Sinopsis Jealousy Incarnate Episode 23 & Preview Episode 24 (9 November 2016)

Di sinopsis Jealousy Incarnate episode sebelumnya, hasil pemeriksaan urologi mengkonfirmasi kekhawatiran dokter Geum Suk-Ho (Bae Hye-Sun) tentang kurangnya hormon pria di tubuh Lee Hwa-Shin (Cho Jung-Seok) yang bisa berujung pada infertilitas dan impotensi. Hal ini membuat Hwa-Shin semakin down. Namun begitu mengetahui Na-Ri digosipkan terkena kanker payudara oleh seluruh karyawan stasiun dan ia menerimanya begitu saja untuk melindungi Hwa-Shin dengan resiko tidak akan diterima menjadi karyawan tetap, Hwa-Shin memutuskan untuk mengungkapkan secara terang-terangan bahwa ia penderita kanker payudara di saat siaran langsung berita malam. Apa yang kira-kira bakal terjadi di sinopsis drama korea Incarnation of Jealousy episode 23 kali ini?

Sinopsis Episode 23

Hwa-Shin melangkah turun dari podium dan menghampiri Na-Ri. Keduanya saling bertatapan.

“Kamu gila?” tanya Na-Ri dengan terisak. “Kenapa kamu tidak mendengarkanku?”

Tanpa menjawabnya, Hwa-Shin memeluk Na-Ri.

“Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Na-Ri lagi.

Di belakang mereka, direktur Oh Jong-Hwan (Kwon Hae-Hyo) dan reporter Um duduk perlahan di podium, menyaksikan aksi Hwa-Shin dan Na-Ri. Begitu pula dengan Hong Hye-Won (Seo Ji-Hye) yang sedari tadi masih terdiam di tempat duduknya.

“Aku tahu apa yang ingin kau katakan,” ujar Hwa-Shin sembari mengusap air mata Na-Ri, “Jangan khawatir, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak berkata salah. Ini jalan yang benar. Ini bagaimana kamu menulis naskah.”

Sambil tersenyum Hwa-Shin melanjutkan, “Pulanglah.”

Hwa-Shin keluar meninggalkan studio. Di belakang terlihat beberapa orang kru menggosipkannya. Ia melangkah masuk ke dalam lift, yang ternyata penuh berisi karyawan. Salah satunya adalah reporter Park, yang raut mukanya langsung berubah ketakutan melihat Hwa-Shin. Bahkan saat Hwa-Shin hanya mengangkat lengannya untuk membenarkan jasnya saja reporter Park sudah reflek memundurkan kepalanya.

Sebelum keluar dari kantor, Hwa-Shin tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah reporter Park yang berjalan di belakangnya. Tanpa berkata apa-apa, Hwa-Shin mengambil sesuatu yang ada di sakunya, lalu memasukkannya ke saku jas reporter Park sembari menepuk-nepuk dadanya.

Akhirnya Hwa-Shin pun tiba di dalam mobilnya.

“Gosh, itu benar-benar memalukan,” ujarnya. “Aku pasti sudah hilang akal. Aku pasti gila.”

Hwa-Shin mulai menjalankan mobilnya. Di jalan ia tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menundukkan kepalanya di setir. Tanpa ia sadari, ada Ko Jung-Won (Ko Gyung-Pyo) dengan mobilnya tak jauh dari hadapannya, sedang memperhatikannya dengan raut muka khawatir.

Beberapa saat kemudian Hwa-Shin kembali menengadahkan kepalanya dan melanjutkan perjalanannya. Jung-Won memutar balik mobilnya dan diam-diam mengikuti Hwa-Shin dari belakang, walau sayang kemudian harus terhenti karena terpisah oleh traffic light.

“Ia seharusnya pulang. Pergi kemana dia sekarang?” gumam Jung-Won sambil menatap ke arah mobil Hwa-Shin yang berlalu dari hadapannya.

Di Rak Villa, Na-Ri menunggu kedatangan Hwa-Shin dengan gelisah. Sementara Hwa-shin sendiri, yang masih dalam perjalanan, menghubungi ibunya, memberitahunya bahwa ia tidak bisa datang untuk makan malam. Ibunya (Park Jung-Soo) tidak mempedulikan hal itu dan terus menangis, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Hwa-Shin tidak akan pernah bisa menikah dengan yang barusan ia lakukan.

“Jangan lepaskan gadis yang kamu kencani sekarang. Ia menemukan kanker itu untukmu, dan ia bahkan pergi ke rumah sakit denganmu. Jangan lepaskan dia. Jika kamu melepaskannya pergi, kamu mungkin tidak akan pernah bisa menikah. Kamu harus hidup sendiri hingga akhir hidupmu,” pinta ibu Hwa-Shin.

“Berhenti menangis, ibu, berhenti menangis,” respon Hwa-Shin.

“Jika segala sesuatunya tidak berjalan dengannya, tidak ada gadis yang mau menikahi pria dengan kanker payudara. Mereka bahkan tidak akan mempertimbangkan pergi keluar denganmu. Mereka tidak akan memikirkanmu sebagai seorang pria. Seluruh negara mengetahuinya. Ya Tuhan. Apa yang akan terjadi padamu?” lanjut ibu Hwa-Shin.

“Berhenti menangis,” ujar Hwa-Shin.

Tapi ibunya tidak berhenti menangis, terus saja mengkhawatirkan Hwa-Shin tidak akan bisa menikah.

“Memang apa masalahnya? Kalau begitu aku tidak akan menikah,” balas Hwa-Shin.

Usai menelpon ibunya, Hwa-Shin mematikan telponnya dan mobilnya terlihat meninggalkan kota Seoul. Na-Ri yang mencoba menghubunginya berkali-kali gagal.

Hari berganti. Esok paginya, di stasiun TV, semua orang sibuk membaca berita mengenai Hwa-Shin, baik dari koran maupun media online. Direktur Oh yang melihatnya menjadi kesal. Sesampainya di ruangannya, ia kaget melihat surat pengajuan cuti Hwa-Shin tergeletak di mejanya.

Direktur Oh lantas memanggil Na-Ri untuk menemuinya di kantor. Ia menunjukkan surat tersebut pada Na-Ri, yang terlihat kaget membacanya.

“Ia menghilang tanpa mengatakan apapun kepadamu?” tanya direktur Oh.

Na-Ri mengiyakan.

Direktur Oh pun mempersilahkannya keluar. Sepeninggal Na-Ri, direktur Oh meraup wajahnya dengan tangannya, dan kembali melihat surat cuti Hwa-Shin lantas melemparkannya dengan kesal.

Di luar, Na-Ri mampir ke meja Hwa-Shin. Wajahnya terlihat syok.

“Ia mengatakan padaku untuk pulang,” gumam Na-Ri.

Posisi pembaca berita Hwa-Shin mulai digantikan oleh reporter lain. Sementara itu, Na-Ri terus berusaha untuk menghubungi nomer Hwa-Shin, namun ponselnya tetap saja masih dimatikan. Ia juga mendatangi Jung-Won di butiknya dan menanyakan apakah ia tahu keberadaan Hwa-Shin.

“Aku juga sedang mencarinya,” jawab Jung-Won. “Aku yakin ia akan kembali dengan selamat. Jangan khawatir.”

Sambil tersenyum Jung-Won menambahkan, “Aku kalah. Dia menang.”

Na-Ri sedang mengambil nasi dari rice cooker. Karena kepikiran Hwa-Shin dan tidak fokus, tanpa sengaja jarinya terjepit tutup rice cooker. Ia pun terjatuh dan menangis kesakitan.

Na-Ri berada di UGD untuk mengobati jarinya yang luka. Setelah dirawat dan mendapat perban di jari telunjuk dan jari tengahnya, ia hendak pulang. Namun mendadak ia berhenti dan memutuskan untuk menemui dokter Geum.

“Mengapa kamu menerima permintaan wawancaranya?” tanya Na-Ri. “Ia menghilang setelah membawakan berita tersebut.”

Dokter Geum dan suster Oh (Park Jin-Joo) kaget mendengarnya.

“Ia tidak mengangkap telponnya. Tidak ada yang tahu apakah ia hidup atau mati,” lanjut Na-Ri. “Ia pasti merasa sangat malu hingga ia pergi ke suatu tempat yang aku tidak tahu. Hasil tesnya baik-baik saja, bukan?”

“Tentu saja,” jawab dokter Geum cepat.

“Apakah ia mengambil hasil tesnya sendirian?” tanya Na-Ri.

“Ya, semuanya baik-baik saja,” jawab dokter Geum dengan agak gugup.

Hwa-Shin berdiri di depan gedung stasiun. Mulutnya menganga. Ia tidak menyangka ada spanduk besar, hingga menutupi gedung, yang bergambar dirinya. Ada quote kata-katanya saat membawakan pengakuan tentang kanker payudara beberapa waktu lalu.

Aku berharap negara kita akan menjadi tempat dimana minoritas bisa merasa bahagia.

Perasaannya campur aduk melihat spanduk jumbo itu. Beberapa saat kemudian ia terlihat sudah berdiri di depan pintu studio.

“Mari kita putus,” ucapnya dalam hati.

Ia pun melangkah masuk. Na-Ri saat itu sedang membawakan siaran berita pagi. Meski kaget melihat Hwa-Shin ada di hadapannya, ia mencoba tetap tenang dan meneruskan pembacaan berita.

Saat break, Hwa-Shin perlahan maju ke podium menghampiri Na-Ri. Direktur Oh dan reporter Um yang menyadari keberadaan Hwa-Shin langsung terlihat kesal karena ia baru muncul sekarang.

“Sepertinya kamu telah menungguku,” ucap Hwa-Shin dalam hati.

“Aku sudah menunggumu,” tahu-tahu direktur Oh mendatangi Hwa-Shin dari belakang. “Aku sudah hancur berantakan. Ikuti aku.”

Belum sempat Hwa-Shin mengatakan apa-apa pada Na-Ri, ia harus pasrah diseret pergi oleh direktur Oh dan reporter Um. Na-ri memandanginya dalam diam, walau ia terlihat sedikit lega.

Hwa-Shin dibawa ke ruangan direktur Oh. Ada Bang Ja-Young (Park Ji-Young) di sana, yang langsung menanyakan kemana saja perginya Hwa-Shin. Direktur Oh tidak berniat basa-basi dan meminta Hwa-Shin untuk live. Hwa-Shin kaget.

“Aku tidak mau,” bantahnya.

“Lalu kenapa kamu datang?” tanya direktur Oh dengan kesal.

“Tidakkah aku sedang dihukum? Aku tidak datang selama seminggu tanpa ijin. Hukum aku.” jawab Hwa-Shin. “Aku datang untuk dihukum. Dan aku tidak ingin tampil untuk sementara waktu.”

Direktur Oh hendak mengatakan sesuatu tapi sepertinya ia berusaha menahan dirinya.

Hwa-Shin kembali mendatangi Na-Ri di ruang siaran. Na-Ri segera menyembunyikan jarinya yang terluka di balik punggungnya.

“Ini sudah seminggu,” ujar Na-Ri.

Dalam hati Hwa-Shin kembali berpikir untuk mengucapkan kata putus.

“Mari kita TIDAK putus,” respon Hwa-Shin. Ia pun kaget sendiri kenapa yang keluar justru sebaliknya.

“Oke,” jawab Na-Ri.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Hwa-Shin.

“Tentu saja tidak,” jawab Na-Ri.

Mereka berdua lantas makan bersama di kafetaria. Na-Ri menanyakan apa yang dilakukan Hwa-Shin selama ia menghilang dan kenapa ia melakukannya. Hwa-Shin sempat tidak mau menjawabnya, tapi Na-Ri kembali mengulang pertanyaannya itu.

“Aku dipermalukan,” ujar Hwa-Shin.

“Lalu kenapa kamu kembali lagi?” tanya Na-Ri.

“Haruskah aku pergi lagi? Aku di sini.”

“Apakah kamu tidak peduli terhadapku?”

“Aku peduli. Itu sebabnya aku kembali setelah seminggu. Aku merasa semua orang memperhatikan dadaku dan itu membuatku gila. Aku sudah akan pergi ke Thailand kalau bukan karenamu.”

“Kenapa telponmu dimatikan?” tanya Na-Ri lagi.

“Bukankah itu kecenderungan saat kamu ingin bersembunyi?” jawab Hwa-Shin.

“Aku rasa kamu punya banyak pengalaman.”

“Ini yang pertama.”

“Jadi? Keputusan apa yang kamu dapatkan setelah kabur seperti itu?”

Hwa-Shin terdiam. Lagi-lagi keinginan minta putus terngiang di kepalanya. Dan lagi-lagi yang keluar dari mulutnya adalah…

“Mari kita TIDAK putus.”

Na-Ri terdiam. Begitu pula Hwa-Shin, yang bingung kenapa ia bisa mengucapkan hal tersebut.

“Apakah kamu melihat siaranku?” tanya Na-Ri kemudian.

“Tidak, aku tidak bisa. Tidak ada TV.”

“Dimana kamu?”

“Mari kita TIDAK putus.”

Hal yang sama terulang lagi. Dan Na-Ri terlihat makin heran.

“Tentu saja,” respon Na-Ri sambil mulai menyendok makannya.

Saat itulah Hwa-Shin baru melihat jari tangan Na-Ri yang diperban. Ia pun menanyakan apa yang terjadi dengan tangan Na-Ri. Na-Ri menjawab tidak ada apa-apa, juga mengelak saat Hwa-Shin hendak meraih tangannya.

“Mari kita PUTUS!!!” teriak Hwa-Shin berkali-kali di helipad, mengeluarkan apa yang sedari tadi ingin ia katakan pada Na-Ri.

Direktur Oh bertemu dengan reporter Park di kamar mandi. Dengan santai direktur Oh memberitahunya bahwa ia sudah menjadi kandidat kuat sebagai koresponden SBC di Kenya. Tanpa menghiraukan reporter Park yang tidak menyetujuinya, sambil berlalu direktur Oh mengatakan bahwa kopi di sana rasanya cukup enak.

Hwa-Shin masuk ke lift. Ada Kye Sung-Sook (Lee Mi-Sook) di dalamnya, yang kaget melihat Hwa-Shin ada di hadapannya. Dengan tampang penasaran, Sung-Sook memperhatikan dada Hwa-Shin.

“Berhenti memandangi dadaku. Itu bukan milikmu.” ujar Hwa-Shin.

“Benarkah?” respon Sung-Sook sembari meraba dada kanan Hwa-Shin. “Kalau begitu.. ini tidak apa-apa?”

“Bukan di sisi itu,” jawab Hwa-Shin. Wajahnya terlihat bete.

Sung-Sook pun hendak ganti memegang dada kiri Hwa-Shin, tapi Hwa-Shin mencegahnya.

“Kamu sepertinya baik saja. Lihat bagaimana kamu melawan. Aku dengar kamu meminta Mr Oh untuk menghukummu. Kamu ingin dihukum dan mengundurkan diri menjadi pembawa berita?” tanya Sung-Sook.

Hwa-Shin mengiyakan.

“Kamu tidak punya bayangan betapa banyak pemirsa berkomentar di website dan menelpon studio untuk mencarimu dan menunggumu, bukan? Mereka tidak menanyakanmu karena penasaran. Mereka tidak menunggumu karena kasihan. Mereka bilang mereka ingin melihatmu ada di posisi itu setiap hari. ‘Kemana ia pergi?’ ‘Apakah ia dipecat?’ Keluhan masih terus berdatangan. Terutama dengan cinta dan kesetiaanmu untuk Na-Ri. Mereka ingin melihatmu setiap hari, terlihat sehat dan pulih kembali tanpa kambuh. Haruskah kamu kabur seperti remaja? Semua orang membicarakan kalian berdua. Tidakkah kamu melihat banner yang dipasang presiden stasiun? Ia akan segera memerah kalian hingga mati.” ujar Sung-Sook panjang lebar sebelum ia keluar dari lift.

Hwa-Shin terdiam.

“Aku akan menyerah sekarang. Sudah berakhir,” ujar Hye-Won tiba-tiba saat break sesi siaran dirinya dan Hwa-Shin. “Aku tidak akan menyukaimu lagi.”

“Apakah kamu menemukan laki-laki lain?” tanya Hwa-Shin.

“Bagiku dadamu masih seksi,” jawab Hye-Won. “Dan aku ingin melakukan siaran langsung baca berita bersamamu untuk waktu yang sangat lama, jadi sehatlah.”

Dari ruang penyiar, Na-Ri menonton siaran berita Hwa-Shin dan mengingat kembali kata-kata Hwa-Shin sebelumnya yang memintanya agar tidak putus.

Hwa-Shin berada di rumah ibunya. Sambil menyuapi buah, ibu Hwa-Shin menanyakan kemana saja perginya Hwa-Shin selama menghilang. Hwa-Shin tiba-tiba terdiam, lalu menoleh ke arah ibunya.

“Ibu, mari kita putus,” ujarnya.

Ibu Hwa-Shin memandangnya dengan heran.

“Mari kita putus,” ujar Hwa-Shin sekali lagi.

Dan ibu Hwa-Shin pun mulai marah. Ia mengomel, “Dasar kamu anak nakal. Bagaimana bisa ibu dan anak putus? Aku menolak!”

“Itu mudah dikatakan kepadamu, tapi kenapa sulit sekali untuk dikatakan kepadanya?” gumam Hwa-Shin.

Na-Ri mendatangi kubikel Hwa-Shin dan menanyakan apakah ia sudah selesai. Dalam hati Hwa-Shin ingin menjawab tidak, tapi yang terucap adalah “ya”.

“Apakah kau ingin makan malam?” tanya Na-Ri.

Lagi-lagi Hwa-Shin mengiyakan meski hatinya ingin menjawab sebaliknya.

Mereka berdua lantas makan udon di warung pinggir jalan. Na-Ri kemudian meminta Hwa-Shin untuk makan bersama setelah ujian masuk universitas Chi-Yeol. Hwa-Shin menolaknya. Na-Ri terus memaksanya, agar hubungannya dengan Chi-Yeol bisa luluh. Alih-alih mengiyakan, kali ini Hwa-Shin malah berhasil mengatakan apa yang ingin ia katakan kepada Na-Ri belakangan ini.

“Mari kita putus”

“Apa kamu takut dengan saudara iparmu?” tanya Na-Ri, mengira Hwa-Shin sedang bercanda.

Hwa-Shin menundukkan kepalanya.

“Kenapa? Apa karena kamu impoten?” tanya Na-Ri lagi.

Hwa-Shin kaget mengetahui Na-Ri tahu akan hal itu. Ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Na-Ri.

“Karena itu?” tanya Na-Ri.

“Kamu tahu?” Hwa-Shin balik bertanya.

Na-Ri tidak menjawabnya.

“Berapa lama kamu sudah tahu? Apakah kamu berpura-pura tidak tahu dan mempermainkanku? Seperti itu?” tanya Hwa-Shin dengan emosi.

“Itu setelah kamu menghilang,” jawab Na-Ri.

“Kamu pasti berpikir aku bodoh,” respon Hwa-Shin. “Itu bagus. Mari kita putus.”

“Tidak.”

“Mari kita akhiri.”

“Aku baik-baik saja tanpa anak. Sungguh. Aku hanya membutuhkanmu. Aku tidak tahu apakah aku bisa membesarkan bayi dengan baik dan…”

“Kamu pembohong yang baik,” potong Hwa-Shin.

“Tidak, aku benar baik-baik saja.”

“Kamu membuatku merasa menyedihkan sekarang ini. Apa kamu mengasihaniku? Itu sebabnya kamu mengatakan yang tadi?”

“Aku ingin memberimu waktu. Aku pikir kamu akan memberitahuku sendiri suatu hari nanti, jadi aku menunggu. Aku bisa menerima tidak memiliki anak, tapi aku tidak bisa menerima tidak memilikimu. Aku tidak bisa putus denganmu.”

“Aku tidak baik-baik saja! Kamu baik-baik saja tidak menyelesaikan apapun. Hanya karena kamu mengerti, apakah itu berarti aku akan tenang? Aku yakin aku bisa mencintaimu selamanya, tapi aku mempertanyakan diriku sendiri berulang kali apakah aku bisa membuatmu bahagia. Jadi..”

“Aku tidak akan putus denganmu,” potong Na-Ri.

“Mari kita putus,” lanjut Hwa-Shin tanpa menghiraukan Na-Ri, lantas pergi meninggalkannya begitu saja.

Adegan flashback muncul saat dokter Geum memberitahu tentang kondisi Hwa-Shin pada Na-Ri. Pulang ke rumah, Na-ri menangis sambil menggenggam hadiah-hadiah baju dan boneka bayi yang dibelikan Hwa-Shin.

Reporter Um mendatangi direktur Oh dan meminta ijin seminggu untuk menjenguk ibunya yang sakit keras di Inggris. Reporter Um juga mengajukan Hwa-Shin untuk menggantikan posisinya sementara waktu di acara berita malam. Dengan berat hati direktur Oh mengijinkan asal reporter Um meminta ijin langsung pada presiden stasiun. Direktur Oh juga mengingatkan reporter Um bahwa ia bisa saja kehilangan posisinya apabila banyak orang yang menyukai Hwa-Shin di posisi itu. Reporter Um tidak mempermasalahkannya.

Beberapa waktu kemudian direktur Oh menerima telpon. Sepertinya dari presiden stasiun, yang meminta untuk memasangkan Hwa-Shin dengan Na-Ri di acara berita pukul 9 malam. Direktur Oh sempat tidak menyetujuinya karena menganggap Na-Ri belum matang, tapi presiden memaksanya sehingga ia hanya bisa menurutinya.

Na-Ri mendatangi apartemen Hwa-Shin dan menggedor-gedor pintunya. Begitu Hwa-Shin keluar, Na-Ri langsung mendorongnya ke tembok dan memintanya untuk memikirkan apabila yang terjadi adalah sebaliknya.

“Jika aku berada dalam posisimu, apakah kamu akan meminta putus denganku?” tanya Na-Ri.

“Pergilah,” respon Hwa-Shin.

“Tentu, aku bisa membayangkan pernikahan tanpa anak. Kita akan capek hidup berduaan. Saat kita melihat anak kita, itu akan meremajakan hubungan kita. Bahkan saat kita berkelahi, kita akan akur kembali dengan cepat karena ada bayi. Kita tertawa saat kita melihat anak kita dan bersenang-senang berbicara tentang mereka. Itu semua menyenangkan.” ujar Na-Ri.

“Bagus.”

“Tapi Mr. Lee, aku tidak bisa membayangkan pernikahan tanpamu di sana. Setelah kamu menghilang, perkataan dokter bahwa kita tidak akan punya anak terasa tidak berarti. Begitu kamu tidak lagi ada di sana, aku menyadari aku tidak menginginkan hal lain selain memilikimu di dekatku. Jadi ku mohon, jika kamu tidak membenciku, jik akamu belum bosan kepadaku, jangan memintaku untuk putus denganmu. Jika kamu mengatakan itu lagi…”

“Mari kita putus,” potong Hwa-Shin. “Mari kita putus.”

“Kamu brengsek.”

“Mari kita putus.”

“Tutup mulutmu.”

“Mari kita putus.”

“Akan ku jahit mulutmu.”

“Mari kita putus.”

“Bagaimana kamu bisa mengatakannya dengan mudah?”

“Itu mudah bagiku. Mari kita putus.”

“Ya ampun. Dasar brengsek.”

“Mari kita putus.”

“Mr. Lee, ini bukan apa-apa,” Na-Ri mencoba merayu kembali Hwa-Shin. “Mereka bilang tidak ada yang tidak mungkin dengan teknologi modern. Mari kita lakukan setiap waktu. Kita ‘tidur’ setiap waktu dan makan makanan yang bagus untukmu. Kita berusaha setengah mati dan tidur. Jangan terlalu memikirkannya. Mari kita pikirkan itu seperti tidur sebentar. Mereka bilang itu memungkinkan jika kamu tidak berhenti berharap.”

“Kamu ingin ‘tidur’ setiap hari?” tanya Hwa-Shin.

“Mari kita coba.”

“Ini sungguh menyedihkan. Pulanglah.”

“Aku akan baik kepadamu.”

“Bagaimana kalau kamu tidak akan pernah hamil?”

“Mari kita tanyakan pertanyaan itu lagi setelah kita ‘tidur bersama’ seratus kali.”

“Bagaimana kalau kamu tidak akan pernah hamil?”

“Kalau begitu, mari kita tidur sebentar setiap saat kita makan mie instan yang kamu bawakan.”

“Bagaimana jika itu tidak berhasil?”

“Kita ambil saja mie instan lagi. Jangan melihatku seperti itu.”

“Aku tidak akan menikahimu. Kamu tahu berapa banyak mie instan tadi?”

“Itu bahkan tidak sampai 1000.”

“Aku tidak akan menikahimu.”

“Nikahi aku.”

“Mari kita putus.”

Na-Ri memandangi wajah Hwa-Shin dengan mata berkaca-kaca.

“Mari kita putus. Pergilah.” respon Hwa-Shin.

“Kamu mencampakkanku?”

“Ya.”

“Apakah aku dicampakkan?”

“Ya.”

“Kamu tidak akan menyesalinya?”

“Tidak.”

“Baiklah,” jawab Na-Ri sembari menganggukkan kepalanya. “Lupakan semua. Mari kita putus. Mari kita putus.”

Na-Ri berlalu meninggalkan Hwa-Shin, tapi lantas berhenti dan duduk di dipan tak jauh dari kamar Hwa-Shin. Hwa-Shin sendiri juga tidak masuk ke kamarnya melainkan berdiri di pagar. Begitu melihat Na-Ri, ia menghampirinya dan meminta Na-Ri untuk pulang.

“Terserah,” respon Na-Ri, kemudian merebahkan tubuhnya di dipan. Na-Ri lalu memberikan jempolnya pada Hwa-Shin berkata, “Bagus untukmu. Serius, kamu punya harga diri yang paling besar. Kamu sungguh keras kepala. Bagus untukmu.”

Hwa-Shin kembali meminta Na-Ri untuk pulang, tapi Na-Ri tidak mau melakukannya, beralasan mereka sudah putus, jadi suka-suka ia hendak melakukan apa.

“Na-Ri, apa yang kau lakukan di sana?” tanya Pyo Chi-Yeol (Kim Jung-Hyun) yang tiba-tiba muncul.

“Kamu lihat ini? Saudarimu mabuk dan menempel kepadaku,” jawab Hwa-Shin. “Singkirkan dia.”

“Apa? Beraninya kamu berbicara seperti itu pada seorang wanita?” balas Chi-Yeol emosi sampai ia hendak meloncat dari apartemennya menuju apartemen Hwa-Shin.

Hwa-Shin tidak menghiraukannya dan masuk ke kamarnya.

Ja-Young dan Sung-Sook turun dari tangga apartemen bersamaan. Mereka berdua kaget mendapati Kim Rak (Lee Sung-Jae) ada di bawah dengan bergaya perlente, lengkap dengan jas dan dasinya. Ia mengaku ada bisnis yang harus ia urus.

“Aku akan menemuimu nanti malam di hotel,” ujar Kim Rak pada Ja-Young.

Ja-Young mengiyakan sambil tersenyum-senyum senang, sementara Sung-Sook terlihat iri bercampur bete.

“Apa yang akan kamu lakukan di hotel?” tanya Sung-Sook kepo.

“Aku harus pergi untuk mencari tahu jawabannya,” jawab Ja-Young.

“Heh, kamu sudah pergi ke hotel saja. Hati-hatilah agar orang tidak membicarakan.” sergah Sung-Sook.

“Kamu cukup menjaga agar mulutmu tertutup,” balas Ja-Young.

Ja-Young kemudian memberitahu Sung-Sook bahwa ia sudah menyiapkan makan malam untuknya di kulkas dan ia hanya tinggal memanaskannya. Ja-Young mengingatkan bahwa meski Sung-Sook makan sendirian, ia tetap harus makan dengan benar. Tanpa diduga Sung-Sook ngambek dan merajuk.

“Tidak. Aku tidak suka kamu berkencan. Aku jadi bosan. Aku merasa aku kehilanganmu pada chef.” ujar Sung-Sook.

“Hei, kamu bercanda?” tanya Ja-Young.

“Aku tidak akan memanaskannya! Aku tidak cara melakukannya. Aku tidak akan!” balas Sung-Sook sambil berlalu.

Beberapa langkah berjalan ia berhenti dan menambahkan, “Bagaimana kamu bisa berubah sedemikian banyak? Sialan!”

“Hei, aku sudah lama tidak berkencan. Bantu aku, oke?” gumam Ja-Young.

Direktur Oh memanggil Hwa-Shin dan Na-Ri ke ruangannya dan meminta mereka untuk membawakan berita jam 9 malam.

“Kenapa? Aku tidak mau melakukan itu dengannya.” respon Hwa-Shin.

“Itu perintah presiden,” balas direktur Oh. “Hanya seminggu saja.”

“Sung-Sook tidak akan terima,” dalih Hwa-Shin.

“Presiden mengatakan bahwa kita akan menggunakan pengganti. Kalian harus melakukannya,” ujar direktur Oh. “Karena kalian berdua sudah menjadi pembicaraan publik, itu mungkin akan meningkatkan rating. Oke? Kalian perlu aku untuk menjelaskan lebih?”

“Tidak, aku tidak bisa,” jawab Hwa-Shin.

“Aku tidak meminta. Aku memberimu perintah,” balas direktur Oh tegas. “Dan bagaimana kamu menjadi begitu egois? Ini kesempatan besar untuk Na-Ri. Ini kesempatan baginya untuk memulihkan diri dari siaran langsung pemilihan walikota. Dan Sung-Sook menolak melakukannya denganmu. Ia ingin cuti selama seminggu.”

“Aku akan melakukannya dengan baik. Terima kasih atas kesempatannya,” ujar Na-Ri pada direktur Oh.

“Aku bilang tidak,” Hwa-Shin masih berkeras.

“Keluarlah,” pinta direktur Oh.

“Kamu tidak akan menikah,” ujar Hwa-Shin saat meninggalkan ruangan direktur Oh bersama Na-Ri.

“Karena?” tanya Na-RI heran.

“Jika kamu membawakan acara berita bersamaku, orang yang sebelumnya tidak tahu tentang kita akan tahu. Itu tidak akan membantu. Studio hanya menggunakan kita untuk menarik perhatian.”

“Apakah itu bukan karena kamu merasa aku tidak berarti, bahkan sebagai pengganti?”

“Aku akan melakukan yang terbaik, meskipun itu hanya seminggu.”

“Aku yakin kamu begitu.”

“Ini terlalu cepat untukmu. Jika kamu terlalu eksis, akan lebih banyak panah yang terbang ke arahmu. Itu bisa berbahaya.”

“Aku tidak pernah menganggapnya mudah, jadi itu tidak menakutiku.”

“Aku tidak bercanda.”

“Begitu juga aku.”

“Kita putus.”

“Kamu bertingkah seolah kamu peduli tentang aku, tapi itukah kenapa kamu membatalkan pernikahan dan mengatakan padaku untuk tidak membawakan berita jam 9 malam? Kenapa kamu menjadi sedemikian pengecut?”

“Aku punya kanker payudara dan aku impoten. Jangan lupakan itu. Kamu bodoh? Pikiran lagi.”

“Kamu sungguh seorang pengecut sekarang. Kenapa? Apa yang terjadi?”

Na-Ri sedang duduk merenung saat Geum Soo-Jung (Park Hwan-Hee), Na Joo-Hee (Kim Ye-Won), dan Hye-Won lewat. Tanpa diduga, mereka semua mendukung Na-Ri untuk mengisi slot berita jam 9 malam.

“Kamu tahu kenapa aku menolak untuk membawakan berita jam 9 malam denganmu?” tanya Sung-Sook pada Hwa-Shin saat Hwa-Shin menghampirinya di ruang siaran.

“Kamu bertemu denganku saat aku remaja, jadi kamu masih memandangku sebagai seorang remaja,” jawab Hwa-Shin tenang.

“Itu benar. Bagaimana aku bisa membawakan berita jam 9 malam dengan seorang remaja?” ujar Sung-Sook.

Ia lantas berdiri dari tempat duduknya dan berkata, “Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu tidak ingin melakukan ini hanya seminggu. Kamu menginginkan ini selamanya, bukan? Kamu berpikir ini kesempatanmu.”

“Bukankah itu sewajarnya? Bintang seringkali terlahir di saat seperti ini.”

Sung-Sook mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ja-Young sudah berada di hotel bersama dengan Kim Rak. Tujuannya ternyata adalah makan malam bersama dengan saudari Kim Rak, yang sekaligus ibu Jung-Won, Kim Tae-Ra (Choi Hwa-Jung). Ja-Young merasa gugup sehingga ia ijin untuk ke kamar mandi terlebih dahulu.

Siaran berita dimulai. Sung-Sook dan direktur Oh ada di sana untuk mengawasi jalannya siaran. Sejauh ini untuk bagian pembukaan berjalan dengan lancar.

Tae-Ra penasaran dengan gadis yang bisa menyembuhkan aseksualitas Kim Rak.

“Apakah ia masih muda?” tanya Tae-Ra.

“Ia lebih muda.. darimu,” jawab Kim Rak.

Tae-Ra jadi makin penasaran. Sesaat kemudian Ja-Young muncul.

“Ucapkan salam kepadanya,” ujar Kim Rak, “Ia wanita paling seksi yang masih hidup untukku.”

Tae-Ra melongo lebar mendengarnya.

Saat membacakan berita, beberapa kali Hwa-Shin sengaja ‘berimprovisasi’ yang tidak pada tempatnya. Ia bahkan sempat memotong bagian Na-Ri. Untungnya tidak sampai terjadi hal yang fatal sehingga direktur Oh hanya bisa sekedar kesal saja.

“Apakah aku masih pengecut bagimu?” tanya Hwa-Shin usai acara.

Na-Ri hanya terdiam.

Sung-Sook mendatangi mereka dan mengingatkan Hwa-Shin agar tidak terlalu berlebihan dalam berimprovisasi karena bisa fatal akibatnya.

Na-Ri keluar dari laundry dengan membawa selimut. Tiba-tiba Hwa-Shin lewat di depannya. Bukannya membantu membawakan selimut itu, ia terus berjalan melewati Na-Ri. Na-Ri ikut berjalan di belakangnya.

“Kenapa kamu mengikuti?” tanya Hwa-Shin sembari membalikkan badannya.

Na-Ri mengabaikannya dan terus berjalan melewatinya.

Ternyata Na-Ri menuju apartemen Hwa-Shin. Ia meletakkan selimut tersebut di dipan Hwa-Shin. Sudah ada rice cooker dan juga setrikaan di sana, semuanya merupakan barang pemberiaannya untuk Hwa-Shin. Hwa-Shin mempertanyakan kenapa Na-Ri tidak jadi berhenti ‘mengejarnya’, Na-Ri tidak mempedulikannya dan mengatakan akan pulang. Hwa-Shin mencegahnya, menanyakan apa yang akan ia lakukan dengan barang-barang itu. Na-Ri menjawab bahwa mereka akan menggunakan barang-barang itu bersama. Lagipula, dengan yang sudah ia jalani bersama Hwa-Shin, mulai dari naksir sepihak, pacaran, hingga berbicara soal pernikahan, Na-Ri menyatakan bahwa akan butuh waktu setidaknya 30 tahun lagi baru ia bisa putus dengan Hwa-Shin.

Hwa-Shin kembali berimprovisasi dan memotong bagian Na-Ri saat membacakan berita. Usai syuting, ia juga kembali menanyakan pada Na-Ri apakah ia masih seorang pengecut.

“Bagaimana bisa kamu memotongku seperti tadi? Setidaknya beri aku petunjuk. Kamu akan memberiku serangan jantung.” ujar Na-Ri.

Belum sempat Hwa-Shin menanggapi, direktur Oh datang dan memarahinya habis-habisan karena melakukan yang tidak sesuai dengan arahan awal. Hwa-Shin hanya mendengarkannya tanpa berkomentar apa-apa.

Pulang dari kantor, Hwa-Shin menghampiri Pyo Bum (Seol Woo-Hyung) yang sedang asyik makan.

“Bum, bagi aku sedikit. Satu gigitan saja,” pinta Hwa-Shin.

Bum mencuekinya. Dengan kesal Hwa-Shin masuk ke dalam minimarket dan berbelanja. Saat hendak pulang, ia kembali menghampiri Bum.

“Saudara ipar, bolehkah aku minta satu gigitan?” tanya Hwa-Shin.

Ternyata kali ini Bum menurutinya.

Na-Ri tiba tak lama kemudian. Ia pun duduk di samping Bum.

“Mr. Lee, aku bertanya karena penasaran. Dimana kamu bersembunyi selama seminggu?” tanya Na-Ri.

Hwa-Shin hanya diam menatap ke arah Na-Ri.

Adegan flashback muncul. Hwa-Shin ternyata pergi ke makam kakaknya, Lee Joong-Shin (Yun Da-Hun). Berhari-hari ia terus berada di sana dan tidur di mobilnya. Bahkan terkadang ia tidur di depan makam kakaknya. Hingga suatu hari Jung-Won datang.

Mereka pun lantas minum bersama.

“Aku rasa aku menyukaimu lebih daripada aku menyukai Na-Ri,” ujar Jung-Won.

“Apakah kamu menyatakan cintamu kepadaku?” tanya Hwa-Shin.

“Aku pikir aku adalah orang yang kesepian, tapi saat aku melihatmu meninggalkan stasiun, aku pikir mungkin kamu lebih kesepian daripada aku. Kamu tidak lagi orang yang aku kenal selama ini. Aku melihat seberapa besar dan tulus cintamu. Kamu mengajarkanku bagaimana untuk menyerah. Aku akan memperlakukanmu seperti teman baruku mulai dari sekarang. Tidak masalah, kan?”

Keduanya saling tersenyum.

“Aku bermain dengan Joong Shin dan seorang teman,” jawab Hwa-Shin terhadap pertanyaan Na-Ri.

“Teman apa?” tanya Na-Ri.

“Teman baru,” jawab Hwa-Shin.

“Hei, kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama sejak kita mulai membawakan berita jam 9 malam. Ayo pergi keluar malam ini, hanya kita.”

“Tidakkah kita putus?”

“Ya, jadi mari kita pergi sebagai partner baca berita jam 9 malam. Harmoni kita terganggu karena kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama.”

“Siapa bilang itu berantakan?” tanya Hwa-Shin dengan nada tinggi.

“Aku,” jawab Na-Ri. “Aku punya banyak kemarahan yang terpendam kepadamu. Ayo kita makan. Kamu juga belum makan. Datanglah jadi aku bisa membuatkan masakan.”

“Lupakanlah,” respon Hwa-Shin sambil berdiri.

Dengan cepat Na-Ri merebut belanjaan Hwa-Shin.

Presiden stasiun akhirnya tidak tahan lagi dengan ulah Hwa-Shin saat siaran yang membuat iklan-iklan dibatalkan. Ia memerintahkan direktur Oh untuk memecat Hwa-Shin dari pembawa berita dan memintanya untuk dipindahkan ke tempat lain. Di luar gedung, banner spanduk Hwa-Shin juga sudah diturunkan.

91

Na-Ri mempersilahkan Hwa-Shin mencicipi masakannya.

“Lumayan,” respon Hwa-Shin.

“Benarkah? Coba kita lihat.” jawab Na-Ri sembari mencicipi masakannya. Ia lalu berkata, “Hmm, jika ini lunak untukku, berarti itu bagus untukmu. Oke, aku akan membuatnya seperti ini mulai dari sekarang.”

“Kita tidak butuh anak-anak. Kamu tahu kenapa? Kita sudah punya satu. Na-Ri akan membesarkan Hwa-Shin.” ujar Na-Ri.

“Tutup mulutmu.”

“Bagaimana kamu bisa makan?”

“Buka mulutmu hanya pada saat kamu makan.”

“Apakah kita benar-benar putus gara-gara ini?”

“Ya.” jawab Na-Ri.

“Itu cukup cepat.”

Na-Ri lantas menuangkan soju ke gelasnya dan meminumnya.

“Juga, perhatikan ekspresi wajahmu saat membawakan berita. Jangan pedulikan aku.” ucap Hwa-Shin.

“Tapi kamu membuatku memperhatikanmu. Berhenti memberikan komentar kasar. Tidakkah kamu dengar bahwa iklan departemen store sudah hilang? Pekerjaanmu akan hilang juga kalau terus begitu.”

Hwa-Shin tiba-tiba meletakkan sendokknya dengan kasar.

“Oke, oke, makan. Baiklah. Mari kita makan dahulu. Kita bisa bicara tentang pekerjaan nanti.” rayu Na-Ri.

“Ingat ini. Pembaca berita harus peduli tentang pemirsa saja. Jika kamu mempedulikan orang lain, kamu akan kehilangan kepercayaanmu. Jika kamu kehilangan kepercayaanmu, kamu akan kehilangan segalanya sebagai seorang pembaca berita.” ujar Hwa-Shin.

Ganti Na-Ri yang melemparkan sendoknya dengan kesal. Ia berkata, “Kamu sungguh menyebalkan. Haruskah kamu melakukan ini di saat makan malam?”

“Kamu biasanya menganggap aku menarik saat aku mengatakan hal-hal seperti ini,” dalih Hwa-Shin.

“Benarkah?” tanya Na-Ri.

“Itu bukan semuanya. Seluruh wajahmu menunjukkan seberapa besar kamu menganggapku menarik. Tapi apa? Aku mengganggumu sekarang?” omel Hwa-Shin.

Na-Ri diam-diam tersenyum, tapi kembali memasang tampang jutek.

“Apakah aku begitu terbutakan?” tanyanya. “Aku rasa kamu tidak ingin mendengar kamu menyebalkan meski kita sudah putus.”

Hwa-Shin tidak menjawab dan meminum segelas soju sebagai gantinya. Na-Ri lantas mengambil sepotong ikan teri kering dan meminta Hwa-Shin memakannya.

“Aku paling tidak suka ikan teri,” respon Hwa-Shin.

Na-Ri tidak mempedulikannya dan dengan tersenyum lebar memasukkan ikan teri tersebut ke mulut Hwa-Shin.

“Makanlah. Itu bagus untuk dadamu,” ujar Na-Ri.

“Tidak,” dengan kesal Hwa-Shin mengeluarkan kembali ikan tersebut dan membuangnya.

“Uh, kamu tidak pernah mendengarkan.”

“Kenapa aku harus mendengarkanmu? Aku bahkan tidak mendengarkan ibuku sendiri.”

“Dengarkan kami berdua mulai dari sekarang.”

92

“Apa?”

“Bahkan pada saat kamu membawakan berita, setiap saat aku mulai membuat komentar, kamu selalu memotongku. Kamu tahu betapa kagetnya aku setiap kali kamu melakukannya?” omel Na-Ri.

“Pernikahan…”

“Apakah kamu pengemudi yang ceroboh? Apakah kamu pengemudi baru?” tanya Na-Ri.

“Kamu pengemudi baru. Aku yang ceroboh,” jawab Hwa-Shin.

“Keduanya sama-sama berbahaya,” balas Na-Ri, “Kamu akan mendapat masalah besar karena bersikap arogan. Pengemudi baru pada dasarnya lebih baik karena ia berhati-hati dan tidak menimbulkan kecelakaan besar. Di saat seperti ini, kamu terlihat lebih buruk ketimbang Mr. Park.”

“Apa?” sergah Hwa-Shin tidak terima. “Beraninya kamu membandingkanku dengan tikus itu. Aku lebih buruk? Bagaimana? Dengan cara apa? Itu tidak masuk akal.”

“Ia mungkin tidak menghargai partner baca beritanya, tapi ia tidak menginterupsiku setiap kali aku mencoba untuk berbicara. Setiap kali aku melakukan siaran langsung denganmu, aku menjadi gugup. Jantungku serasa akan berhenti. Kamu memberiku serangan jantung.”

“Itu sebabnya aku bilang padamu untuk tidak melakukannya. Aku tidak berpikir kamu bisa menanganinya. Tidakkah aku mengatakan padamu untuk tidak melakukannya?”

“Mengapa harus aku yang mundur?” tanya Na-Ri sambil berkacak pinggang. “Kamulah yang seharusnya bekerjasama dengan partnermu.”

“Apa?”

“Apa kamu seorang diktator?”

“Tutup mulutmu.”

“Apa kamu seorang tiran?”

“Tutup mulutmu. Tutup!” bentak Hwa-Shin.

“Apa kamu pikir itu membuatmu terlihat keren atau bagaimana?” Na-Ri terus melanjutkan.

Tanpa disangka, Hwa-Shin bangkit dan langsung mencium Na-Ri.

93

“Na-Ri,” tiba-tiba dari luar kamar Chi-Yeol memanggilnya.

Dengan panik Na-Ri meminta Hwa-Shin untuk bersembunyi. Bingung tidak tahu harus bersembunyi dimana, Hwa-Shin akhirnya menutup diri dengan selimut di atas tempat tidur Na-Ri sementara Na-Ri menutup tempat tidurnya dengan tirai. Untungnya, pintu kamar Na-Ri yang memang bermasalah saat itu susah dibuka dan Chi-Yeol tidak bisa segera masuk.

Chi-Yeol ternyata hanya datang untuk mengambil kuncinya yang ketinggalan. Saat hendak pergi kembali, Chi-Yeol menyadari ada sepatu pria di depan pintu. Ia langsung memandang ke arah Na-Ri dengan tajam, sementara Na-Ri terus berujar bahwa ia sedang banyak masalah dan ingin sendiri. Tapi kemudian Chi-Yeol pamit dan menutup pintu kamar Na-Ri, tanpa mengatakan apa-apa lagi.

94

Na-Ri bergegas menghampiri Hwa-Shin di tempat tidurnya dan meminta maaf. Hwa-Shin hendak beranjak tapi Na-Ri mencegahnya.

“Tunggu dulu. Kenapa kamu menciumku?” tanya Na-Ri.

“Kamu membuatku gila, jadi aku… aku ingin menutup mulutmu,” dalih Hwa-Shin.

“Bisakah kita berciuman meskipun kita putus?” tanya Na-Ri.

“Aku tidak tahu.”

“Kamu ingin tidur denganku?”

Hwa-Shin terdiam mendengarnya. Na-Ri menundukkan kepalanya.

“Tidurlah denganku.” ujar Na-ri.

“Sungguh? Itu tidak masalah?” tanya Hwa-Shin.

“Berapa kali aku harus katakan padamu.”

“Itu tidak masalah bahwa kita tidak bisa punya anak?”

“Aku bilang tidak masalah.”

Hwa-Shin mulai bimbang. Ia hendak kembali beranjak pergi, namun Na-Ri mencegahnya, bahkan mendorong Hwa-Shin kembali ke tempat tidur.

“Percaya padaku,” ujar Na-Ri.

“Tidak, tidak,” respon Hwa-Shin.

“Aku akan mengurusmu,” lanjut Na-Ri.

95

Hwa-Shin menggeleng.

“Kenapa kamu terus berkata ‘tidak’?” tanya Na-Ri mulai kesal.

Tanpa menunggu jawaban Hwa-Shin, Na-Ri lantas membuka sweaternya. Tapi karena sempit, ia jadi kesulitan sendiri dan minta tolong pada Hwa-Shin. Hwa-Shin yang awalnya meringkuk menolak, begitu dimintai tolong malah membantu melepaskan sweater Na-Ri.

“Kenapa kamu harus mengenakan sesuatu yang begitu ketat?” ujar Hwa-Shin sembari menarik baju Na-Ri.

Hwa-Shin membelai rambut Na-Ri. Tapi ia kembali meragu.

“Aku tidak bisa melakukan ini,” ucapnya sembari hendak berdiri.

Na-Ri kembali mendorongnya dan berkata, “Berhenti mengatakan itu.”

“Kamu pikir aku sungguh bisa membuatmu bahagia?”

“Berhenti bermain susah untuk ditangkap,” jawab Na-Ri lantas mencium bibir Hwa-Shin.

“Aku.. aku tidak akan menikahimu,” respon Hwa-Shin.

“Hwa-Shin,” ujar Na-Ri sambil tertawa, “Angkat tanganmu.”

“Apa?”

“Angkat tanganmu.”

Hwa-Shin melakukannya. Na-Ri segera berusaha untuk melepaskan sweater Hwa-Shin.

“Aku tidak akan menikahimu,” kembali Hwa-Shin berucap.

Na-Ri tertawa dan berkata, “Terserah. Lepaskan ini. Ayo bantu aku.”

Sama seperti Na-Ri, karena sempit, sweater Hwa-Shin sempat nyangkut di leher. Hwa-Shin akhirnya melepaskan sweaternya sendiri. Dengan malu-malu Na-Ri langsung menutup tubuh Hwa-Shin dengan selimut. Ia pun lantas ikut masuk ke dalamnya. Keduanya saling bertatapan.

96

“Jangan gunakan sweater kerah tinggi (turtleneck). Aku juga tidak akan,” ujar Hwa-Shin.

Na-Ri mengangguk.

“Itu sulit untuk dilepaskan,” lanjut Hwa-Shin.

Na-Ri tertawa.

“Kamu menang atau aku kalah?” tanya Hwa-Shin.

“Kita seri,” jawab Na-Ri lirih.

Keduanya lantas berciuman sambil berpelukan.

“Jangan menghilang sendirian lagi,” pinta Na-ri.

Hwa-Shin menatapnya lalu lanjut menciumnya.

“Kamu harus makan ikan teri,” tambah Na-Ri.

Hwa-Shin tersenyum dan mengangguk, lantas mencium Na-Ri kembali.

“Kamu harus tidur dengan baik juga,” ucap Na-Ri lirih.

Dan Hwa-Shin menanggapinya dengan menutup wajah mereka berdua dengan selimut.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 24

Berikut ini adalah video preview episode 24 dari drakor Jealousy Incarnate. Selamat menikmati!

» Sinopsis ep 24 selengkapnya

sinopsis jealousyincarnate 23

4 Comments

  1. anisa yulia

    mksh min ,sinopsis tercepat deh kayanya!
    semoga eps 24 nya cepet kaya gini yaa hehe

  2. iyan

    Mkasih min sinopsisnya, cepat bgt. Jd tambah ngerti soalnya semalam nonton tanpa subtitle, tolong previewnya dibuatkan recapnya juga donk…. semoga happy ending…. semangat ya min tuk episode 24 ntar malam……

  3. sisiliapri

    manaaa niiih episode 24 nyaa… im waitiiing… hehehe… nggak sabar niih min… ayo dong diposting… fighting yaa!!! aku tunggu!! 🙂 🙂 🙂

Leave a Reply