampaikannya dalam bahasa Inggris, hehehe.
Dua kali berturut-turut dicurigai oleh polisi bandara Kansai membuat saya jadi kepo dan mencoba googling mengenai hal itu. Hasilnya, seperti sudah sempat saya sebutkan di atas, kejadian tersebut wajar terjadi. Pihak kepolisian memang berhak untuk menginterogasi turis yang dianggap mencurigakan. Namun di sisi lain, menurut undang-undang mereka, kita, sebagai turis, juga berhak untuk mempertanyakan alasan mereka untuk mencurigai kita. Apabila tidak bisa menjawab, alias sekedar random check, kita berhak untuk menolak menanggapinya.
Saya sempat berharap bakal ada polisi yang datang lagi untuk ketiga kalinya, tapi counter check-in keburu dibuka dan kami buru-buru antri sebelum keduluan oleh calon-calon penumpang yang lain.
Bawaan (Nyaris) Bermasalah
Saya belum pernah membeli barang duty free sebelumnya. Hampir tidak pernah belanja saat backpacking lebih tepatnya. Jadi, untuk tata cara membawa barang duty free dari masuk bandara hingga menuju pesawat terus terang saya awam informasi. Berhubung kebetulan pakaian oleh-oleh yang saya beli hari sebelumnya termasuk barang duty free, saya coba mengikuti prosedur yang tercantum di slip duty free yang diberikan pada saat saya melakukan transaksi pembelian. Di sana tertulis bahwa barang duty free harus ditenteng dalam tas atau wadah terpisah agar bisa diperiksa oleh bagian custom dengan mudah.
Hal ini ternyata sempat menjadi masalah saat melakukan check-in. Sesuai aturan memang AirAsia, maskapai yang saya tumpangi, hanya memperbolehkan setiap penumpang membawa 2 (dua) buah tas ke dalam kabin pesawat. Dengan tambahan tas plastik berisi pakaian oleh-oleh, bawaan saya otomatis bertambah 1 lagi menjadi 3 tas. Mbak petugas bagian counter mewajibkan saya untuk memasukkan tas tersebut ke dalam tas lainnya (sehingga total hanya 2 tas) dan memastikan beratnya tidak melebihi 7 kg. And you know what, berat totalnya ternyata 7.1kg, masih dalam batas ditelorir. Wew, nyaris gagal bawa oleh-oleh.
Lebih untung lagi, perjalanan saya lakukan sebelum pihak AirAsia memperketat aturan bagasi kabin mereka, dimana total berat kedua tas yang masuk bagasi kabin adalah 7 kg. Pada saat itu hanya tas ransel saya yang ditimbang, tas slempang diabaikan. Untunglah berbagai gadget dan pernak-perniknya sudah berpindah ke dalam tas slempang.
Usai check-in, kami menuju bagian imigrasi. Tidak ada kendala sama sekali kali ini. Sayangnya, waiting room penerbangan Air Asia ternyata sesuai dengan budgetnya saat itu, terletak di bagian bangunan yang terkena sinar matahari. Setelah celingak celinguk di sekitar, kami putuskan untuk menunggu di area sebelahnya saja, ruang tunggu untuk maskapai Singapore Airlines, yang jauh lebih nyaman, hehehe.
8 Jam Di Pesawat Itu Lama
Dalam pesawat D7-533 menuju Kuala Lumpur saya mendapat tempat di deret tengah bagian pinggir, tepatnya di nomor 9G. Kebetulan kursi di sebelah kosong, sehingga terasa lebih lega. Perjalanan dari Osaka menuju Kuala Lumpur memakan waktu sekitar 8 jam. Saat itu saya mengira durasi perjalanan adalah 7 jam, sama seperti saat berangkat. Bodohnya, saya lupa bahwa pada saat itu rute keberangkatan adalah dari Kuala Lumpur menuju Tokyo, yang tentu saja berbeda durasinya.
Karena sudah terlanjur ngarep pesawat sampai setelah 7 jam perjalanan, begitu batas waktu terlewati dan pesawat belum ada tanda-tanda mendarat membuat perjalanan jadi terasa sangat lama. Apalagi hingga saat itu saya belum mengisi perut dengan layak, hanya dua kepal onigiri dan sebuah roti. Oh ya, roti isi mie gorengnya lumayan juga rasanya. Sayang roti itu baru saya makan dalam pesawat dan sudah terlanjur agak penyet karena kelamaan di dalam tas, hehehe. Untungnya rasanya tidak sejelek penampilannya yang sudah berantakan.
Selain durasi perjalanan yang terasa panjang, ada satu lagi yang terasa menyiksa — duduk tidak jauh dari area penumpang kelas bisnis. Iri juga melihat mereka bisa tidur dengan nyaman dengan kursi yang bisa diselonjorkan serta bonus bantal dan selimut. Pengen rasanya ngedatengin salah satu dari mereka dan minta tukeran tempat duduk. Siapa tahu mau.
Dari bandara KLIA2, perjalanan menuju Surabaya menggunakan pesawat XT-8298. Yang ini sebenarnya juga tidak kalah lamanya, kurang lebih 2.5 jam. Tapi gara-gara sudah kenyang pengalaman 8 jam di pesawat sebelumnya, perjalanan menuju Surabaya tidak terlalu terasa. Malah lebih terasa lama saat berada di antrian imigrasi bandara Juanda, yang langsung terlihat sekali perbedaan efisiensi prosedurnya jika dibandingkan dengan antrian imigrasi di bandara-bandara Jepang. Semoga bisa menjadi masukan untuk pihak yang terkait 🙂
Oh ya, meski hanya transit di bandara KLIA2, ternyata kami masih punya cukup waktu untuk mengisi perut. Kebetulan ada toko yang menjual frozen food halal. Ada promo paket makanan beku plus air mineral pula. Saya lupa tepatnya habis berapa ringgit (mbak penjaganya jutek sih, jadi males nginget nama tokonya, hehehe), tapi yang jelas, pilihan menu saya adalah nasi goreng sosis seperti pada gambar di bawah ini.
Menghabiskan Sisa Uang
Jika teman-teman belum tahu, stand money changer alias penukaran uang yang ada tepat di pintu keluar bandara internasional Juanda punya rate jual yang cukup baik. Mereka juga mau menerima uang dengan pecahan kecil (termasuk 1 SGD atau 1 MYR!) dan mata uang yang tidak umum (seperti Kyat Myanmar), yang biasanya tidak diterima di money changer lain. Saya sudah berulang kali memanfaatkan jasa mereka untuk menghabiskan sisa uang asing yang saya miliki saat pulang dari luar negeri, tidak terkecuali pada kesempatan kali ini. Setelah menyisihkan masing-masing selembar (dan sebiji koin) untuk tiap pecahan yen, sisanya saya tukarkan ke mata uang rupiah. Lumayan untuk ongkos naik taksi pulang ke rumah 🙂
Cerita ini adalah bagian terakhir dari tulisan berseri mengenai perjalanan backpacking ke Jepang. Untuk info lebih detil dan daftar tulisan keseluruhan dapat dibaca di sini. Selamat membaca 🙂
Pandu Aji
tampangku bener-bener mencurigakan sepertinya sampai dua kali didatengin sama pak polisi 🙁