Review Film Rumah Gurita (2014)

Hitmaker Studios yang didirikan oleh Rocky Soraya di tahun 2012 silam merupakan salah satu rumah produksi lokal yang berfokus pada film-film bergenre horor. Setidaknya dari 12 judul yang sudah dirilis hingga sekarang, hanya “Sunshine Becomes You” yang bergenre non horor. Apakah itu lantas membuat karya-karya mereka auto layak untuk ditonton? Sebagian yang sudah saya tonton sih iya. Meski masalah cerita acap jadi kendala, tapi secara keseluruhan film-film mereka masih bisa dinikmati. Itulah yang kemudian bikin saya penasaran untuk menonton film berikut ini, “Rumah Gurita”. Bagus, kah?

Sinopsis Singkat

poster rumahgurita

Selina (diperankan oleh Shandy Aulia) adalah seorang gadis yang memiliki indera keenam sejak lahir. Ia bisa melihat makhluk gaib yang ada di sekitarnya. Namun hal itu justru membuatnya dijauhi oleh orang lain. Termasuk kakaknya (diperankan oleh Maria Sabta) dan suami kakaknya (diperankan oleh Kemal Pahlevi) sendiri. Dengan alasan ekonomi yang seret, mereka memaksa Selina untuk menempati rumah warisan keluarga yang ada di Bandung dan mencoba memasarkannya. Selina yang sudah tidak tahan hidup di Jakarta pun menerimanya.

Kendati demikian, kondisi tempat tinggal yang baru tersebut tidak sesuai dengan harapannya. Rumah bernomer 666 dengan patung gurita raksasa di bagian atap tersebut memberikan gangguan demi gangguan mistis pada Selina setiap malam. Tidak ingin menjual rumah yang bermasalah pada orang lain, Selina, dengan dibantu oleh Rio (diperankan oleh Boy William), tetangganya, berusaha untuk memecahkan misteri gangguan rumah tersebut.

Tanggal Rilis: 30 Oktober 2014
Durasi: 106 menit
Sutradara: Jose Poernomo
Produser: Rocky Soraya
Penulis Naskah: Riheam Junianti
Produksi: Hitmaker Studios
Pemain: Shandy Aulia, Boy William, Kemal Palevi, Maria Sabta, Iszur Muchtar

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Dengan latar cerita tahun 60-an, film “Rumah Gurita” hadir dengan tone warna yang unik. Ke-oranye-oranye-an. Lumayan menarik. Sayangnya, nuansa jadul yang ingin disampaikan sama sekali tidak terbantu dengan set dan penampilan para pemainnya. Terlihat modern dan berbeda jaman. Hanya karakter Rio yang pakaiannya agak sesuai. Walau ujung-ujungnya malah jadi aneh karena gak nyambung dengan OOTD karakter lain. Seperti datang ke pesta dengan kostum yang salah.

Tidak hanya dari segi set dan penampilan, detil adegan banyak yang terabaikan sehingga sulit untuk percaya dan masuk ke dalam cerita. Sebut saja lemari penuh pajangan yang ketika didorong Selina selalu aman namun ketika didorong Rio pajangan-pajangan tersebut langsung jatuh berantakan; Selina yang terkurung dalam ruangan berteriak pelan namun bisa terdengar oleh Rio yang rumahnya di sebelah; Selina yang niatnya ngintip Rio diam-diam dari balik jendela tapi buka kordennya lebar banget; hingga Selina yang diceritakan kehujanan semalaman dan sempat terhempas ke tanah namun esok harinya gaun PUTIHNYA masih kinclong. Belum lagi beberapa adegan terlempar yang posisi / sudut jatuh karakter sama sekali tidak sesuai dengan sudut terlemparnya.

Semua itu menggenapi naskah yang terlihat sekali terlalu malas untuk dikembangkan. Baik karakter Selina dan Rio bisa tiba-tiba punya pengetahuan mumpuni untuk menghadapi sosok penguasa rumah gurita. Padahal di awal digambarkan keduanya tidak paham sama sekali. Yang lebih lucu lagi, setelah Rio memandu Selina (yang matanya ditutup) menggambar di kanvas, ia ikut-ikutan kaget dengan hasil lukisan Selina. Lah jelas jelas terlihat di layar ia ikut menggerakkan kuas Selina kok. Mana goresan awal dan hasil akhirnya berbeda jauh lagi, hehehe.

Penulis Riheam Junianti sendiri sepertinya penggemar kisah Aladdin dan penikmat setia acara pemburu hantu. Sosok gaib penguasa rumah digambarkan sebagai jin yang bisa ditaklukkan dengan cara DIPERINTAH masuk ke dalam botol. Jangan tanya bagaimana Rio bisa tahu kalau itu adalah jin dan Selina bisa tahu cara memasukkan jin ke dalam botol. Mungkin hanya Riheam yang tahu jawabannya.

Karakter Selina juga merupakan perwakilan dari kaum pemalas zaman now yang lebih sering bermimpi ketimbang beraksi. Berjanji untuk menyelesaikan masalah gaib di rumah sebelum dijual, pada prosesnya kegiatan Selina di rumah tersebut hanya sebatas tidur dan membaca buku Alam Gaib. Properti tasbih yang ia bawa pun seolah tak ada arti. Begitu pula dengan aksi ritual lilin yang patut dipertanyakan faedahnya.

Dari segi akting, yah, saat menulis artikel ini saya masih belum melihat akting Shandy Aulia di film-film Hitmaker Studios sebelumnya, jadi tidak bisa membandingkan. Namun jika menilik karakter yang ia bawakan, sebagai sosok yang dikucilkan dan tidak punya teman, saya pribadi tidak melihatnya dalam akting yang bersangkutan. Kesan cewek sok imut malah lebih terasa.

Begitu juga dengan Boy William. Aktingnya tidak separah Shandy, tapi ia terlihat seperti tidak nyaman atau tidak lepas dalam membawakan perannya. Alhasil, adegan-adegan dimana keduanya inframe malah terlihat canggung dan cringe.

Terakhir, dari segi horor bisa dibilang tidak mengecewakan. Jump scare maupun penampakan tidak terlalu diobral. CGI yang tidak canggih canggih amat jadi tidak terlihat kejelekannya.

Penutup

“Rumah Gurita” memang punya beberapa poin plus, namun naskah bukan termasuk di antaranya. Ide cerita yang sudah basi gagal diolah menjadi sesuatu yang menarik. Kejanggalan dimana-mana. Detil yang terabaikan pun berjumlah masif. Deretan kebobrokan tersebut dilengkapi dengan akting yang sama buruknya. Hubungan antara karakter Selina dan Rio yang harusnya menjadi bumbu romantis yang menarik malah terlihat cringe dan ackward. Overall, film ini memberikan hiburan yang masih bisa diterima asal kita tidak berharap terlalu banyak. 3/10.

Catatan: rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi

rf rumahgurita

Leave a Reply