Sama seperti serial TV “11.22.63”, jika tidak mengalami insomnia selama bulan puasa tahun ini, saya juga tidak bakalan nemu serial TV “The 100” yang lebih tinggi lagi level ke-keren-annya ketimbang yang disebutkan pertama tadi. Ditambah, ceritanya berhubungan dengan ‘survival on earth’, salah satu tema film favorit saya sejak pertama kali nonton reality show “Survivor” bertahun-tahun lalu (di Indosiar ya kalo gak salah) yang disusul dengan TV series yang tidak kalah fenomenalnya, “Lost” (2004-2010), yang pada akhirnya flop karena terlalu sibuk menjejalkan misteri demi misteri sehingga membuat penggemarnya jenuh dengan banyaknya pertanyaan yang tidak terjawab.
Untungnya, tidak demikian dengan “The 100”. Hingga menyelesaikan musim ketiganya tanggal 19 Mei 2016 lalu, serial ini tetap mampu berpegang teguh pada inti permasalahan yang ada. Tentang bagaimana mereka harus bertahan hidup, tentang pilihan moral yang terkadang harus diambil (beserta konsekuensinya di kemudian hari), serta tentang hubungan antar individu dan perkembangan / perubahan (khususnya dari sisi psikologis) dari diri individu masing-masing akibat situasi dan kondisi yang ada. Soal pilihan moral, penggemar “Breaking Bad” maupun “Game of Thrones” pasti sudah paham betul, tindakan sekecil apa pun, atau pilihan seringan apa pun, pasti ada efeknya di kemudian hari. Sedang soal perubahan psikologi dan sikap akibat pengaruh lingkungan, ada “The Walking Dead” yang fasih memaparkannya.
Artinya? “The 100” punya semua elemen pilar yang membuat sebuah tontonan enak untuk ditonton. Belum lagi adanya unsur space / future sci-fi, pertarungan fisik, adu strategi antar dua pihak, dan tentu saja, percintaan. Tapi untuk soal terakhir perlu diinfokan dulu kayaknya, kalo serial ini secara tidak langsung mendukung kampanye LGBT. Lha tokoh utamanya saja ternyata bisexual (di dalam cerita ini).
Latar belakang cerita dari “The 100” sendiri adalah tentang seratus orang remaja (yang merupakan tahanan) yang dikirimkan ke bumi setelah selama ini tinggal di sebuah stasiun luar angkasa, akibat adanya ledakan bom nuklir yang mengakibatkan bumi terkontaminasi oleh radiasi pada 97 tahun lalu. Pengiriman tersebut bukan tanpa alasan karena setelah bertahan sekian lama, sumber daya oksigen di stasiun tersebut mulai menipis. Sehingga untuk mengurangi jatah pemakaiannya, serta untuk mengetahui apakah bumi sudah layak untuk dihuni kembali, diambillah keputusan pengiriman tersebut.
Dua tiga orang dengan visi misi berbeda saja sudah bisa bikin rusuh. Bayangkan dengan seratus orang, yang sebagian pernah melanggar hukum, harus bekerja sama untuk bisa bertahan hidup di bumi, yang meski sudah aman untuk dihuni, ternyata tidak ‘sesunyi’ yang mereka kira. Seru, kan?
[wp_ad_camp_1]
Berikut sinopsis singkat dari masing-masing season “The 100” yang telah (dan akan) tayang.
Sinopsis Season 1
Fokus cerita dari season pertama adalah mengenai kondisi stasiun luar angkasa, keputusan mengenai pengiriman para remaja ke bumi (dan konsukuensinya bagi para pengambil keputusan tersebut), serta mengenai kondisi di bumi sendiri. Selain harus beradaptasi dengan kehidupan dan situasi di bumi, kelompok 100 juga bakal menghadapi tantangan dari kelompok Grounder, semacam suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan, serta Reapers, kelompok brutal yang hobi memakan sesama. Mampukah mereka?
Sinopsis Season 2
Season kedua memperkenalkan kelompok baru bernama “Mountain Men”, penduduk bumi yang berhasil selamat dari ledakan dan radiasi bom nuklir karena bersembunyi di dalam bunker yang ada di Mount Weather. Sebagian dari kelompok 100 yang tersisa kini berada di tangan “Mountain Men”, dengan iming-iming kehidupan layak dan nyaman di dalam bunker, tanpa mereka sadari adanya agenda tersembunyi dari kelompok tersebut.
Beberapa suku Grounder mulai diperkenalkan. Seperti “tree people” dan “ice nation”. Belakangan diketahui bahwa Reaper ternyata “ciptaan” dari para ilmuwan medis gila di Mount Weather. Dengan banyak anggota Grounder yang telah diubah menjadi Reaper oleh mereka, kelompok 100 dan Grounder akhirnya punya satu misi yang sama. Mungkinkah keduanya berkolaborasi dan mengalahkan “Mountain Men”?
Sinopsis Season 3
Ada dua cerita utama di season ketiga. Yang pertama mengenai perebutan puncak pimpinan tertinggi di antara suku-suku Grounder. Pihak Ice Nation yang bernafsu untuk mendapatkan tahta tersebut menimbulkan konflik yang cukup pelik. Cerita kedua adalah tentang A.L.I.E, sistem AI yang ternyata merupakan biang kerok ledakan nuklir di bumi berpuluh-puluh tahun lalu itu. Meski merupakan robot digital, A.L.I.E mampu ‘mempengaruhi’ orang-orang untuk menjadi pengikutnya dengan cara memakan semacam tablet yang ia sebut “the key”. Siapa saja yang menelan tablet tersebut akan bisa melihat penampakan A.L.I.E, sekaligus mengikuti segala perintahnya.
Untungnya, tidak seperti serial “Once Upon A Time” yang di beberapa musim terakhirnya juga menggunakan konsep dobel-main-plot yang sama tapi terasa kasar saat penggabungan / peralihan kedua plot, kedua cerita di season tiga “The 100” di satu titik mampu melebur menjadi satu tanpa membuat kening berkernyit.
Serial TV “The 100” masih akan berlanjut ke season empat yang bakal tayang tahun depan. Di akhir season ketiga sudah ada bocoran cerita lanjutannya, tentang reaktor-reaktor nuklir yang dalam waktu dekat akan meledak dan membuat bumi kembali terkontaminasi. Di satu sisi cukup senang karena cerita utama bakal back to basic mengenai bertahan hidup, tapi di sisi lain agak khawatir karena takutnya akan ada banyak bagian yang deja vu sehingga menjadi membosankan. Yah, jadi kebayang rasanya nonton “Falling Skies”, yang tiap season gitu-gitu aja naskahnya…
Sinopsis Season 4
Skikru dan para grounders dikejar waktu dengan ancaman reaktor nuklir yang mulai bocor dan akan segera meledak dalam waktu 2 bulan. Black rain (hujan asam) pun sudah beberapa kali terjadi. Kondisi ini membuat semua pihak mau tidak mau harus bekerjasama untuk mencari solusi agar mereka semua tetap dapat bertahan hidup. Walau faktanya, ego masing-masing membuat hal tersebut sulit terlaksana. Lantas kaum manakah yang pada akhirnya bisa bertahan?
Saya senang sekali dengan konsep survival yang kembali kental di season 4 ini. Yang suka ketegangan ala serial “24” bakal dibawa gemes di setiap episode The 100 di musim ini. Saat solusi sudah ada di depan mata, ada saja kendala yang muncul. Masalah pengambilan keputusan dan konsekuensinya — yang merupakan salah satu fundamental serial ini — juga sangat terasa. Intinya, siapapun tim di belakang The 100, mereka berhasil mengembalikan serial ini ke jalur yang benar. Two thumbs up!
UPDATE: Pada bulan Maret 2017 lalu, CW sudah memastikan bahwa The 100 bakal berlanjut ke Season 5. Pun begitu, belum ada bocoran mengenai alur cerita di musim mendatang.
Oh ya, sebagai penutup, bagi yang gemar membaca dan rajin menabung, serial “The 100” ini diadaptasi secara bebas dari seri buku berjudul sama, karangan Kass Morgan. Hingga saat ini sudah terpublikasikan tiga bagian (The 100, The 100: Day 21, dan The 100: Homecoming, dapat dilihat di samping penampakannya). Akhir tahun ini rencananya bagian keempat, The 100: Rebellion, akan dirilis. Silahkan dicari di toko buku (atau cabang Amazon) terdekat jika tertarik untuk membacanya. Jika dilihat sekilas dari infonya di entri Wikipedia ini, ceritanya sih lumayan jauh berbeda. Saya skip deh, daripada ntar malah bingung pas nonton kelanjutan episodenya, hehehe.
Leave a Reply