Penikmat film tanah air sepertinya semakin jeli dalam memilah mana film yang hendak mereka tonton tiap minggunya. Mungkin karena kualitas film nasional secara rata-rata belum sesuai dengan yang diharapkan. Jangankan yang jarang promosi, yang trailernya wara wiri saja seringkali jeblok dan harus turun layar dalam waktu singkat. Film “Ritual” bisa jadi bakal bernasib sama mengingat trailer resmi yang dirilis sama sekali tidak meyakinkan. Jumlah viewnya pun terbilang minim. Efeknya sudah langsung terlihat. Saat saya menonton di Transmart Rungkut XXI siang tadi, hanya ada 7 orang (selain saya) dalam satu studio. Nah loh.
Sinopsis Singkat
Tanggal Rilis: 22 Agustus 2019
Durasi: 81 menit
Sutradara: Findo Purwono HW
Produser: Ravi Pridhnani, Findo Purwono HW
Penulis Naskah: Maruska Bath
Produksi: Scream Films
Pemain: Salshabilla Adriani, Ferry Ardiansyah, Richelle Georgette Skornicki, Alzi Markers, Hedrayan, Rheina Ipeh, Agus Wibowo, Defwita Zumara
Peter (diperankan oleh Ferry Ardiansyah) dan Jenny (diperankan oleh Rheina Ipeh) pergi berlibur bersama anak perempuan mereka, Lisa (Salshabilla Adriana), dan kekasihnya, Michael (diperankan oleh Alzi Markers). Di tengah jalan, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Karena cuaca buruk dan malam yang kian menjelang, mereka akhirnya menginap di rumah Faisal (diperankan oleh Hendrayan). Mereka tidak menyadari bahwa 20 tahun yang lalu, Anna (diperankan oleh Richelle Georgette Skornicki), anak Faisal, telah meninggal dan dihidupkan kembali melalui sebuah ritual oleh seorang dukun.
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Gara-gara menonton film ini, saya jadi merasa bahwa ada banyak orang kaya di Indonesia yang tidak segan membuang-buang uangnya untuk berinvestasi pada sesuatu yang jelas-jelas tidak akan membuat modal mereka kembali. Suer, dalam perjalanan pulang saya malah mencoba berpikir dan membayangkan, kok bisa ya pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa film “Ritual” ini layak untuk ditayangkan di bioskop.
Mari kita bahas satu persatu.
Dari segi premis, seperti kekhawatiran saya sebelumnya, mirip sekali dengan film barat “Pet Sematary”. Ada anak perempuan yang meninggal (walau yang terjadi di sini tidak setragis di “Pet Sematary”), ada pihak luar yang bersimpati dan membantu menghidupkan kembali anak tersebut, dan, meski anak tersebut hidup kembali, namun tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tuanya. Bahkan berbalik menjadi ancaman bagi mereka.
Persis.
Dari sana, sebenarnya cerita bisa saja dinikmati. Sayangnya, dari awal sudah terlihat bahwa film ini tidak digarap dengan serius. Entah budgetnya yang terlalu rendah atau apa. Banyak sekali elemen yang membuat saya merasa sangat terpaksa untuk tetap duduk di kursi bioskop hingga credit title muncul.
Pertama, detil adegan sama sekali tidak diperhatikan.
Misalnya saja mobil yang sama sekali tidak ringsek padahal diceritakan baru saja menabrak pohon dengan keras. Padahal, terlihat bahwa titik tumbukan ada pada lampu depan kiri dengan batang pohon. Okelah jika tidak penyok. Tapi masa kaca lampu tidak pecah?
Nah, setelah tabrakan, tanpa merasa perlu mengecek apakah mobil masih bisa distarter atau tidak, para karakter yang terlibat sudah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan mencari bantuan dari penduduk setempat. Lucunya lagi, mobil dan BARANG BARANG BERHARGA ditinggalkan begitu saja di dalamnya. Bahkan pintu mobil juga tidak dikunci, ditinggal terbuka begitu saja.
Itu saja? Tentu tidak dong. Ada close up tubuh mayat yang harusnya terbujur kaku tapi terlihat jelas sedang bernafas. Ada gambar coretan tangan yang terlihat rapi seperti hasil cetakan printer. Ada mobil yang sedari awal terlihat di parkir tepat di depan ruang tamu tapi di bagian akhir tidak lagi terlihat di sana. Ada adegan habis pipis tapi air di toilet masih terlihat super jernih. Dan lain-lain.
Elemen kedua adalah dialog. Ini memang menjadi penyakit yang umum di kalangan film horor lokal. Masalahnya, yang ada dalam “Ritual” bisa dikategorikan sebagai contoh dialog terburuk yang mungkin ada dalam sebuah film. Banyak yang tidak jelas dan membuat cerita menjadi makin tidak masuk akal.
Salah satu yang sampai saat saya menulis artikel ini masih bikin emosi adalah ketika Peter, Jenny, Lisa, dan Michael pertama kali mengetahui Faisal terbunuh. Peter menyatakan bahwa itu adalah perbuatan pembunuh yang menyusup masuk ke dalam rumah dan menculik Anna. Ia lantas meminta Michael dan Jenny untuk bersembunyi di kamar, sementara ia dan Lisa BERPENCAR untuk mencari Anna.
Hello?
Peter baru saja mengira bahwa yang mereka hadapi adalah pembunuh. Dengan ‘cerdasnya’, ia menyuruh anak PEREMPUANNYA untuk berpencar, sementara Michael, yang laki-laki, justru diminta untuk bersembunyi dengan Jenny. Lebih masuk akal jika Lisa dan Jenny mengunci diri mereka di kamar, sementara Peter dan Michael mencari Anna, kan?
Elemen ketiga adalah si karakter utama, Lisa. Sebelum bertemu dengan Anna, ia sudah melihat penampakan anak perempuan yang jelas terlihat mirip dengannya. Tapi ia seperti amnesia dan sama sekali tidak ingat hal tersebut. Rasa ingin tahunya juga terlalu lebay dan tidak berdasar. Seperti ketika ia heran ada pintu yang ditutup dengan lemari. Lisa merasa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Well, sekedar masukan buat Maruska Bath, dari jaman saya kecil dahulu, ketika bermain ke rumah nenek saya di Yogya, hal yang semacam itu sudah bisa saya temui. Dan sama sekali tidak ada hal rahasia maupun mistis di balik itu. Hanya agar pintu gudang yang memang sudah jarang dibuka tidak terlihat oleh tamu. Saya juga melakukan hal serupa di rumah saya, menghalangi pintu kamar mandi yang sudah rusak dengan lemari baju. Bisa dicek, sama sekali tidak ada anak yang diculik di dalamnya.
Terakhir, jump scare maupun adegan serem yang mengandalkan CGI. Ini yang paling bikin bingung. Sudah jelas-jelas kualitas CGI-nya kacangan, lah kok pede banget digunakan berulang-ulang. Film horor lokal yang tidak menggunakan CGI sama sekali dan sukses itu BANYAK loh. Saya bukannya tidak mendukung perkembangan film Indonesia. Namun, ayo lah, coba lihat sendiri hasilnya. Saya lebih merasa sedang dibodohi ketimbang sedang ditakut-takuti.
Sisi positifnya, tidak ada efek suara yang memekakkan telinga. Porsinya masih pas dan sewajarnya.
Oh ya, adegan cerita masa lalu yang langsung dibeberkan di awal sepertinya merupakan sesuatu yang baru. Biasanya hal tersebut disimpan sebagai twist di akhir cerita. Ajaibnya, di bagian akhir, saat si dukun menjelaskan masa lalu yang terjadi pada keluarga Faisal, Findo Purnomo justru merasa perlu untuk memutar ulang cerita yang sudah lengkap disampaikan di awal. Benar-benar terlihat niat untuk mengulur waktu dan menambah panjang durasi film.
Kesimpulan Akhir
Saya selalu mencoba untuk mencari segi positif dari film yang saya review, tapi kali ini saya kibarkan bendera putih. Seandainya tidak minum Golda sebelum nonton, mungkin saya sudah terlelap. Sama seperti dua orang di seberang saya, yang memilih untuk menyerah kalah dan memutuskan untuk keluar sebelum film berakhir.
Pada akhirnya, dengan terpaksa film “Ritual” saya nominasikan sebagai film horor lokal terburuk di tahun 2019 ini. Mohon maaf.
Leave a Reply