Satu dekade sebelum menggarap trilogi Danur, Awi Suryadi pernah membesut sebuah film horor slasher Indonesia yang bertajuk “Pengantin Topeng”. Tepatnya di tahun 2010, dimana unsur seksual dalam film saat itu masih sangat kental. Itu juga yang dulu bikin ilfil untuk nonton film horor di bioskop. Tapi sekarang saya jadi penasaran. Apabila ditonton ulang di jaman sekarang, mungkinkah unsur horornya bisa lebih diapresiasi? Simak sinopsis dan review singkatnya di bawah ini.
Sinopsis Singkat
Randy (Hardy Hartono) dan Alexa (Masayu Anastasia) akan menikah. Untuk menyambut hari bahagia itu, mereka mengajak teman-teman terdekat pergi berlibur ke pantai selatan Jawa Barat. Mereka adalah Billy (Gabriel Tabalujan), Kinar (Lolita Putri) dan Rosa (Adelia Rasya). Sesampainya di pantai, Kinar, Rosa dan Billy langsung menghabiskan waktu hingga menjelang malam. Ketika pulang ke hotel, mobil mereka mogok di tengah jalan. Malam semakin mencekam sampai Alexa menemukan sebuah pondok yang berisikan sesosok mayat pria. Tanpa mereka sadari ada sesosok berjubah hitam bertopeng misterius mengintai dari kejauhan. Mereka menjadi incaran pembunuh misterius bertopeng wayang putih dan membawa gunting rumput besar. Billy, Alexa, Randy, Kinar dan Rosa terpencar ketika berusaha untuk menyelamatkan diri.
Tanggal Rilis: 15 Juli 2010
Durasi: 80 menit
Sutradara: Awi Suryadi
Produser: Eko Kristianto
Penulis Naskah: Awi Suryadi
Produksi: Besinema
Pemain: Masayu Anastasia, Lolita Putri, Adelia Rasya, Hardy Hartono, Gabriel Tabalujan, George Timothy
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Dendam masa lalu membuat sebuah pernikahan yang sudah direncanakan batal sebelum waktunya. Pelakunya pun orang yang tidak disangka-sangka… dengan sebagian alasan terasa dibuat-buat. Nah loh.
Tapi bagaimana lagi. Nyatanya, kebanyakan horor slasher semacam “Pengantin Topeng” jarang memasukkan unsur logika di dalamnya. Yang penting ada banyak adegan bunuh-bunuhan di dalamnya. Makin sadis makin seru.
Separuh durasi film sendiri dibuka dengan rentetan adegan yang nyaris tidak ada faedahnya bagi perkembangan cerita. Kalau pun ada, mungkin hanya 10%-nya. Sisanya layanan cuci mata bagi penonton-penonton mesum, dimana era genre horor lokal tahun 2010-an memang lebih mengedepankan unsur eksploitasi sensual aktor dan aktrisnya. Tidak hanya secara visual, melainkan juga dari segi dialog. Jelas bukan sajian untuk anak usia 17 tahun ke bawah.
Perjalanan menuju penghujung cerita lumayan intens. Setidaknya hingga Alexa menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya kepada Kinar. Nalar mulai meredup di titik tersebut dan semakin memudar begitu terungkap alasan utama Alexa dan adiknya melakukan semua hal itu. Kalau memang tujuan utamanya adalah untuk balas dendam, kenapa harus menggunakan alasan perselingkuhan untuk membunuh Kinar dan Rossa. Lebih make sense kalau Kinar langsung dibantai — seperti Billy dan Rossa — tanpa perlu adanya percakapan.
Berhubung ini adalah film bergenre slasher, tidak ada penampakan hantu sama sekali di dalamnya. Ada ding, cuma sekali, saat Billy menceritakan pengalaman mistisnya. Tapi ya sudah, itu doang. Kemunculan Alexa sebagai pembunuh juga tidak pakai sembunyi sembunyi. Ujug-ujug muncul begitu saja. Di luar aksinya yang cukup sadis, film ini bisa dibilang tidak begitu berhasil membangun ketegangan sebelumnya.
Akting pemain yang tidak berkesan serta dialog yang biasa biasa saja melengkapi buruknya film yang sama sekali tidak ada kesesuaian antara judul dengan cerita ini.
Penutup
Pada akhirnya, “Pengantin Topeng” hanyalah sebuah film eksploitasi sensual yang dibumbui adegan sadis tanpa alasan yang konsisten. Horornya? Mungkin hanya bagi orang tua yang mengetahui anak di bawah umurnya sudah menghabiskan waktu dengan menonton film ini. 3/10 untuk bunuh-bunuhannya.
Leave a Reply