“Legenda Sundel Bolong” adalah film horor kedua sutradara Hanung Bramantyo setelah “Lentera Merah” di tahun 2006. Sama halnya dengan film tersebut, di sini Hanung juga merangkap sebagai penulis naskah, dengan dibantu oleh Erik Tiwa. Menariknya, meski dirilis pada tahun 2007, “Legenda Sundel Bolong” mengambil latar tahun 1965 dengan bumbu politis di dalamnya. Lalu seperti apa hasilnya? Simak sinopsis dan review singkatnya di bawah ini.
Sinopsis Singkat
Imah (Jian Batari), penari ronggeng, jatuh cinta kepada Sarpa (Baim). Setelah menikah mereka memutuskan untuk pindah ke desa Sindangsari dan memulai kehidupan baru karena banyak kejadian aneh di desa asalnya. Imah memutuskan berhenti menjadi penari ronggeng dan Sarpa bekerja di perusahaan Danapati (Tio Pakusadewo) sebagai buruh pemetik teh. Mereka tidak disukai oleh warga setempat, karena penari ronggeng dianggap wanita penggoda lelaki. Danapati melihat Imah sebagai ronggeng cantik dengan tubuh indah. Segala cara Danapati lakukan untuk mendapatkannya, termasuk mengirim Sarpa untuk mengambil bibit teh di daerah Sumatera. Danapati berhasil memperkosa Imah. Sarpa kembali dari perjalanannya dan menemukan Imah dengan pandangan kosong di sudut rumah, Imah berusaha menutupi kejadian yang menimpanya. Kemudian di desa itu banyak terjadi pembunuhan dengan luka bolong di punggung mayat. Warga desa menjadi resah dan saling curiga. Sementara warga mencari pelaku pembunuhan, teror hantu Sundel Bolong muncul dan membuat situasi semakin menegangkan.
Tanggal Rilis: 18 Oktober 2007
Durasi: 91 menit
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Gope T Samtani, Subagio Samtani
Penulis Naskah: Hanung Bramantyo, Erik Tiwa
Produksi: Rapi Films
Pemain: Baim, Tio Pakusadewo, Jian Batari Anwar, Uli Auliani
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Sebelum masuk ke dalam cerita, saya ingin membahas dulu hal-hal yang patut diacungi jempol dalam film “Legenda Sundel Bolong” ini.
Yang pertama adalah nuansa film lama yang sukses dibangun. Tidak hanya dari pemilihan lokasi dan latar, properti yang digunakan hingga color grading-nya pun sangat sesuai. Jika saja kualitas gambarnya ecek-ecek, saya pasti mengira ini adalah film tahun 70-80’an.
Yang kedua, dengan keterbatasan efek CGI pada tahun 2000-an, Hanung ternyata mampu menghadirkan horor mencekam bin creepy. Make-up hantunya sederhana, tapi nyeremin. Tidak seperti kebanyakan film horor bermodal serupa, yang jatuhnya bukan wajah seram, tapi ala badut. Sepanjang durasi saya malah berpikir bagaimana kerennya film ini apabila dibikin ulang dengan teknologi dan tehnik pengambilan gambar yang lebih kekinian.
Yang ketiga adalah akting para pemain utama. Sangat meyakinkan. Terutama Jian Batari yang memerankan Imah. Baim yang memerankan Sarpa juga tidak buruk. Hanya saja karena keterbatasan jatah tampilannya di layar membuat perannya tidak terlalu menonjol.
Lalu bagaimana dengan alur ceritanya?
Ide dasarnya sebenarnya sederhana. Tidak klise namun juga tidak sepenuhnya orisinil. Hanung dan Erik membalutnya dengan suasana politik di tahun 65 sehingga membuatnya jadi sebuah cerita yang sedikit fresh. Sayangnya, di situ pula letak kekurangan film ini. Muatan politis di dalamnya, yang menyuguhkan perselisihan antara kubu agama dengan komunis, terasa sangat dipaksakan. Cerita jadi melenceng jauh gara-gara harus mengakomoditir hal tersebut. Seandainya tetap fokus di tema utama, hasilnya saya yakin lebih memuaskan.
Penutup
Pada akhirnya, “Legenda Sundel Bolong” memang mampu menyuguhkan sebuah tontonan horor yang mencekam dan berkualitas (untuk ukuran film tahun 2007, ya). Beberapa efek CGI yang abal-abal masih bisa dimaafkan. Namun hanya sebatas itu. Cerita yang harusnya baik-baik saja apabila konsisten pada jalurnya ujung-ujungnya finish di titik yang mengenaskan gegara terlalu memaksakan hadirnya muatan politis di dalamnya.
5/10.
Leave a Reply