Sinopsis Man Living At My House Episode 8 & Preview Episode 9 (15 November 2016)

Di sinopsis Man Living At My House episode sebelumnya, Hong Na-Ri (Soo-Ae) mengetahui perasaan Go Nan-Gil (Kim Young-Kwang) yang sebenarnya kepadanya, melalui cerita nenek Oh Rye dan anaknya. Ia pun menuruti permintaan Nan-Gil untuk menyerahkan urusan Da Da Finance pada Nan-Gil dan tidak kembali lagi ke Seulgi-ri hingga urusan tersebut beres. Namun sebelum itu, ia mengajak Nan-Gil untuk berkencan sehari dengannya. Siapa sangka, kencan tersebut berbuntut perasaan masing-masing yang menjadi galau. Tidak tahan lagi, Nan-Gil akhirnya mengakui bahwa ia mencintai Na-Ri dan menciumnya. Apa yang kira-kira bakal terjadi selanjutnya di sinopsis drama korea Sweet Stranger And Me episode 8 ini?

Sinopsis Episode 8

Sedikit flashback sebelum Nan-Gil dan Na-Ri berciuman. Kwon Duk-Bong (Lee Soo-Hyuk) mengantarkan Na-Ri kembali ke rumahnya.

“Aku akan membelikan buku itu untukmu,” tawar Duk-Bong.

“Harus buku itu,” jawab Na-Ri.

“Kalau begitu ambil buku itu dan kembali keluar,” balas Duk-Bong, “Aku akan menunggu di sini.”.

“Tidak, jangan menungguku,” respon Na-Ri.

“Kalau aku tidak menunggu, aku tidak akan memiliki kesempatan lain. Kalau itu membuatmu tidak nyaman, aku akan ada di museum. Telepon aku setelah selesai. Perasaanku kepadamu bukan lelucon,” ujar Duk-Bong.

“Aku tidak akan ke sana hanya untuk buku itu.”

“Baiklah, sepakat. Aku akan kembali ke Seoul agar kau merasa nyaman. Bagaimanapun, luangkan juga sedikit waktu untukku. Sudah aku katakan. Aku harus bicara denganmu.”

“Baiklah,” jawab Na-Ri.

Duk-Bong lantas mengambil tas Na-Ri yang ada di bagasinya dan memberikannya kepada Na-Ri.

“Selamat tinggal,” ujar Na-Ri.

“Pastikan untuk menelponku kali ini,” ucap Duk-Bong.

Na-Ri tidak menghiraukannya.

Usai meninggalkan Na-Ri, pikiran Duk-Bong menjadi tidak tenang. Ia berusaha menenangkan pikirannya dengan menyalakan radio, namun tiba-tiba sebuah mobil memotong jalannya di pertigaan sehingga membuatnya menjadi kesal kembali. Ia pun akhirnya melampiaskannya dengan memukuli setir mobilnya.

“Kenapa kau menyesal karena mencintaiku? Apa aku mendengar pengakuan atau permintaan maaf?” tanya Na-Ri pada Nan-Gil yang sedang menyapu halaman.

“Keduanya,” jawab Nan-Gil singkat.

Na-Ri lantas menyinggung soal film lawas berjudul ‘Love Story’. Nan-Gil ternyata mengetahuinya. Dengan bersamaan mereka berucap, “Ibu menyukainya.”

“Kalau begitu kau pasti tahu dialog yang terkenal dari film itu,” ujar Na-Ri. “Kau tidak harus meminta maaf untuk cinta. Apa kita harus melakukan perang bola salju seperti mereka? Kita bisa berbaring di salju dan memakannya juga.”

“Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang begitu dangkal dalam hidupku,” respon Nan-Gil.

“Ada begitu banyak hal klise yang belum pernah kau lakukan. Aku rasa kau hanya harus melakukannya bersamaku.”

Keduanya saling melempar senyum. Nan-Gil lalu mendekatkan wajahnya, hendak mencium Na-Ri kembali. Na-Ri pun sudah bersiap-siap dengan menutup matanya. Tiba-tiba Lee Yong-Kyoo (Ji Yoon-Ho) keluar dari restoran untuk mencari Nan-Gil. Begitu melihat bosnya hendak mencium Na-Ri, ia langsung masuk kembali ke dalam. Nan-Gil dan Na-Ri pun terpaksa mengurungkan niat mereka.

Duk-Bong menjalani sesi konselingnya dengan psikiater. Ia curhat tentang ayahnya, ketua Kwon, yang menyebut resor yang hendak ia bangun adalah sebuah penginapan. Psikiaternya kemudian menanyakan apakah ada lagi yang hendak diceritakan oleh Duk-Bong selain soal ayahnya. Duk-Bong hendak menceritakan soal Na-Ri, namun ia membatalkannya. Jam kemudian berbunyi, menandakan sesinya telah berakhir.

“Ketua lebih suka kau kembali menjadi seorang pengacara daripada…”

Belum sempat si psikiater menyelesaikan kata-katanya, Duk-Bong sudah merespon dengan membuang semua buku yang ada di rak tembok. Perlahan ia melangkah mendekati si psikiater dan berkata, “Kenapa? Untuk membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh keluargaku? Kenapa aku harus melakukan itu?”

Na-Ri dan Nan-Gil duduk di halte bus. Nan-Gil terus menundukkan kepalanya sehingga Na-Ri merasa ia seolah-olah telah menyesal. Nan-Gil mengaku ia hanya masih tidak percaya. Keduanya lantas bergantian memberitahu satu sama lain bahwa mereka boleh membatalkan yang barusan terjadi apabila memang menyesal.

Bus tiba dan Na-Ri masuk ke dalamnya. Nan-Gil tiba-tiba meminta bus tersebut berhenti dan ia masuk ke dalamnya mengikuti Na-Ri.

“Aku tahu apa yang ada di pikiranmu,” ujar Na-Ri, “Mari kita memperlakukan satu sama lain seperti sekarang ini. Kita bukan anak kecil. Kita lakukan saja seperti yang biasa kita lakukan. Kita memiliki banyak hal untuk diurus, jadi lanjutkan saja seperti ini.”

“Baiklah. Aku akan mengurus semuanya, jadi kita lanjutkan saja seperti ini,” balas Nan-Gil.

“Aku tidak akan mengejar rahasia ibu. Aku akan percaya itu bukan sesuatu yang perlu aku ketahui. Mari kita bergerak maju,” ajak Na-Ri.

“Baiklah,” jawab Nan-Gil.

Nan-Gil kemudian turun di halte berikutnya dan Na-Ri melanjutkan perjalanan ke Seoul.

Malam harinya, Nan-Gil berganti pakaian dengan setelan jas hitam. Saat keluar dari kamarnya, sudah ada Park Joon (Lee Kang-Min) dan Kang Han-Yi (Jung Ji-Hwan) yang berniat untuk mengantarkannya, meski Nan-Gil tidak memintanya. Namun saat mereka hendak masuk mobil, Nan-Gil tiba-tiba meminta untuk membatalkan saja urusan mereka hari ini dan ia pun kembali masuk ke rumah. Joon dan Han-Yi mengiyakan dengan heran.

Nan-Gil duduk di ayunan yang ada di halaman. Kim Wan-Sik (Woo Do-Hwan) tiba-tiba menelponnya, namun Nan-Gil tidak mengangkatnya. Di kantor Da Da Finance, Wan-Sik melaporkan hal tersebut Bae Byung-Woo (Park Sang-Myeon). Byung-Woo berpikir bahwa Nan-Gil pasti sedang banyak pikiran karena ia bukan tipe orang yang suka ingkar janji atau tidak mengangkat telponnya.

“Apa dia tidak takut dengan apa yang akan aku katakan padanya? Atau dia tidak nyaman dengan paman duduk di sana?” ujar Byung-Woo sambil menoleh ke arah Shin Jung-Nam (Kim Ha-Kyun).

“Haruskah aku menelponnya?” tanya Jung-Nam.

Byung-Woo tiba-tiba mengambil asbak dan melemparkannya ke arah samping Jung-Nam hingga menghantam tembok dan pecah berkeping-keping.

“Aku tidak melakukan ini untuk waktu yang lama. Apa aku harus membuat kekacauan pada usia seperti ini? Kalau kau sampai membuatku seperti idiot lagi, aku akan mengambil kepalamu terlebih dahulu,” ancam Byung-Woo pada Wan-Sik.

Di bandara, Na-Ri bertemu dengan rekan-rekannya sesama pramugari. Yoo Shi-Eun (Wang Bit-Na) kaget melihat wajah Na-Ri yang tampak bercahaya seperti habis makan kolagen setiap hari. Jang Yeon-Mi (Kim Jae-In) menanyakan apakah Na-Ri menggunakan botol pelembab setiap hari.

“Atau kau berkencan?” tebak Park Sun-Kyung (Ahn Yoo-Jung).

“Ini pasti karena udaranya,” jawab Na-Ri sambil tertawa kecil.

Do Yeo-Joo (Jo Bo-Ah) tiba-tiba datang. Ia berhenti sejenak sambil menatap sinis ke arah Na-Ri, lalu kembali melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa. Shi-Eun jadi gemas melihat tingkahnya.

Sepeninggal rekan-rekannya, Yeo-Joo kembali lagi mendatangi Na-Ri.

“Aku putus dengan Dong-Jin,” ucapnya tanpa basa-basi.

“Kami tidak berada dalam suatu hubungan untuk mengatakan hal-hal seperti itu,” respon Na-Ri.

Tanpa sadar ia tersenyum karena ingat Nan-Gil pernah mengatakan hal yang sama.

“Kau kelihatan senang.” ujar Yeo-Joo salah paham. “Kau tidak menyembunyikan kegembiraanmu. Apa kau akan kembali bersama Dong-Jin?”

“Aku sudah melemparkan potongan sampah itu ke dalam tong sampah,” jawab Na-Ri.

“Bisakah kau memperkenalkan aku kepada teman di lingkunganmu?” tanpa tahu malu Yeo-Joo menanyakan hal itu.

“Bukankah kau pintar dalam menemukan seorang pria untuk dirimu sendiri?”

“Apa aku boleh berkencan dengannya?”

“Sudah aku katakan kepadamu. Kita tidak berada dalam suatu hubungan untuk mengatakan hal-hal seperti itu,” jawab Na-Ri.

“Restoran pangsit milik adikmu sepertinya sangat populer,” singgung Yeo-Joo.

“Hei!” bentak Na-Ri. “Apa kau pikir aku memperlakukanmu sebagai manusia?”

Yeo-Joo tertawa dan berkata, “Apa kau tahu bahwa adikmu adalah kelemahanmu? Siapapun bisa melihat kau tertarik kepadanya. Jangan pernah menunjukkan perasaanmu kepada pacar yang lebih muda. Jangan menelponnya terlebih dahulu, tutup kalau dia menelpon, dan bersikaplah kejam. Lelaki muda memiliki lebih banyak harga diri daripada yang kau kira. Hal itu akan bertahan lebih lama hanya saat mereka menyukaimu.”

Na-Ri ternyata memikirkan ucapan Yeo-Joo barusan. Perlahan dia menggumam, “Apa aku sudah menunjukkan ketertarikanku terlebih dahulu?”

Na-Ri lantas mengingat kembali saat Nan-Gil menciumnya. Ia pun tersenyum-senyum sendiri dengan girang.

“Itu tidak penting,” ujar Na-Ri.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Jo Dong-Jin (Kim Ji-Hoon), meminta untuk bertemu dengan Na-Ri sebelum dia berangkat ke Hong Kong karena ada sesuatu dari ibu Na-Ri yang hendak ia kembalikan.

“Kalian berdua menyedihkan,” ujar Yeo-Joo dengan kesal saat mengetahui pesan tersebut berasal dari Dong-Jin.

Nan-Gil duduk di halaman belakang, menunggu kabar dari Na-Ri. Tiba-tiba pesan masuk. Alih-alih dari Na-Ri, yang mengirim pesan ternyata Yong-Kyoo, yang berdiri di belakang Nan-Gil, mengajak bosnya untuk mulai membuat adonan.

“Apa kau jadi terobsesi dengan ponselmu saat sudah seusiamu?” sindir Yong-Kyoo.

Na-Ri sibuk selfie dan memotret barang-barang yang ada di kamarnya. Ia lalu hendak mengirimkan foto-foto tersebut pada Nan-Gil dengan pesan, “Sebuah proyek untuk mempelajari kehidupan Na-Ri di Seoul.” Tapi mendadak ia kepikiran kembali perkataan Yeo-Joo dan mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya ia menelpon Nan-Gil dan menanyakan kenapa Nan-Gil tidak mengirimkan foto ataupun pesan teks kepadanya.

“Aku pikir kau ingin semuanya tetap sama,” jawab Nan-Gil.

“Apa itu berarti kau tidak menelpon atau mengirim pesan teks?” tanya Na-Ri lagi. “Apa kau bermain sulit untuk didapatkan?”

Nan-Gil membantahnya. Na-Ri kemudian memberitahunya bahwa ia akan menemui Dong-Jin setelah ia pulang dari penerbangan berikutnya karena ada sesuatu yang ingin diberikan Dong-Jin kepadanya sebelum ia pergi ke Hong Kong.

“Kau tidak perlu memberitahu aku semua hal itu,” respon Nan-Gil.

“Ah, aku bisa melakukan apapun yang ingin aku lakukan, bukan?” tanya Na-Ri.

Na-Ri terdiam sejenak.

“Aku rindu…”

Na-Ri langsung menghentikan kata-katanya, gara-gara teringat perkataan Yeo-Joo.

“Aku tahu kau merindukanku, tapi bertahanlah di sana,” ujar Na-Ri sebagai gantinya. “Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal.”

Na-Ri langsung menutup telponnya begitu saja. Namun ia jadi heran sendiri kenapa ia bisa sampai menuruti nasehat Yeo-Joo. Tanpa disangka Nan-Gil segera menelponnya balik. Na-Ri pun kegirangan, mengira strategi yang diberikan Yeo-Joo sukses.

“Aku pikir kau akan menunjukkan kepadaku Na Ri yang ada di Seoul,” ujar Nan-Gil tanpa basa-basi.

“Kalau begitu tunjukkan kepadaku seberapa baik keadaan ladanya,” pinta Na-Ri.

Keduanya lalu saling bertukar foto. Na-Ri mengirimkan foto bandara, foto kantornya, foto kamarnya, serta foto kafe tempat ia biasa hangout bersama rekan-rekannya. Sementara Nan-Gil memberikan foto serta video kondisi selada yang ada di greenhouse. Saat sedang asik melihatnya, tanpa disangka Yeo-Joo datang dan merebut ponsel tersebut. Ia menjadi kesal sendiri karena tiba-tiba masuk pesan dari Dong-Jin, yang meminta Na-Ri untuk menemuinya di kafe milik Kim Ran-Sook (Jeon Se-Hyun) setelah Na-Ri usai bekerja. Na-Ri lantas merebut kembali ponsel tersebut dan pergi meninggalkan Yeo-Joo.

Hong Dumplings didemo oleh pegawai Robot Museum yang menyatakan restoran tersebut telah menghambat pembangunan di kota mereka. Kwon Soon-Rye (Jung Kyung-Soon) ternyata yang menjadi koordinatornya. Dari kejauhan Duk-Bong melihat hal itu dan langsung menyadari bahwa ayahnya yang memerintahkan Soon-Rye untuk melakukannya. Ia pun menelpon ayahnya dan mengatakan bahwa seharusnya ayahnya mendiskusikan hal itu terlebih dahulu kepadanya.

Sementara itu, di dalam restoran, Kwon Duk-Sim (Shin Se-Hwui), dengan berpakaian ala orang dewasa, menemui karyawan restoran dengan membawa selembar kertas yang bertuliskan lowongan pekerjaan untuk pelayan restoran berpengalaman.

“Aku datang untuk melamar posisi itu,” ujarnya.

“Kenapa kau merobeknya?” tanya Yong-Kyo.

“Aku harus menyingkirkan semua pesaing,” jawab Duk-Sim dengan tatapan licik.

Yong-Kyo lantas memanggil Nan-Gil.

Dengan bersikap manis, Duk-Sim duduk di hadapan Nan-Gil. Nan-Gil tidak keberatan menerimanya asalkan Duk-Sim meminta izin terlebih dahulu pada kakaknya. Sempat enggan, Duk-Sim akhirnya menerima syarat tersebut tapi minta agar diperbolehkan memulai pelatihan hari itu juga. Yong-Kyo yang mencuri dengar percakapan mereka jadi kepo siapa sebenarnya kakak Duk-Sim, tapi baik Duk-Sim maupun Nan-Gil mengabaikannya hingga ia jadi tambah penasaran.

Na-Ri tiba di kafe Ran-Sook. Sudah ada Dong-Jin di sana. Na-Ri pun menghampirinya dan duduk di mejanya. Terlihat ada dua orang berpakaian serba hitam dengan gaya mencurigakan di meja dekat mereka duduk.

“Menurutmu berapa kali kita melewatkan kesempatan untuk menikah?” tanya Dong-Jin usai memesan minuman. “Saat kau lulus dan mendapatkan pekerjaan? Saat aku pergi ke Amerika untuk pelatihan? Saat aku dipromosikan? Atau sebelum ibumu meninggal?”

“Berhenti bicara omong kosong,” sergah Na-Ri.

“Tahukah kau kalau kau menolak semua kesempatan itu? Aku pasti terlihat seperti pengecut. Rasanya sakit akhirnya kita putus karena aku. Aku ingin berbagi beban denganmu.”

“Tentu, silahkan. Hanya kita yang tahu sembilan tahun yang kita habiskan bersama tidak ada artinya. Sudah cukup bicara. Apa yang ingin kau katakan kepadaku?”

“Saat aku mengatakan aku akan melamarmu,” ujar Dong-Jin sembari mengambil segulung kertas dari bawah kursinya, “ibumu datang ke kantorku dan memberikan ini.”

“Ibuku? Kapan?” tanya Na-Ri dengan rasa penasaran sembari membuka gulungan kertas itu.

“Setelah kau pergi untuk penerbangan dan sebelum dia mendapatkan kecelakaan,” jawab Dong-Jin.

Adegan flashback muncul saat Shin Jung-Im (Kim Mi-Sook) menemui Dong-Jin.

“Itu adalah rahasia dari Na-Ri. Masukkan ke dalam bingkai dan gantung di dinding rumahmu setelah menikah,” ujar Jung-Im.

Dong-Jin hendak langsung membukanya, namun Jung-Im melarangnya dan memintanya untuk membukanya di rumah saja.

“Ini adalah yang aslinya. Aku meminta putraku untuk mencurinya,” lanjut Jung-Im.

Saat itu Dong-Jin sempat heran kenapa Jung-Im menyebut ‘putranya’, namun ia mengira itu adalah sebutan Jung-Im pada anak-anak yang ia rawat di tempatnya bekerja sebagai sukarelawan.

“Apa tidak apa-apa meminta anak-anak mencuri sesuatu untukmu?” tanya Dong-Jin.

“Kau tahu? Aku seorang ibu yang buruk,” jawab Jung-Im, “Tapi aku benar-benar ingin melakukannya. Kau akan mengerti setelah melihatnya.”

Yang ada di dalam kertas tersebut ternyata semacam surat atau puisi. Na-Ri menanyakan kenapa Dong-Jin tidak memberikan itu kepadanya sebelumnya.

“Aku merasa kalau mengembalikan ini kepadamu akan benar-benar mengakhiri semuanya di antara kita. Itu sebabnya aku menundanya,” jawab Dong-Jin.

“Tentu saja, sekarang sudah berakhir,” respon Na-Ri, “Kau boleh pergi. Aku akan menemui Ran-Sook.”

“Ada satu lagi. Aku pikir akan lebih baik untuk memberitahumu sendiri daripada kau mendengarnya dari orang lain. Aku akan pergi ke Hong Kong bersama Yeo-Joo. Aku belum memberitahunya. Aku memberitahumu lebih dulu.”

“Itu hebat. Aku berharap orang-orang tidak berguna seperti kalian akan tinggal bersama-sama. Ini adalah balas dendamku.”

“Itu kasar,” respon Dong-Jin.

“Pergi sebelum semuanya menjadi buruk. Aku membiarkanmu pergi karena kau bersikap baik kepada ibu.”

“Apa yang akan kau lakukan dengan rumah itu? Apa Go Nan-Gil masih mengklaim bahwa itu miliknya?”

“Urus saja urusanmu sendiri,” jawab Na-Ri.

“Apa Go Nan-Gil sakit?”

“Apa maksudmu?”

“Saat aku melihat dia di Seoul karena pamanmu, dia kelihatan aneh,” jelas Dong-Jin.

Na-Ri teringat saat Nan-Gil tiba-tiba terjatuh saat mereka keluar dari gedung Da Da Finance.

“Apa yang aneh dari dia?” tanya Na-Ri.

Belum sempat Dong-Jin menjawab, tiba-tiba Yeo-Joo datang. Tanpa sungkan ia lantas duduk di meja Dong-Jin dan Na-Ri.

“Apa yang aneh dari dia?” tanya Na-Ri lagi.

“Na-Ri, pria ini terdaftar di biro pernikahan. Kriteria utamanya adalah harta wanita. Pada akhirnya dia adalah seorang pecundang yang ingin mencari seorang gadis kaya,” ceplos Yeo-Joo.

“Bagaimana kau bisa tahu? Bahkan aku tidak tahu itu.” balas Dong-Jin heran.

“Apa ibumu mendaftar di belakangmu? Kau juga anak mama,” ujar Yeo-Joo.

“Bagaimana dia bisa sakit?” potong Na-Ri.

Dua orang berpakaian hitam yang duduk di dekat mereka salah satunya ternyata adalah wanita yang dulu memarahi Yeo-Joo di pesawat karena telah mencuri tunangannya (episode 1). Ia tidak tahan lagi melihat Yeo-Joo yang masih sama seperti dulu dan hendak mengkonfrontasinya. Pasangannya berusaha untuk menghentikannya.

“Dia tiba-tiba pingsan,” jawab Dong-Jin. “Dia kelihatan pucat.”

“Apa dia pergi ke rumah sakit?” tanya Na-Ri.

“Dia naik taksi dan pergi,” jawab Dong-Jin.

“Seharusnya kau mengatakannya kepadaku,” sergah Na-Ri.

“Kenapa kau begitu marah?” tanya Dong-Jin.

Wanita berbaju hitam tiba-tiba menghampiri Na-Ri dan memintanya untuk tenang karena ia akan kalah kalau dia marah. Na-Ri duduk dan melihat ke arah wanita tersebut dengan bingung.

“Kau membuat wanita lain menangis lagi, nona Do,” ujar wanita tersebut pada Yeo-Joo. “Apa kau masih terlibat dalam cinta segitiga?”

Sementara wanita tersebut sibuk mengomeli Yeo-Joo, Na-Ri berusaha untuk menghubungi Nan-Gil, namun tidak diangkat. Sesaat kemudian Ran-Sook datang. Na-Ri segera menghampirinya dan meminta kunci mobilnya untuk ia pinjam. Meski bingung dengan apa yang terjadi, Ran-Sook memberikan kunci mobilnya pada Na-Ri, yang langsung berlari keluar begitu saja.

Wanita berbaju hitam hendak menampar Na-Ri. Tanpa disangka Dong-Jin menahan tangannya, mengingatkan bahwa bisa saja ada orang yang merekam perbuatannya dan menyebarkannya ke internet.

“Dong-Jin, apa Na-Ri bisa mengemudi? Dia mengambil kunci mobilku, dia sudah lama tidak mengemudi,” ujar Ran-Sook pada Dong-Jin.

Dong-Jin menghela nafas lalu berlari keluar menyusul Na-Ri. Yeo-Joo melihatnya tanpa bisa berkata apa-apa. Ia pun melampiaskannya dengan berbalik mengomeli wanita berbaju hitam tadi, yang membuatnya tidak berani lagi melawan Yeo-Joo.

Di luar, Dong-Jin gagal mengejar Na-Ri, yang sudah keburu mengemudikan mobil Ran-Sook meninggalkan mereka. Ran-Sook menanyakan apa yang sudah diperbuat Dong-Jin sehingga Na-Ri bisa bersikap seperti itu.

“Aku sudah bersamanya selama sembilan tahun dan aku juga belum pernah melihat dia seperti itu,” jawab Dong-Jin, “Itu bukan karena aku.”

Dong-Jin memberitahu Ran-Sook bahwa Na-Ri akan menuju Seulgi-ri. Ia lantas meminta Ran-Sook untuk mencegah Na-Ri menemui Nan-Gil karena ia sedang dalam masa sulit. Dengan kesal karena tidak tahu harus berbuat apa, Ran-Sook melangkah masuk kembali ke kafenya. Mendadak ia berpapasan dengan Yeo-Joo.

“Apa kau berpikir bahwa Na-Ri sulit? Dia sangat tertekan sampai dia tidak bisa melihat. Berpura-pura menjadi baik-baik saja tidak berarti dia benar-benar baik-baik saja. Aku mengatakan ini agar setidaknya kau merasa menyesal,” ujar Ran-Sook sebelum meninggalkan mereka berdua.

Yeo-Joo melangkah mendekati Dong-Jin dan berkata, “Jangan menyesal. Na-Ri sedang menemui pria lain. Lagipula Na-Ri juga tidak ingin kembali bersamamu.”

Dong-Jin mendesah lalu melangkahkan kakinya.

“Apa kau akan pergi tanpa menelponku?” tanya Yeo-Joo.

“Aku akan menelpon setelah aku menyelesaikan semuanya,” jawab Dong-Jin.

“Aku kira itu setelah kau mencoba segala cara untuk bisa kembali bersama Na-Ri.”

“Aku bisa tahu pria macam apa yang kau temui selama ini. Yang harus kau lakukan hanya menunggu sebentar lagi. Kenapa kau bisa menunjukkan sisi terburukmu tanpa memberiku waktu?”

“Sisi terburukku? Pikirkan tentang dirimu sendiri. Kau hanya butuh 1 hari untuk mengkhianati waktu 9 tahun bersamanya. Kau begitu mudah. Aku kecewa dengan selera Na-Ri.”

“Kau benar. Ya, kau melihat sisi terburukku. Aku tidak berbeda dari semua pria yang kau kencani sebelumnya. Mari kita berpisah dan melanjutkan hidup,” ujar Dong-Jin seraya pergi meninggalkan Yeo-Joo.

Yeo-Joo melangkah dengan gontai sembari berusaha menahan tangisnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Saat diangkat, seseorang mengabarkan bahwa ayahnya kembali dirawat di rumah sakit. Yeo-Joo tidak lagi bisa menahan tangisnya.

Yong-Kyoo menatap Duk-Sim dengan kesal karena ia bisa begitu saja diterima tanpa dites terlebih dahulu. Duk-Sim sendiri sibuk mencuri-curi pandang pada Nan-Gil yang hendak membuang sampah di luar dan tidak menghiraukan Yong-Kyoo.

Tepat di saat Nan-Gil keluar, Na-Ri tiba. Nan-Gil segera menghampiri Na-Ri, yang sempat terjatuh saat keluar dari mobilnya.

“Ada yang ingin ku katakan,” ujar Na-Ri.

Melihat kondisi Na-Ri yang tidak baik, Nan-Gil langsung memarahinya karena mengemudi dalam keadaan seperti itu. Na-Ri mengingatkannya agar mereka tidak boleh berkelahi seperti pasangan karena nanti yang lain akan tahu.

Na-Ri lantas masuk ke dalam rumah, disusul oleh Nan-Gil. Dari depan restoran Duk-Sim memperhatikan mereka berdua dengan kesal.

Duk-Bong mempelajari rencana resor ayahnya dan memberitahu Soon-Rye bahwa menurutnya rencana tersebut sangat konyol dan bisa membuat anggota keluarganya ditangkap.

“Mungkin ini waktunya aku kembali ke Amerika,” ujar Duk-Bong.

“Ketua Kwon melarang keluarganya meninggalkan Korea,” respon Soon-Rye.

Duk-Bong kaget mendengarnya. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, ada pesan masuk dari Duk-Sim, memberitahunya kalau Na-Ri ada di sana.

“Tentang ibu Na-Ri yang tidak kau sukai,” singgung Duk-Bong, “Dia kelihatan polos seakan dia tidak tahu tentang uang itu, tapi kapan dia membeli semua tanah itu?”

“Haruskah aku memeriksanya?” tanya Soon-Rye.

“Aku meminta kau untuk memberitahuku apa yang kau ketahui,” balas Duk-Bong, “Dan sudah waktunya kau berhenti bersikap misterius.”

“Aku akan memeriksanya,” ujar Soon-Rye, tidak mempedulikan permintaan Duk-Bong.

Duk-Sim kembali mengirim pesan kepada Duk-Bong, memberitahunya kalau ia mulai bekerja di Hong Dumplings mulai hari ini.

Di dalam rumah, Na-Ri langsung mempertanyakan soal Nan-Gil yang sudah dua kali pingsan. Ia sudah mempertaruhkan hidupnya untuk datang kembali ke Seulgi-ri, jadi ia minta Nan-Gil untuk menjawab dengan jujur.

Nan-Gil melangkah mendekati Na-Ri. Sembari membelai rambut Na-Ri ia berkata, “Kau berkeringat. Kau pasti benar-benar mempertaruhkan hidupmu.”

“Jangan menhindari pertanyaan itu dan jawab saja…”

Sebelum Na-Ri menyelesaikan perkataannya, Nan-Gil langsung memeluknya erat.

“Aku tidak akan menyerah,” ujar Na-Ri.

“Tentu saja kau tidak akan menyerah,” balas Nan-Gil, masih memeluk Na-Ri. “Aku akan memberitahumu. Tetap seperti ini selama satu menit. Hanya untuk satu menit.”

“Apa itu sesuatu yang misterius?” tanya Na-Ri penasaran.

“Tidak,” jawab Nan-Gil lirih.

Ia lalu mengajak Na-Ri duduk di meja bersamanya. Ia pun menceritakan bahwa ia sebenarnya tidak merasa sakit dan juga tidak tahu penyakitnya apa, tapi terkadang ia memang merasakan gejalanya, kombinasi antara panic attack, post-traumatic stress disorder, dan kecemasan berlebihan. Meski demikian, gejala ‘penyakit’ yang ia beri nama ‘penyakit Ko Nan Gil’ itu, karena ia bandingkan dengan seorang pemain baseball yang juga punya penyakit langka yang diberi nama sesuai namanya, tidak pernah muncul saat ia berada di Seulgi-ri.

“Apa itu hanya terjadi di Seoul?” tanya Na-Ri.

“Ya, sampai sekarang,” jawab Nan-Gil.

“Apa yang harus kau lakukan saat itu terjadi?”

“Aku hanya bertahan sampai aku bisa bernafas lagi,” jawab Nan-Gil tenang.

Nan-Gil menambahkan bahwa ia sudah menemui dokter dan juga sudah minum obat. Ia lalu balik bertanya pada Na-Ri, memangnya separah apa penyakitnya dalam pikiran Na-Ri saat ia menyetir ke Seulgi-ri. Na-Ri menjawab bahwa hanya fokus menyetir dan tidak bisa memikirkan apa-apa.

“Tidak apa-apa kalau kau ingin melarikan diri,” tambah Nan-Gil.

“Apa kau pikir aku akan melarikan diri karena kau sakit?” tanya Na-Ri.

“Aku menyesalinya. Aku seharusnya tidak menelponmu untuk membawa bukunya. Aku seharusnya menyembunyikan perasaanku kepadamu. Aku sangat senang aku merasa seperti bermimpi beberapa kali sehari. Tapi aku menyesal.”

“Kenapa?”

“Aku menjadi penyakitnya. Itu terjadi karena masa laluku yang gelap, lembab, dan bau. Aku menyesal, khawatir kau akan mengetahuinya.”

“Mari kita tidak menggali masa lalu masing-masing. Mari kita mengabaikannya bahkan jika kita bisa melihatnya. Aku juga tidak bangga dengan masa laluku.”

“Aku serius. Ini adalah kesempatanmu untuk menjauh dariku.”

“Pasti sulit bagi pemain baseball. Semua orang melihatnya, tapi ia harus berdiri di sana tanpa bisa melarikan diri. Penyakit Ko Nan Gil sepertinya jauh lebih baik dari itu. Kau memiliki tempat untuk bersembunyi.”

“Dan dimana itu?” tanya Nan-Gil.

“Aku,” jawab Na-Ri tanpa ragu. “Kau membaik karena aku ada di sampingmu saat itu. Aku akan menyembuhkanmu.”

“Aku bisa melihat kalau kau suka pamer,” respon Nan-Gil.

“Maukah kau menikah denganku?” tanya Na-Ri tiba-tiba.

Nan-Gil kaget dan terdiam.

“Wah, aku seharusnya memotret wajahmu saat ini,” lanjut Na-Ri.

Nan-Gil pun baru sadar bahwa Na-Ri hanya bercanda. Na-Ri lantas menunjukkan kertas yang sebelumnya diberikan Dong-Jin. Ternyata itu adalah puisi yang ia buat dulu saat SD. Nan-Gil membacanya.

Muncul adegan flashback. Ternyata dulu Nan-Gil sendiri yang telah ‘mencurinya’ dari dalam kelas Na-Ri dan kemudian menyerahkannya pada ibu Na-Ri. Nan-Gil kecil lalu menanyakan kepada Jung-Im memintanya untuk mencuri kertas itu. Jung-Im menjawab bahwa Na-Ri hendak merobeknya besok dan ia tidak ingin itu terjadi. Alasan Na-Ri adalah karena anak laki-laki selalu mengikutinya dan mengolok-oloknya karena puisi itu.

“Kekanak-kanakan,” ujar Nan-Gil kecil.

“Benar, mereka kekanak-kanakan,” respon Jung-Im.

“Bukan, tapi Na-Ri yang kekanak-kanakan. Kenapa merobek hasil karyanya hanya karena diolok-olok?”

“Itu benar. Apa kau tahu aku sangat suka puisi ini? Aku akan menyembunyikan ini dan memberikannya kepada tunangan Na-Ri nanti.”

“Kalau begitu sembunyikan dengan baik dan berikan kepadaku nanti.”

Jung-Im tertawa mendengar perkataan Nan-Gil kecil.

“Baiklah, aku akan memberikannya kepadamu nanti,” janji Jung-Im.

“Anak laki-laki yang membantu ibuku mencuri puisi ini adalah kau, bukan?” tanya Na-Ri.

Nan-Gil tidak menjawab, tapi juga tidak membantahnya.

“Itu pasti kau. Aku seharusnya menjadi penyair, puisi ini sempurna,” ujar Na-Ri. “Aku akan memberikannya kepadamu karena kau mencurinya untukku.”

Yeo-Joo tiba di UGD. Kawannya si pemilik biro perjodohan memberitahunya bahwa ibu Dong-Jin sudah menarik keanggotaan Dong-Jin karena Dong-Jin sudah memberitahunya bahwa ia akan ke Hong Kong dengan seorang wanita yang sudah ia kenalkan sebelumnya pada teman-temannya dan nanti akan segera dikenalkan pada ibunya. Teman Yeo-Joo memberi selamat pada Yeo-Joo yang ia kira akan segera menikah. Mengetahui hal itu Yeo-Joo meneteskan air mata. Tidak jelas apakah karena menyadari kebodohannya atau mengira Dong-Jin bersama dengan orang lain.

Yeo-Joo lantas menemui ibunya yang sedang mendampingi ayahnya. Yeo-Joo menanyakan kenapa ibunya masih saja membawa ayahnya ke UGD karena asuransinya tidak cukup untuk membayarnya, dan Yeo-Joo pun tidak punya cukup uang untuk itu.

“Apa kau tidak merasa kasihan padaku?” tanya Yeo-Joo.

“Aku kasihan kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak kasihan? Cepatlah bertemu dengan seseorang agar kau bisa meninggalkan Korea,” jawab ibunya.

Yeo-Joo hanya bisa menangis mendengarnya.

Na-Ri melihat spanduk atas nama ‘Komite Promosi Pembanguan Seulgi-ri’ yang sebelumnya dipasang oleh karyawan Robot Museum.

“Kapan ini didirikan?” tanya Na-Ri heran.

“Baru-baru ini dan secara tiba-tiba,” jawab Nan-Gil.

Na-Ri pun mengajak Nan-Gil untuk masuk ke restoran terlebih dahulu. Nan-Gil memintanya bersikap normal saja karena toh yang lain sudah melihat mereka berpelukan.

“Kalau begitu apa kita harus bergandengan tangan?” tanya Na-Ri.

Nan-Gil langsung masuk ke restoran terlebih dahulu tanpa berbicara apa-apa. Begitu membuka pintu, ia hampir melompat kaget karena ada Duk-Sim di sana yang menyambutnya dengan penuh sopan santun. Tapi saat Na-Ri masuk, ia mencuekinya dan hanya membawakan air sambil menanyakan mau makan apa.

“Apa kakakmu tahu kamu bekerja di sini?” tanya Na-Ri sambil memakan pangsit yang baru saja dibawakan Nan-Gil.

“Aku sudah mengirimkan pesan teks kepadanya,” jawab Duk-Sim.

Na-Ri tiba-tiba ingat Duk-Bong berpesan padanya agar segera menghubunginya lagi.

“Kapan museumnya tutup?” tanya Na-Ri pada Duk-Sim.

“Museum buka sampai malam,” jawab Duk-Sim. Ia menambahkan, “Kalau kau mengunjungi dia, dia akan sangat senang melihatmu.”

Na-Ri berdiri sembari meraih beberapa biji pangsit. Nan-Gil tiba-tiba datang dan mendorongnya duduk kembali. Na-Ri mengatakan akan pergi ke museum, tapi nan-Gil memintanya menghabiskan pangsit itu terlebih dahulu. Duk-Sim yang kesal dengan kedekatan keduanya langsung meraih gelas milik Na-Ri yang tadi ia bawakan dan meminumnya sampai habis.


Na-Ri tiba di museum dan menelpon Duk-Bong untuk menanyakan letak kantornya. Tiba-tiba Soon-Rye lewat di hadapannya. Na-Ri lantas memuji pakaian Soon-Rye yang terlihat cantik.

“Aku memakainya bukan untuk kelihatan cantik,” jawab Soon-Rye ketus.

“Kalau begitu katakan alasannya,” balas Na-Ri.

“Kalau aku memberitahumu, kau akan menjual tanah Hong Dumplings?” tanya Soon-Rye balik.

“Kenapa aku harus menjualnya?”

“Putrinya mirip dengan ibunya,” respon Soon-Rye, “Tinggalkan Nan-Gil sendiri agar dia bisa hidup bebas.”

Soon-Rye pergi meninggalkan Na-Ri usai mengucapkan hal tersebut. Duk-Bong kemudian datang menjemputnya, lalu mengajaknya ke kantornya.

Na-Ri menanyakan apa yang sebelumnya hendak dibicarakan Duk-Bong. Duk-BOng menjawab bahwa Duk-Sim ingin jadi lebih dekat dengan Na-Ri saat ia menulis surat permintaan maaf.

“Denganku?” tanya Na-Ri heran.

“Setelah dekat denganmu, dia akan memata-mataimu untukku. Aku yakin itu bukan pilihan kata yang baik. Aku hanya mengikuti apa yang dia katakan.”

“Aku tidak memiliki banyak rahasia.”

“Kau bisa mengambil keuntungan dari itu dan menjadi mata-mata ganda?” tanya Duk-Bong. “Berpura-pura menjadi dekat dengan dia dan memata-matai rahasianya untukku.”

“Maaf?” tanya Na-Ri bingung.

“Aku ingin tahu apa terjadi sesuatu kepadanya di Seoul. Aku tidak tahu kenapa dia terus menyendiri tanpa teman.”

“Kau seorang kaka yang baik,” ujar Na-Ri.

“Dia sangat mengganggu. Aku ingin mengusirnya.” dalih Duk-Bong.

Ponsel Duk-Bong berbunyi. Saat diangkat, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius. Ia lalu memberitahu Na-Ri bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan keluarganya. Na-Ri pun lantas berpamitan pergi.

Sepeninggal Na-Ri, Duk-Bong mencoba menghubungi Duk-Sim tapi tidak diangkat. Duk-Sim sendiri saat itu sedang asik memperhatikan Nan-Gil yang sedang mengaduk adonan. Sesat kemudian ponsel Nan-Gil berbunyi dan ada pesan masuk dari Na-Ri, memintanya untuk menemuinya di rumah kaca.

Nan-Gil mendapati Na-Ri menunggunya di tengah jalan menuju greenhouse. Mereka pun melanjutkan perjalanan bersama-sama. Nan-Gil hendak menggandeng tangan Na-Ri, namun masih canggung dan tidak berani melakukannya.

Duk-Bong tiba di restoran untuk menjemput Duk-Sim. Duk-Sim mengira Duk-Bong datang untuk memarahinya. Tapi ternyata ia meminta Duk-Sim untuk ikut dengannya ke Seoul karena ibu merekasedang berada di rumah sakit karena mengalami gegar otak. Dalam perjalanan menuju ke Seoul Duk-Sim terus-terusan menangis karena menyesal selama ini sering berkata buruk kepadanya. Duk-Bong mencoba menenangkannya. Duk-Sim masih terus menangis.

Mereka berdua akhirnya tiba di rumah sakit. Ternyata itu adalah rumah sakit yang sama dengan tempat ayah Yeo-Joo dirawat. Yeo-Joo pun kaget melihat Duk-Bong berlalu di hadapannya.

Di rumah kaca, Na-Ri mengatakan bahwa bau di sana sangat khas sehingga selalu mengingatkannya pada Nan-Gil.

“Selada di restoran mengingatkanku kepadamu. Mentimun di Gimbap juga mengingatkanku kepadamu. Aku ingin lari kepadamu saat itu, tapi aku menahan diri. Aku menahan diri saat aku ingin menelpon atau mengirimimu pesan teks. Aku menahan diri saat aku merindukanmu,” ujar Na-Ri.

“Kalau begitu aku bukan satu-satunya,” respon Nan-Gil.

“Apa kita harus menyelesaikan semuanya?”

“Tentu, lakukan apapun yang kau mau. Aku akan baik-baik saja.”

“Bisakah kau menyelesaikan amsalah registri keluarga kita? Kita jangan menjadi keluarga agar kita bisa bersama-sama.”

“Tidak.”

“Jadi aku benar. Aku tahu kau akan mengatakan tidak.”

“Aku butuh waktu. Tunggu sampai aku menyelesaikan semuanya.”

“Kenapa kau bisa menolak gagasan itu tanpa berpikir?”

“Tolong tunggu aku.”

“Aku harus kembali sebelum hari gelap. Ayo pergi,” ajak Na-Ri.

Nan-Gil terdiam dan menatap wajah Na-Ri.

“Apa kau ingat apa yang kau butuhkan untuk hubungan jarak jauh seperti langkah kaki petani?”

“Aku akan mengirimu pesan teks dan mengirim foto dan emoticon bahkan saat aku sibuk. Aku juga akan menelponmu. Jadi datanglah kapan pun kau merindukanku. Aku akan pergi menemuimu kapan pun aku ingin menemuimu.”

“Aku akan menunggu mulai dari sekarang.”

Nan-Gil lantas menarik tubuh Na-Ri mendekat ke arahnya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, lalu menciumnya.

Mereka kemudian berjalan kembali ke rumah sambil bergandengan tangan. Tanpa disangka ada sebuah mobil sedang menantinya. Ada Wan-Sik di sana. Sesaat kemudian pintu mobil terbuka dan Byung-Woo melangkah keluar. Nan-Gil meminta Na-Ri untuk pulang terlebih dahulu.

“Ayo cepat selesaikan ini. Ini akan mudah melihat kalian selalu bergandengan tangan kemana-mana,” ujar Byung-Woo.

“Aku akan membayar biaya pokok dan biaya hukum kepadamu,” balas Nan-Gil.

“Kau mengatakan itu seolah-olah kau tidak tahu cara kerjanya,” respon Byung-Woo. “Bunga yang sudah terlambat tidak bisa ditangani secara hukum.”

“Ayo kita bicara di kantormu.”

“Aku tidak tahu kartu apa yang kau miliki, tapi kau tidak seharusnya terlibat dalam hal ini,” ujar Byung-Woo dingin. “Apa kau tahu apa yang kau lakukan kepada Hong Na Ri?”

Nan-Gil melangkah mendekati Byung-Woo dan bertanya, “Apa yang sudah ku lakukan kepadanya?”

“Apa kau ingat insiden Euljiro Printer?” tanya Byung-Woo. “Dia jatuh dari lantai dua dan meninggal saat melarikan diri.”

Nan-Gil mengepalkan tangannya erat-erat untuk menahan diri agar tidak panik.

Byung-Woo melanjutkan, “Apa kau tahu siapa dia? Itu ayah Na-Ri. Itu Hong Sung-Kyu.”

Nan-Gil terhenyak mendengarnya.

“Kau tidak seharusnya di sini, berpura-pura menjadi ayah Hong Na-ri,” tambah Byung-Woo.

Mata Nan-Gil berkaca-kaca. Ia menatap ke arah Na-Ri yang berdiri terpaku tidak jauh dari sana, juga sedang menatap ke arah Nan-Gil.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 9

Berikut ini adalah video preview episode 9 dari drakor Man Living At My House / Sweet Stranger And Me:

» Sinopsis eps 9 selengkapnya

sinopsis manlivingatmyhouse 8

Leave a Reply