Judulnya menggoda sekali. Apalagi posternya, yang terlihat menyeramkan. Tapi apakah “Pocong vs Kuntilanak” berhasil menyuguhkan sesuatu yang sesuai ekspektasi? Yah, setelah puluhan film horor lokal saya tonton, rasanya kok tidak mungkin, ya. Bukan pesimis, hanya realistis. Biar lebih pasti, simak yuk sinopsis dan review singkat film besutan sutradara David Poernomo berikut ini.
Sinopsis Singkat
Vonny (diperankan oleh Diana Puspita), Agnes (diperankan oleh Alia Rosa), dan Rubby (diperankan oleh Amanda Faried) dikenalkan oleh Akhsa (diperankan oleh Aldi Taher) pada Marcell (diperankan oleh Achmad Zaki), pemilik sebuah usaha tato. Saat sedang berkunjung ke rumah Vonny, Akhsa menggoda Marcell yang terlihat jatuh hati pada Vonny. Karena malu, Marcell membantah dengan alasan keluarga Vonny tidak pantas bersanding dengannya. Ucapan tersebut ternyata didengar oleh Mami Rika (diperankan oleh Ida Zein), ibu Vonny. Ia pun meminta mereka untuk pulang.
Kesal karena teman-temannya diusir, Vonny memilih untuk ikut pergi bersama mereka. Untuk membuktikan keberadaan hantu pada Marcell yang lebih percaya pada hantu-hantu film barat, Akhsa mengajak mereka semua bermain jailangkung. Sementara itu, Rika yang kesal, lantas mengutus kuntilanak peliharaan keluarga untuk mengganggu Marcell.
Aksi pemanggilan jailangkung yang dilakukan Akhsa ternyata gagal. Alih-alih, justru kuntilanak yang datang menyerang Marcell. Anehnya, tak lama giliran pocong yang muncul. Kehadiran pocong tersebut membuat si kunti pergi.
Belakangan mulai terungkap bahwa keluarga Von Klingen sudah memelihara kuntilanak sejak turun temurun. Di masa penjajahan Belanda, Nyai Soroh (diperankan oleh Lulu Kurniawati) memilih untuk menikah dengan keturunan Von Klinger. Juragan kampung Raden Soekotjo (diperankan oleh Whani Dharmawan) yang ingin menikahinya jadi emosi karena menganggap Nyai Soroh tidak nasionalis dan telah berkhianat pada bangsa. Karena diancam untuk dibunuh, Nyai Soroh memerintahkan kuntilanak untuk lebih dulu menghabisi nyawa Raden Soekotjo. Sebelum meninggal, Raden Soekotjo berpesan agar tali pengikat pocongnya nanti jangan dilepas.
Sejak itulah hantu pocong terus berusaha untuk membalas dendam pada keturunan Von Klingen. Berkat bantuan kuntilanak-lah mereka bisa bertahan hingga sekarang. Dan, di usianya yang ke-21, Vonny harus menjadi majikan kuntilanak yang baru, meneruskan tugas yang diemban oleh Rika.
Awalnya Vonny menolak melakukan hal itu. Namun setelah Rubby dan Akhsa meninggal, ia akhirnya menerimanya. Di saat bersamaan, Marcell yang ternyata memiliki garis keturunan Raden Soekotjo, dirasuki oleh arwah Raden Soekotjo sendiri. Ia lantas berusaha untuk membunuh Vonny, yang kemudian dirasuki pula oleh kuntilanak.
Pertarungan mereka berhenti setelah Dharmo (diperankan oleh Joko Dewo), sopir keluarga, berhasil menemukan kuburan Raden Soekotjo atas perintah dari mbok Dharmi (diperankan oleh Hj. Purwaniatun), pembantu keluarga Vonnya, dan melepaskan tali pocongnya.
Tanggal Rilis: 6 November 2008
Durasi: 90 menit
Sutradara: David Poernomo
Produser: Zainal Susanto
Penulis Naskah: David Poernomo
Produksi: Mitra Pictures
Pemain: Ahmad Zaki, Allya Rossa, Aldiansyah Taher, Ikhsan Samiaji, Diana Puspita, Amanda Faried
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Ide ceritanya keren. Dendam turun temurun yang sudah berlangsung puluhan tahun antar dua keluarga. Yang satu memelihara kuntilanak sebagai pelindung, satu lagi mengandalkan kakek moyangnya yang sengaja menjadi pocong. Di satu generasi, masing-masing keturunannya saling jatuh cinta tanpa tahu adanya masalah keluarga di masa lalu. Keren, kan?
Sayag, ide hanya sebatas ide. Hanya terlihat indah di angan-angan. Setelah dikembangkan menjadi naskah utuh serta dieksekusi, ujung-ujungnya tidak jauh berbeda dengan film-film horor Indonesia pada umumnya yang berada jauh di bawah standar.
Yang paling kentara sejak awal adalah tata cahaya yang minim serta akting para pemainnya. Saya jarang mengomentari hal ini kalau tidak benar-benar parah. Dan yang disuguhkan dalam “Pocong vs Kuntilanak” termasuk dalam kategori tersebut. Cuma ada dua ekspresi yang sepertinya dipahami oleh jajaran castnya. Antara datar atau lebay. Bahkan saat adegan dihantui pun saya sama sekali tidak merasa mereka sedang ketakutan.
Soal penampakan, ada yang sukses tampil mencekam, ada pula yang membosankan. Lebih banyak yang disebut belakangan sih porsinya. Pocong bersinar warna warni ala lampu diskotek jelas nggak banget. Acap mengandalkan efek CGI, yang bagi saya justru mengurangi efek seram. Jangan dibayangkan penampakannya seperti yang ada di poster. Jauh.
Cerita sebenarnya lumayan di sepertiga awal. Masih terasa mengalir walau tidak rapi. Semakin ke belakang barulah bobroknya semakin terlihat. Dialog banyak berulang dan hampir semuanya membosankan bin tidak meyakinkan. Babak ketiga sangat dipaksakan. Setelah berpuluh-puluh tahun, kenapa baru ada yang kepikiran untuk mencari makam Raden Soekotjo guna melepaskan tali pocongnya? Apa seluruh generasi Von Klingen turun temurun tidak bisa berpikir logis? Sudah gitu pertempuran pocong versus kuntilanaknya ternyata cuman begitu aja. Udah ngarepin gebuk-gebukan sambil melayang di udara kayak Dragon Ball nih, hehehe.
Yang juga ajaib di bagian menjelang akhir adalah kematian Akhsa. Bukan apa-apa. Seolah tidak ada yang mempedulikan kematiannya. Baik itu kekasihnya maupun sahabatnya. Apes banget nasibmu, sa.
Penutup
Ide menarik yang gagal total dikembangkan menjadi film utuh yang berkelas. Padahal ada potensi untuk itu. Deretan pemain yang berakting di bawah standar melengkapi amburadulnya dialog serta naskah yang keteteran di pertengahan akhir. Ekspektasi yang berlebih dari pertarungan “Pocong vs Kuntilanak” pada akhirnya menghujamkan ratingnya ke titik rendah. 1/10.
Catatan: rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi
Leave a Reply