“Individualist Ms. Ji-Young” adalah mini drama 2 episode yang tayang pada tanggal 8 dan 9 Mei 2017 lalu di stasin TV KBS2. Drama romantis ini dibintangi oleh Min Hyo-Rin, pemeran Goo Hae-Ra dalam “Persevere, Goo Hae-Ra” (Mnet, 2015), dan Gong Myung, pemeran Gong Myung dalam “Drinking Solo” (tvN, 2016). Ceritanya berkisar tentang hubungan antara Na Ji-Young dengan Park Byeok-Soo, dua orang yang sama-sama memiliki masa lalu keluarga yang menyakitkan, namun tumbuh dewasa dengan kepribadian yang bertolak belakang. Simak sinopsis di bawah ini untuk cerita selengkapnya, ya 🙂
Sinopsis Individualist Ms. Ji-Young Episode 1
Hari sudah larut malam. Na Ji-Young (Min Hyo-Rin) gelisah karena belum juga bisa tertidur. Tiba-tiba suara bel berbunyi. Saat diintip, terlihat Park Byeok-Soo (Gong Myung), tetangga sebelah apartemennya, meminta untuk dibukakan pintu. Alih-alih melakukannya, Ji-Young menggunakan intercom untuk berkomunikasi dengannya dan menyankan keperluannya. Begitu tahu Byeok-Soo henak ‘meminjam’ password WiFi kamarnya untuk mengakses internet, tanpa basa-basi Ji-Young menutup sambungan intercomnya dan kembali ke tempat tidur.
Hari berganti. Dalam sesi konsultasinya dengan Jung Soo-Kyung (Oh Na-Ra), psikolognya, Ji-Young merasa kesal karena Soo-Kyung bersikap acuh terhadapnya dan tidak mau memberikan resep untuk mengobati perutnya yang sakit akibat stress. Soo-Kyung berdalih bahwa toh Ji-Young juga tidak mau menuruti nasihatnya. Ia baru akan memberikan resep pada Ji-Young apabila ia mau menulis jurnal seperti yang sebelumnya sudah ia perintahkan.
“Mulai dari momen yang paling membahagiakan sampai yang terburuk. Semuanya,” tegas Soo-Kyung.
Ji-Young sendiri adalah orang yang individualis. Baginya kondisi sebuah hubungan yang baik adalah apabila ia tidak mengganggu orang lain dan sebaliknya, orang lain tidak mengganggunya. Ia merasa bahagia hidup menyendiri tanpa bantuan orang lain. Itu sebabnya juga ia tidak pernah mempedulikan keberadaan Byeok-Soo, yang setiap berpapasan dengannya selalu menyapanya dengan ramah.
Suatu hari, seorang kurir mendatangi Ji-Young yang baru saja beranjak keluar dari kamar apartemennya. Ia ternyata menitipkan sebuah paket bagi Byeok-Soo yang ada di kamar sebelah karena Byeok-Soo sedang tidak ada di tempat dan ia sudah berpesan agar kurir tersebut menitipkannya ke tetangga sebelah kamarnya. Bukannya menyimpannya, dengan cuek Ji-Young malah meninggalkan begitu saja paket tersebut di depan pintu kamar Byeok-Soo.
Malam harinya, sepulang dari kantor dan kebetulan bertemu dengan Ji-Young, Byeok-Soo menyodorkan sekotak jeruk untuknya, sebagai tanda terima kasih karena telah menyimpankan paket miliknya. Ji-Young hanya terdiam sembari menatap depan pintu kamar Byeok-Soo, dimana paket yang sebelumya ia tinggalkan di situ sudah raib.
Paket tersebut ternyata adalah milik Ye-Jin (Jang Hee-Ryung), kekasih Byeok-Soo, yang tinggal bersamanya. Ia kesal karena barang yang ada di dalamnya penting untuknya.
“Ayo putus,” ucap Ye-Jin secara tiba-tiba.
Sementara itu, di sebuah cafe, Ji-Young sedang menemui kekasihnya, Yeon-Seok (Ji Il-Joo). Beberapa hari terakhir Ji-Young memang sengaja tidak membalas pesan Yeon-Seok serta mengangkat telpon darinya. Saat Yeon-Seok mempertanyakan sikap Ji-Young tersebut, tanpa menjawab Ji-Young pergi meninggalkannya begitu saja.
Tiba kembali di apartemen, Ji-Young sempat mendengar Byeok-Soo yang sedang merengek, berusaha menahan Ye-Jin agar tidak pergi meninggalkannya. Melihat Yeon-Seok yang hendak menyusulnya, bergegas Ji-Young masuk ke kamarnya. Sesaat kemudian, Ye-Jin keluar dengan membawa kopernya, diikuti oleh Byeok-Soo, sambil menarik koper Ye-Jin untuk mencegahnya pergi. Saat hendak menuju lift, Byeok-Soo berhasil merebut dompet Ye-Jin dan ia segera berlari kembali ke depan kamarnya. Ye-Jin yang tidak bisa pergi tanpa dompetnya terpaksa mengikutinya dan berusaha mendapatkan dompetnya kembali.
Yeon-Seok sendiri saat itu terus menggedor pintu Ji-Young, memintanya keluar dan memberi penjelasan. Ia menjadi emosi saat melihat tanaman dalam pot putih yang ia berikan pada Ji-Young beberapa waktu lalu ternyata dibiarkan tidak terurus dan mengering begitu saja di depan kamar Ji-Young. Saking emosinya, tanpa sadar ia memecahkan pot tersebut ketika berusaha membuka pintu kamar Ji-Young. Di saat itulah Ji-Young membuka sedikit pintu kamarnya.
“Apakah ini semua kesalahanku?” ujarnya dalam hati.
“Apakah semua terjadi karena aku?”
Beberapa saat kemudian kedua pasangan tersebut sudah berada di kantor polisi. Ji-Young ternyata melaporkan mereka — Byeok-Soo karena mengganggu ketertiban umum, serta Yeon-Seok karena merusak properti miliknya. Polisi yang menangani laporan tersebut meminta Ji-Young untuk menyelesaikan urusan tersebut dengan damai dan membayar denda saja, tapi Ji-Young menolak mentah-mentah. Pada akhirnya, karena Ye-Jin mengajukan permohonan perlindungan saksi, maka polisi menahan Byeon-Seok dalam tahanan hingga esok hari. Sementara Ji-Young, sembari memegangi perutnya yang kembali terasa sakit, terus menuliskan gugatannya dalam lembar laporan yang disediakan.
“Tumbuhan itu…” tanya Yeon-Seok tiba-tiba, “bukankah aku memberikannya untuk hadiah ulang tahun pernikahan orang tuamu?”
“Aku tidak sempat memberikannya pada mereka,” jawab Ji-Young singkat.
“Lalu kenapa kau membiarkannya layu?”
“Sudah ku bilang, aku benci mengurus sesuatu.”
“Kau perlu memperbaiki kepribadianmu itu,” respon Yeon-Seok dengan nada meninggi.
“Siapa kau berani menyuruhku ini itu?” balas Ji-Young datar.
“Meski sudah berkencan 3 bulan, belum pernah aku masuk ke apartemenmu. Aku tidak tahu ulang tahunmu, dan kau tidak mengenalkanku pada teman-temanmu. Aku… apa aku ini sungguh kekasihmu? Kau mencintaiku atau merindukanku, tidak pernah kau mengatakannya.”
Ji-Young terdiam sejenak mendengar ucapan Yeon-Seok. Tangannya berhenti menulis. Ia menoleh ke kiri, ke arah Byeok-Soo yang sedang berdiri mendengarkan dialog mereka dari balik jeruji tahanan. Byeok-Soo jadi salah tingkah dan pura-pura tidak sedang menguping. Tanpa merespon pertanyaan Yeon-Seok, Ji-Young melanjutkan kembali laporannya.
“Setidaknya beri alasan padaku,” lanjut Yeon-Seok. “Kenapa putus?”
Ji-Young masih tetap tidak menjawab.
“Kalau begitu aku mau tanya,” ujar Yeon-Seok, “Saat natal, kau bilang sedang bekerja. Sebenarnya?”
“Kau pikir punya hak bertanya padaku? Kau bahkan menyabotase ponselku untuk memeriksa jadwalku,” jawab Ji-Young.
“Memang apa salahnya itu… Baiklah, aku memeriksa ponselmu untuk mengecek kau berselingkuh. Itu sebabnya sekarang aku tanya,” dalih Yeon-Seok. “Ji-Young-ssi, siapa yang bilang merindukanmu itu? Kenapa kau berbohong padaku?”
Ji-Young beranjak dari tempat duduknya, menumpuk form laporan di meja, lantas pergi begitu saja meninggalkan Yeon-Seok yang terus berteriak memanggilnya.
“Semestinya kau bersyukur,” ujar Yeon-Seok lantang, “aku mengencanimu dan bukan tidur saja denganmu. Siapa lagi yang akan menyukai orang sepertimu? Ku harap kau hidup seperti itu selamanya sampai mati! Ku doakan kau begitu!”
Keluar dari kantor polisi, Ji-Young menghentikan langkahnya. Pikirannya kembali saat beberapa waktu lalu diam-diam ia mendatangi kantor tempat Yeon-Seok bekerja untuk memberinya kejutan. Tanpa disangka, justru Ji-Young yang tanpa sengaja mencuri dengar dialog Yeon-Seok dengan rekannya, yang menyatakan bahwa di belakang Ji-Young ia berkencan dengan wanita lain karena ia lebih suka berkencan dengan wanita yang pandai bergaul, bukan yang pendiam seperti Ji-Young.
“Aku merasa mengencani gadis abnormal,” ucap Yeon-Seok pada temannya saat itu.
Hingga sekarang, Ji-Young sengaja tidak mau membahas masalah tersebut dengan Yeon-Seok. Baginya, itu semua adalah kesalahannya sendiri karena kurang berhati-hati dalam menjalin hubungan. Ia juga makin yakin bahwa hubungan sosial hanyalah sesuatu yang membuang-buang energi.
“Kemanusiaan yang bodoh,” batin Ji-Young saat duduk dalam bus yang membawanya pulang menuju apartemen. “Hari ini aku berhasil lagi melindungi diriku dari semua itu.”
—
Setelah semalaman harus tersiksa berada dalam tahanan, Byeok-Soo kembali ke apartemennya keesokan harinya, tepat di saat Ji-Young sedang meminta petugas apartemen untuk mengganti password pintu kamarnya dengan kode 12 digit. Di saat yang sama, seseorang menghubungi Ji-Young, namun begitu mendengar suaranya di ujung telpon, Ji-Young langsung menutup kembali telponnya.
“Tidak perlu repot-repot minta maaf. Itu tidak akan membuatku merasa baikan,” ujar Byeok-Soo saat tiba di belakang Ji-Young.
“Bisa kau menyingkir dari hadapanku?” respon Ji-Young ketus sembari menutup pintu kamarnya dan melangkah pergi meninggalkan Byeok-Soo.
Saat hendak masuk ke kamarnya, Byeok-Soo melihat tanaman yang sebelumnya ditelantarkan oleh Ji-Young. Ia pun mengambilnya dan membawanya masuk. Sementara itu, di dalam lift, Ji-Young mendapat SMS dari orang yang tadi menghubunginya. Dalam SMS tersebut, orang tersebut memberitahu nomer kamar di rumah sakit serta mengatakan bahwa umur ‘orang tersebut’ mungkin tidak akan lama lagi. Dengan dingin Ji-Young membacanya lalu memblok nomer telpon orang tersebut.
—
Di kantor, Byeok-Soo galau karena Ye-Jin telah memblokir akses Byeok-Soo ke akun Instagram miliknya. Ia pun mencoba meminjam akun temannya, asisten manajer Choi (Kang Jae-Joon), untuk mengintip isi akun Instagram Ye-Jin. Saat Choi melihat isi akun Instagram Ye-Jin, bukannya menunjukkan pada Byeok-Soo, ia justru kabur dengan berpura-pura sakit perut. Tak lama, satu demi satu rekan kerja Byeok-Soo mendatanginya dan meminta Byeok-Soo untuk mengerjakan tugas mereka. Meski terlihat tidak nyaman, Byeok-Soo tetap tersenyum dan mengiyakan permintaan mereka.
Seorang pegawai kantor datang, meminta laporan pajak tahunan Byeok-Soo. Saat menerimanya, pegawai tersebut mengkonfirmasi apakah Byeok-Soo sudah mencetaknya dengan benar. Paham maksud pertanyaan pegawai tersebut, Byeok-Soo mengatakan bahwa orang tuanya memang sudah bercerai dan benar hanya ada nama ibunya dalam laporan tersebut. Namun saat ditanyakan kembali mengenai laporan pajak bulanan Byeok-Soo, ia ternyata belum membuatnya dan berjanji akan menyerahkannya hari Senin mendatang.
Hal tersebut membuat Byeok-Soo kemudian teringat dengan keluarganya. Apalagi saat melihat foto keluarga rekan sebelah mejanya. Ia pun menghubungi satu persatu anggota keluarganya, namun tidak ada satu pun yang menghiraukannya. Meski menerima telpon Byeok-Soo, tapi semuanya mengaku sedang sibuk.
Byeok-Soo lantas berdiri dari kursinya dan menanyakan pada rekan-rekannya apakah ada yang mau menemaninya minum-minum sepulang kerja nanti. Tidak ada satu pun dari mereka yang menanggapi. Tiba-tiba ada yang menyebarkan berita melalui messenger bahwa Byeok-Soo baru saja putus. Mengetahui hal tersebut, meski tidak menyukai Byeok-Soo, satu demi satu teman-teman Byeok-Soo lantas mengiyakan ajakan minum-minum darinya, asal dilakukan di tempat yang mahal. Dengan sedikit canggung karena juga melihat percakapan di messenger tersebut, Byeok-Soo berpura-pura senang dengan respon teman-temannya itu. Namun belum apa-apa hatinya berlanjut galau, gara-gara Ye-Jin menerima kembali pertemanan mereka di Instagram, dan foto yang pertama muncul adalah foto Ye-Jin dengan pria lain.
Di rumah sakit tempat Ji-Young bekerja, dua orang rekan kerjanya, suster Park (Kim Jae-Hwa) dan suster Kim (Yoon Ji-Won), tiba-tiba mendatangi Ji-Young, mengajaknya minum bir saat pulang kerja. Ji-Young menolak.
“Itu menjengkelkan,” jawab Ji-Young dingin, “Jangan mengusikku, pergi saja sendiri.”
“Aku tahu kamu lelah,” balas suster Park, “tapi sampai mengatai kami menjengkelkan?”
“Aku tidak mau bertukar jadwal,” tegas Ji-Young.
Tahu niat utama mereka sudah ketahuan, suster Park coba merayu Ji-Young, beralasan bahwa putrinya sudah meminta pada Santa Claus agar bisa pergi bersama orang tuanya ke taman hiburan di hari Natal nanti. Ia tidak tega untuk mengabaikan keinginan putrinya itu.
“Santa itu tidak benar-benar ada, beritahu anakmu soal itu” respon Ji-Young sembari masuk ke dalam lift, meninggalkan suster Park dan suster Kim yang hanya bisa terdiam.
Dalam perjalanannya pulang, di atas kereta, Ji-Young menghapus foto-foto kebersamaan dirinya dengan Yeon-Seok. Sementara itu, di sebuah bar, Byeok-Soo hendak melakukan hal yang sama, menghapus foto-foto dirinya dengan Ye-Jin. Namun pada akhirnya ia tidak mampu untuk melakukannya.
“Mr. Choi, bagaimana kalau aku merindukan dia? Setidaknya aku hanya bisa memandangi fotonya,” ujar Byeok-Soo pada Choi yang duduk di sebelahnya.
Sepanjang malam Byeok-Soo terus menerus curhat pada Choi, yang tidak terlalu menghiraukannya. Pun begitu dengan teman-teman Byeok-Soo lain yang ia traktir, hingga akhirnya satu demi satu dari mereka pergi meninggalkan Byeok-Soo bersama dengan tagihan mereka dengan total 409000 won (sekitar Rp 4.85 juta).
Melewati sebuah bioskop, Byeok-Soo memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton film di sana. Masalahnya, film yang ia tonton adalah film romantis dan hamir semua pengunjung yang datang berpasangan. Film berakhir, bukannya makin tenang, hatinya bertambah galau. Saat itulah ia melihat poster film horror yang akan tayang berikutnya saat tengah malam. Setelah membeli tiket, Byeok-Soo melakukan pencitraan dengan berfoto di depan poster film tersebut dan mempostingnya ke media sosial dengan status seolah-olah ia sedang menonton bersama seorang wanita.
Tak lama pintu studio dibuka. Byeok-Soo ragu hendak masuk atau tidak, mengingat hanya ia sendiri yang menonton film horror tersebut. Sesaat kemudian, tanpa disangka, Ji-Young masuk ke dalam bioskop. Byeok-Soo segera mencegatnya dan memohon untuk di-Like statusnya oleh Ji-Young. Ji-Young menolak dengan tegas dan lanjut menuju counter untuk memesan tiket. Begitu tahu Byeok-Soo juga menonton film tersebut, Ji-Young berniat untuk mengembalikan tiketnya. Namun karena film sudah mau dimulai dan tiket tidak bisa dikembalikan lagi, Ji-Young pun terpaksa masuk ke dalam studio, diikuti oleh Byeok-Soo dengan tersenyum-senyum.
Di dalam studio, Ji-Young berulang kali menghindar dari Byeok-Soo yang terus berpindah tempat duduk di sampingnya. Karena kesal, akhirnya ia mengalah dan membiarkan Byeok-Soo berada di sebelahnya. Namun saat tahu Byeok-Soo tidak sengaja meminum cola-nya dan ditambah Byeok-Soo yang penakut reflek menarik lengannya untuk bersembunyi saat muncul adegan seram di layar, Ji-Young tidak tahan lagi dan memilih untuk pergi meninggalkannya. Mengetahuinya, Byeok-Soo segera ikut keluar menyusul Ji-Young.
“Malam hari itu menyeramkan,” ujar Byeok-Soo pada Ji-Young yang terus melangkahkan kakinya, “Ayo kita jalan bersama. Kenapa kau jalan sendirian, sih?”
Ji-Young tidak menghiraukannya.
“Hei, tidak baik jalan sendiri di tengah malam begini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?” lanjut Byeok-Soo.
Ji-Young tetap tidak menghiraukan Byeok-Soo.
Setibanya di apartemen, Ji-Young bergegas masuk ke dalam lift, berniat untuk naik ke atas terlebih dahulu dan meninggalkan Byeok-Soo. Byeok-Soo mempercepat langkahnya dan berhasil ikut masuk ke dalam lift. Saat ada tetangga mereka hendak masuk ke lift, Ji-Young buru-buru menekan tombol Close untuk menutup pintunya, sementara Byeok-Soo berusaha membukakan pintu agar tetangga mereka bisa masuk dengan menekan tombol Open. Si tetangga pun hanya bisa melongo melihat ulah mereka yang membuat pintu lift terbuka dan tertutup bergantian.
“Bo..boleh aku masuk?” tanyanya saat akhirnya pintu benar-benar terbuka.
“Tentu, silahkan, silahkan,” jawab Byeok-Soo.
Di dalam lift, Byeok-Soo tiba-tiba teringat rasa lipstik di sedotan cola Ji-Young yang tadi ia minum.
“Tunggu, kalau begitu, tadi kita ciuman tidak langsung?” tanya Byeok-Soo terbata-bata. “Itukah sebabnya kau marah padaku?”
Ji-Young menatap dengan wajah jutek, sementara tetangga mereka yang berdiri di belakang hanya bisa menahan tawa.
“Tak apa,” jawab Ji-Young, “Aku hanya perlu menganggap sedang mencium anjing. Memang kau masih ABG? Ciuman tidak langsung? Omong kosong.”
“Anu, kalau kau berpikir aku tertarik padamu, sama sekali tidak,” balas Byeok-Soo tidak mau kalah, “Aku hanya takut jalan sendirian malam-malam, makanya mengajak jalan bersama.”
“Ah, iya..,” respon Ji-Young sinis sembari melangkahkan kaki keluar lift saat pintu terbuka.
“Ini lantai lima,” celetuk tetangga mereka.
Dengan keki Ji-Young pun kembali masuk ke dalam lift.
“Tapi kenapa kau nonton film sendirian? Apa kau makan sendirian juga? Semuanya sendirian?” tanya Byeok-Soo penasaran saat ia dan Ji-Young berjalan menuju kamar mereka.
“Aku bukan tipe orang yang sulit melakukan segala sesuatu sendirian,” jawab Ji-Young.
“Jangan-jangan kau korban bully saat di sekolah?”
“Kau tidak sadar betapa kasarnya dirimu? Kau berpikir bahwa semua pribadi penyendiri adalah orang-orang yang bermasalah. Aku hanya merasa manusia sepertimu menjengkelkan. Itu saja.”
“Wow, rupanya kau pintar bicara juga,” respon Byeok-Soo, “Belum pernah kau bicara sebanyak ini.”
“Dulu aku hanya tidak ingin bicara denganmu, makanya menahan diri,” balas Ji-Young.
“Kau bisa mati sendirian.”
“Kalau kau tidak mau mati sendirian, cepat menikah sana! Kalau tidak ingin mati sendirian, cepat punya anak! Dengan begitu istrimu akan mati duluan, lalu anakmu akan mengirimmu ke panti jompo. Cih, begitulah akhir dari manusia yang sepanjang hidupnya ribut tak ingin hidup sendirian. Jika begitu, bukankah lebih baik mati sendirian?”
“Siapa kau bicara soal masa depanku?”
“Begitulah realitanya. Jika kau punya uang, keberanian, dan kepercayaan diri, tidak sulit hidup sendirian tanpa perlu menjadi idiot sepertimu.
“Jauh lebih baik daripada jadi penyendiri seperti seseorang,” ujar Byeok-Soo yang mulai kesal.
“Itu namanya individualisme, tahu!”
“Ah, bangga rupanya kau.”
“Atas pujianmu itu, terima kasih, ya.”
“Lakukan, hiduplah dengan sendirian.”
“Aku memang berencana begitu kok,” balas Ji-Young.
“Kenapa kau merumitkan hidupmu sendiri, sih?”
“Oh ya, gadis kemarin itu punya banyak kekasih. Kau yang kedua? Atau ketiga?” tambah Ji-Young.
“Apa?” tanya Byeok-Soo kaget.
“Ah, aku salah, maaf ya… Tepatnya, kau yang keempat,” tutup Ji-Young sambil membuka pintu dan masuk ke kamarnya dengan penuh kemenangan.
Di dalam kamar, Ji-Young melupakan kekesalannya dalam jurnal yang ia tulis. Mendengar Byeok-Soo yang berisik di kamarnya, Ji-Young melaporkan hal tersebut ke penjaga apartemen. Tidak mau kalah, Byeok-Soo ganti melaporkan Ji-Young yang sedang mencuci piring. Malam itu akhirnya mereka lalui berdua dengan penuh kekesalan satu sama lain.
Pagi harinya, Byeok-Soo mendapati sebuah post-note di pintu kamarnya yang ternyata berasal dari Ji-Young.
Kau membenciku, kan? Aku juga membencimu kok. Aku merasa seolah membuang waktu dan energi menghadapimu, jadi aku menyesalinya. Jika kita tidak sengaja bertemu lagi, tetap jalan saja dan saling mengabaikan selamanya. Sekain.
Dengan kesal Byeok-Soo meremas kertas post-note tersebut dan melemparkannya ke depan kamar Ji-Young. Ia sempat kaget karena tiba-tiba Ji-Young keluar dari kamarnya. Setelah saling bertatapan, tanpa berbicara apa-apa Byeok-Soo berbalik badan dan pergi meninggalkan Ji-Young.
—
Soo-Kyung tertawa geli membaca jurnal Ji-Young yang kebanyakan berisi cerita kekesalannya terhadap Byeok-Soo. Di akhir sesi konsultasi, Ia ieminta agar Ji-Young melanjutkan menulis tentang Byeok-Soo karena menurutnya depresi yang dialami Ji-Young bukan benar-benar disebabkan oleh rasa individualisme yang ia miliki, mengingat Ji-Young mengaku terkadang masih merasakan rindu terhadap seseorang.
“Bagaimana bisa kau terus mengakhiri konsultasi kita begini?” tanya Ji-Young gusar.
“Aku…,” jawab Soo-Kyung, “tidak bisa merawat seseorang yang tidak jujur pada dirinya sendiri. Jika memang dokter lain bisa, kunjungi dia saja.”
Soo-Kyung lantas mengambil print-out jurnal Ji-Young lalu melemparkannya ke pangkuan Ji-Young.
“Tulislah lagi,” lanjut Soo-Kyung, “Bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri.”
Dalam perjalanan pulang, perut Ji-Young kembali terasa sakit. Bukan karena depresi, melainkan karena kebelet buang air. Di depan apartemen ternyata sudah ada Yeon-Seok menunggunya. Ia buru-buru menghindar dan bergegas untuk masuk ke kamarnya. Apes, panik membuat Ji-Young lupa akan password pintu kamarnya. Melihat Yeon-Seok yang hendak menyusul masuk bersama petugas gedung, Ji-Young tiba-tiba teringat password kamar Byeok-Soo yang sempat ia intip beberapa waktu lalu. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera masuk ke kamar Byeok-Soo dan langsung menuju kamar mandi.
Mengetahui ada orang yang diam-diam masuk ke dalam kamar mandinya, Byeok-Soo mengira yang menyusup adalah pencuri. Dengan bersenjatakan raket tenis miliknya, perlahan ia membuka pintu kamar mandi dan hendak memukul ‘pencuri’ tersebut. Ia pun kaget mendapati Ji-Young yang berada di dalam, yang juga tidak kalah kagetnya melihat Byeok-Soo membuka pintu kamar mandi.
“Aku pinjam toiletmu,” ujar Ji-Young sembari menutup kembali pintu kamar mandi. “Kenapa kau mau buka pintunya?”
“Ah, tidak, aku tidak tahu. Maafkan aku,” jawab Byeok-Soo. “Tapi ini tidak benar. Kenapa juga kau memakai toiletku? Kenapa?”
“Aku tidak bisa mengingat password pintuku,” balas Ji-Young terbata-bata.
Byeok-Soo kesal mendengar jawaban Ji-Young. Ia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Hei, jangan-jangan di pakaianmu…” tanya Byeok-Soo tanpa melanjutkan kalimatnya.
“Tidak kok,” jawab Ji-Young malu.
“Mau aku laporkan kau karena menerobos masuk?” tanya Byeok-Soo lagi sembari menahan tawa.
“Dasar, kau jahat sekali.”
“Ah, lihat yang bicara. Kau sudah melanggar hukum. Kau tahu?”
Ji-Young tidak bisa membalas kata-kata Byeok-Soo. Byeok-Soo lantas menawarkan diri untuk mengambil pakaian ganti untuk Ji-Young di kamarnya. Ji-Young sempat menolak, tapi sadar tidak ada pilihan lain, ia akhirnya menyetujui, sambil berpesan agar Byeok-Soo tidak menyentuh barang-barang miliknya.
Tentu saja Byeok-Soo tidak mengindahkannya. Setelah kepo terhadap isi kulkas Ji-Young yang hampir tidak ada apa-apanya, Byeok-Soo juga membuka-buka laci lemari Ji-Young dan menemukan sebuah ponsel dengan wallpaper berupa foto Ji-Young yang sedang tersenyum sembari menggendong seekor kucing. Saat hendak kembali ke kamarnya, tanpa sengaja Byeok-Soo menyenggol gelas berisi air sehingga membasahi selembar kertas akte keluarga. Dengan segera ia mengambil kertas tersebut untuk mengeringkannya kembali. Melihat yang tertulis dalam akte tersebut membuat Byeok-Soo lantas terdiam. Kedua orang tua Ji-Young ternyata sudah bercerai, sama seperti orang tuanya.
Sementara itu, penasaran karena Byeok-Soo tidak kunjung kembali, Ji-Young keluar dari kamar mandi dan melihat-lihat foto kebersamaan Byeok-Soo dengan teman-temannya yang dipajang di dinding. Sesaat kemudian Byeok-Soo datang. Setelah berganti pakaian, Ji-Young keluar dari kamar mandi dan berniat untuk langsung pulang ke kamarnya. Saat itulah ia melihat tanaman miliknya yang ternyata sudah kembali segar karena dirawat oleh Byeok-Soo.
“Belum sepenuhnya mati, lho. Mau kau bawa pulang?” tawar Byeok-Soo.
“Tidak. Aku tidak membutuhkannya,” jawab Ji-Young.
“Hei, kenapa kau arogan sekali sih? Kau tidak merasa malu? Kau tidak ingat soal paket itu?”
“Memang kenapa?” potong Ji-Young ketus sembari melangkahkan kakinya keluar.
“Kodemu 1234”, ujar Byeok-Soo, “Nanti gantilah sendiri.”
Dengan kesal Ji-Young melanjutkan langkahnya. Di kamar, ia hanya bisa terus meratapi apa yang sudah terjadi, sementara Byeok-Soo sebaliknya, membersihkan kamar mandi sambil tersenyum senang.
—
Byeok-Soo datang menemui ibunya. Di dinding terlihat sebuah foto keluarga, namun hanya ada kedua orang tua Byeok-Soo dan adik perempuannya di sana. Sebelum pulang, ibu Byeok-Soo mengajaknya untuk besok ikut serta pergi piknik bersama mereka. Dengan senang hati Byeok-Soo mengiyakan.
Di tempat lain, Ji-Young mendatangi sebuah agen real estate dan meminta untuk dicarikan apartemen yang baru. Namun saat tahu Byeok-Soo ternyata berencana untuk pindah, Ji-Young pun membatalkan niatnya. Tanpa diduga, keduanya malah bertemu di sebuah supermarket.
“Kau tidak akan menghabiskan esok hari sendirian, kan?” tanya Byeok-Soo sembari mendorong trolinya. “Kalau sendirian, aku bisa.. Ah benar, aku tidak akan ada di rumah. Aku akan pergi bersama… keluargaku.”
Sadar kata-katanya menyinggung perasaan Ji-Young, Byeok-Soo reflek melirihkan ucapannya. Dengan wajah kesal Ji-Young berbalik dan menatap wajah Byeok-Soo.
“Hei! Sudah ku bilang jangan menyentuh barang-barangku,” ucap Ji-Young.
“Oh.. itu.. aku tidak sengaja kok. Itu semua salahmu. Orang tuaku bercerai juga kok, akta keluargaku mirip punyamu,” respon Byeok-Soo. “Itu sebabnya aku…”
“Lalu? Apakah kesedihan orang lain merupakan hiburan buatmu?”
“Bukan begitu. Hanya saja ada kesamaan antara kita. Oh ya, kau punya kucing juga, kan? Aku punya Yang Soon…”
Byeok-Soo tidak melanjutkan kata-katanya, sadar bahwa ia barusan keceplosan membuka aib sudah lancang melihat barang milik Ji-Young.
Raut wajah Ji-Young semakin bertambah kesal.
“Ah, itu…” dalih Byeok-Soo, “Aku membuka lacimu dan tidak sengaja… Kita serupa juga akan hal itu.”
“Aku tidak peduli meski orang tuamu bercerai ataupun meninggal dalam kecelakaan sekalipun.”
“Tapi kenapa kau bohong pada kekasihmu?”
“Karena tidak ada untungnya memberitahukan kelemahan diri pada orang asing. Ya, kecuali kau bodoh.”
“Kekasihmu kau anggap orang asing?”
“Bahkan pasangan yang sudah menikah menjadi orang asing setelah mereka bercerai. Seperti orang tuamu itu.”
“Kenapa kau mengatakan hal yang menyakitkan begitu sih? Memang apa sebenarnya salahku padamu? Aku hanya ingin bicara padamu…” respon Byeok-Soo sambil maju selangkah ke arah Ji-Young.
Reflek, Ji-Young mundur ke belakang.
“Saat melihat seorang pembunuh siaga dengan pisaunya,” ujar Ji-Young, “mana bisa aku diam begitu saja? Jika tidak ku tusuk duluan, aku yang akan mati.”
“Sudah ku bilang hentikan, tapi kau terus menyakitiku. Selama kau selamat, kau tidak peduli meski orang lain terluka. Begitu?” balas Byeok-Soo.
Alih-alih merespon, Ji-Young mengambil dompetnya dan menyerahkan sejumlah uang pada Byeok-Soo.
“Ini kompensasi untuk kemarin,” kata Ji-Young, “Mari kita akhiri sampai di sini. Akhiri di sini.”
“Lupakan saja,” jawab Byeok-Soo sambil mendorong trolinya pergi.
—
Byeok-Soo sedang melihat-lihat pigura saat ibunya menelpon. Ia terkejut begitu mendengar ibunya mengatakan bahwa sebaiknya besok Byeok-Soo tidak usah ikut saja karena adiknya, Yun Hee, merasa tidak nyaman dengan keberadaannya. Dengan masih mencoba tersenyum, Byeok-Soo mengiyakan. Namun saat hendak menutup telpon, Byeok-Soo sempat mendengar percakapan ibunya dengan Yun Hee dimana alasan sesungguhnya Yun Hee tidak mau Byeok-Soo ikut adalah karena mereka bukan saudara kandung.
—
Karena batal piknik, Byeok-Soo menghabiskan hari natal dengan melihat-lihat video di internet dan ngemil. Ia mencoba chatting dengan teman-temannya, namun tidak ada satu pun yang membalas meski mereka me-read pesan Byeok-Soo. Tiba-tiba salah satu temannya menghubunginya, Suk Joon. Dengan girang Byeok-Soo menerima panggilan tersebut, mengira Suk Joon menelpon karena perhatian terhadapnya. Ternyata tidak, tujuan Suk Joon hanyalah minta tolong agar Byeok-Soo mau menggantikannya bekerja.
Sementara itu, jari Ji-Young tanpa sengaja terluka saat hendak menggerendel gembok pintunya. Karena kesal, ia jadi lupa untuk menguncinya. Setelah menyalakan radio, ia pun perlahan menuju tempat tidur.
“Perjalanan keluarga?” ujarnya pada diri sendiri sambil menguping kamar Byeok-Soo yang tidak terdengar tanda-tanda kehidupan. “Dia pasti sangat bahagia.”
Ji-Young lantas meminum obatnya, memasang earphone di telinganya, dan mulai terlelap.
Di kamarnya, Byeok-Soo sudah mulai bisa move on dari Ye-Jin. Dengan penuh emosi ia merobek foto-foto mereka serta menghapus galeri foto yang ada di ponselnya. Ia bahkan menelpon Suk Joon dan menegaskan bahwa ia menolak untuk membantunya karena tahu Suk Joon hanya memanfaatkannya saja.
Akibat pengaruh obat, Ji-Young berhalusinasi dan membayangkan melihat ada seekor kucing di tempat tidurnya. Tangannya menggapai kucing tersebut tapi ia kemudian terlelap kembali dan tanpa sengaja tangannya terjatuh tepat di atas remote radio yang ada di sampingnya. Volume musik yang sedang diputar semakin lama menjadi semakin keras.
Byeok-Soo yang mendengarnya lama kelamaan jadi khawatir dan menggedor-gedor pintu kamar Ji-Young untuk menanyakan perihal musik tersebut. Tidak kunjung dibukakan, ia sempat hendak kembali begitu saja ke kamarnya. Namun karena kepikiran jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Ji-Young, Byeok-Soo mencoba masuk dengan menggunakan kode password 1234 yang ia set sebelumnya, dan ternyata Ji-Young belum mengubahnya. Terlebih gerendel pintu Ji-Young juga sebelumnya lupa untuk dikunci.
Dalam keadaan setengah sadar, Ji-Young teringat kembali masa lalunya. Dulu, kedua orang tuanya tidak pernah mempedulikannya. Bahkan saat mereka bercerai, tidak ada satu pun yang mau mengurus Ji-Young. Ji-Young pun memutuskan untuk hidup mandiri dan menutup diri sejak saat itu. Satu-satunya teman adalah seekor kucing liar yang kemudian ia pelihara.
Saat itu, Byeok-Soo sudah berada di samping tempat tidur Ji-Young. Dengan panik, ia berusaha membangunkan Ji-Young sembari menghubungi emergency line. Bersamaan dengan hilangnya bayangan kucing dari halusinasi Ji-Young, mata Ji-Young terbuka.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanyanya pada Byeok-Soo, “Sekarang Natal.”
Byeok-Soo lega mengetahui Ji-Young tidak apa-apa. Ia segera membantu Ji-Young untuk duduk.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Byeok-Soo. “Kau sendiri sedang apa di sini? Natal begini…”
“Piknik keluarga…”, respon Ji-Young, “Kau tidak ikut?”
“Piknik keluarga saat natal? Lupakan. Aku tidak tahan lagi.”
“Tetap saja, lebih baik daripada sendirian, kan?”
“Tapi, kenapa kau tidak mengubah passwordmu atau mengunci manual, sih? Kau bukan orang seperti itu,” jawab Byeok-Soo, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa aku membuat hidupku begitu rumit? Kenapa tidak menyederhanakannya saja? Aku ingin tahu.”
“Kenapa kau begitu membenciku?” tanya Byeok-Soo.
“Bukan hanya kau yang ku benci,” jawab Ji-Young, “Aku membenci semua orang. Mereka pun membenciku juga. Maaf aku membencimu padahal kau baik padaku. Tapi aku akan tetap begitu.”
“Aku juga tidak menyukaimu, tahu?”
“Tapi kenapa kau ke sini?” tanya Ji-Young.
“Aku menonton berita dan jalanan dipadati orang-orang. Dunia ini dipenuhi oleh manusia, tapi tak ada seorang pun yang mau menemaniku. Menyedihkan sekali. Ada banyak nomer telpon di ponselku, dan banyak pengikut di SNS, tapi…”
“Kenapa? Bukankah orang sepertimu punya banyak teman?”
“Aku berusaha seumur hidup agar tidak sendirian. Lalu, kenapa kau tetap sendiri di hari seperti ini?”
“Bukankah orang-orang menyukai sosok sepertimu? Bukankah kau dilimpahi dengan kasih sayang?”
“Bagi sebagian orang cinta adalah anugerah,” jawab Byeok-Soo, “Tapi aku tidak begitu. Orang-orang tidak akan memberi cinta hanya karena kita berusaha keras disukai. Mereka hanya memanfaatkanku karena aku gampangan. Itu saja.”
“Tetap saja, keluargamu pasti mencintaimu,” respon Ji-Young.
Byeok-Soo terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku bukan anak kandung mereka. Aku anak adopsi. Mereka tidak menunjukkannya, tapi tetap terjadi diskriminasi. Hal itu sangat menyakitkan. Tapi aku tidak punya hak untuk marah.”
“Kenapa kau tidak tanya mereka? Marah saja! Kenapa tidak tanya alasan kau diperlakukan begitu?”
“Karena aku tidak ingin dibuang untuk kedua kalinya. Sebelum mereka, aku diadopsi keluarga lain.”
“Itu semua bukan kesalahanmu. Mereka yang membuangmu itu orang-orang jahat.”
“Aku tidak pernah melakukan kesalahan pada mereka. Tidak melukai mereka.”
“Hanya karena kau tidak melukai mereka, bukan berarti kau tidak akan dilukai juga. Apa kau bodoh?”
“A-a-aku bodoh? Tidak! Kenapa kau tertarik sekali soal kehidupanku? Katamu kau individualis.”
“Benar. Kenapa juga kau cerita soal hidupmu padaku.”
“Terus bagaimana? Masa kita bicara soal pekerjaan?”
“Menyerah sajalah sepertiku. Jangan percaya pada siapa-siapa,” saran Ji-Young.
“Aku sungguh ingin mengetahui sesuatu,” ujar Byeok-Soo, “Bagaimana jika aku menyerah? Jika aku tidak berharap, tak akan kesepian?”
Ji-Young tidak menjawabnya. Ia malah memperhatikan Byeok-Soo yang sejak beberapa waktu sudah duduk di lantai.
“Ah, iya,” lanjut Byeok-Soo, “Selamat ulang tahun! Aku mengetahui ulang tahunmu dari akte itu.”
“Kau ingin duduk sini?” tanya Ji-Young tiba-tiba.
“Apa?” respon Byeok-Soo kaget, “Aku mau pergi saja. Lagipula, kasurnya single. Sempit.”
“Tidak terlalu sempit kalau untuk berdua,” balas Ji-Young.
“Apa?” tanya Byeok-Soo lagi sembari berdiri, kaget untuk kedua kalinya. “Ka-kau serius?”
“Aku serius,” jawab Ji-Young.
Bersambung ke sinopsis episode 2…
Leave a Reply