Review Film Kamar 207 (2014)

Diadaptasi dari kisah nyata (ada yang peduli dengan tagline semacam ini?), “Kamar 207” adalah film besutan sutradara Chiska Doppert yang dirilis pada bulan Juli 2014, bertepatan dengan momen hari raya Idul Fitri. Jadwal rilis sepertinya memberi dampak positif karena pada prosesnya film horor ini berhasil menempati posisi bontot dalam daftar 15 film box office di tahun 2014. Lumayan juga. Tapi apakah kualitasnya juga lumayan? Simak sinopsis dan review singkatnya di bawah ini, gan.

Sinopsis Singkat

poster kamar207

Echa, Cacha, Revan, dan Rangga sama-sama mengeluti dunia mistis. Masing-masing punya kelebihan yang berbeda. Seperti Echa dan Cacha yang bisa melihat makhluk gaib, serta Revan yang bisa melihat masa lalu seseorang. Seringkali mereka diminta untuk membantu orang lain yang mengalami gangguan gaib. Dokumentasi kegiatan mereka itu lantas diunggah ke Youtube.

Suatu ketika seorang pemilik hotel bernama Sasi meminta bantuan pada mereka. Hotel yang ia warisi dari ayahnya itu ternyata berhantu. Adalah arwah penasaran Mary, pemilik pertama hotel tersebut, yang bergentayangan di sana. Ia dendam karena dulu di hari pernikahannya, calon suami tiba-tiba membatalkan pernikahan. Kecewa dan galau, Mary lantas bunuh diri. Kebetulan pada saat itu, kamar yang dihuni oleh Mary adalah kamar nomer 207.

Karena Echa sedang dalam kondisi tidak sehat, hanya Cacha, Revan, dan Rangga yang pergi ke hotel milik Sasi, hotel Mary’s Inn. Saat bermalam di sana, Revan pun mendapat penglihatan dimana sumber permasalahan dari semua itu adalah pak Rebo, mantan manajer hotel yang sudah sejak lama bekerja di sana.

Tanggal Rilis: 24 Juli 2014
Durasi: – menit
Sutradara: Chiska Doppert
Produser: Rafdy Farizan Bintang
Penulis Naskah: Hotnida Harahap
Produksi: Mitra Pictures, BIC Production
Pemain: Maxime Bouttier, Armando Jordy, Adzana Bing Slamet, Valerie Thomas, Agatha Valerie, Epy Kusnandar, Reny Novita

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Baru kali ini saya benar-benar dibuat bingung oleh alur cerita sebuah film horor. Terasa tidak nyambung dan loncat ke sana kemari. Tahu-tahu begini, tahu-tahu begitu. Bisa paham setelah baca sinopsisnya, yang tersaji lengkap dari awal hingga akhir di video trailer resmi mereka yang ada di Youtube. Membacanya saya cuman bisa geleng-geleng kepala. Perasaan gak ada adegan seperti itu di film, kok bisa diceritakan A, B, C, bla bla bla, ya. Apalagi endingnya, yang seperti dipotong begitu saja.

Contoh: arwah Mary, saat merasuki Sasi, meminta agar cincinnya dikembalikan. Hingga akhir, saat hotel sudah dinyatakan ‘bersih’, sama sekali tidak terlihat bahwa cincin tersebut kembali. Yang ada hanya adegan kematian seseorang (yang mungkin membawa cincin tersebut).

Dengan mengabaikan embel-embel kisah nyata yang biasanya tidak memiliki terlalu banyak imbas dalam kualitas selain sebagai marketing gimmick, film “Kamar 207” ini sebenarnya punya potensi untuk tampil mencekam. Latar lokasi hotel tua yang punya sejarah tragis bisa dioprek dan diramu menjai sajian horor yang bikin bulu kuduk merinding.

Alih-alih melakukannya, film ini hanya berkutat pada ruangan yang itu-itu saja. Kamar tidur Sasi, ruang resepsionis, teras depan, dan kamar 207. Membosankan. Apalagi dengan bumbu efek suara menggelegar yang merusak mood. Sungguh, saya bisa membayangkan betapa mengerikannya film ini apabila tidak ada suara-suara yang mengganggu serta jump scare yang sebagian kacangan.

Salah satu adegan yang berpotensi menyeramkan adalah saat Windy masuk ke dalam kamar 207 dan mendapati Sasi dengan ratusan kupu-kupu hitam beterbangan di sekeliling ruangan. Sayang jadi tidak berarti akibat efek CGI yang tidak rapi. Sama halnya saat Windy kemudian dibuat melayang oleh Sasi (yang kerasukan) dan dihempaskan berulang-ulang ke batang pohon. Saya yakin anak kecil juga sadar bahwa posisi tubuh Windy saat itu sama sekali tidak wajar. Bukannya melayang, malah terlihat seperti bergelantungan di tali.

Elemen lain yang sebenarnya turut berpotensi adalah tim ‘Youtuber’ yang tidak hanya sekedar mencari sensasi. Echa, Cacha, Revan, dan Rangga sama-sama memiliki kelebihan yang saling melengkapi. Ada yang bisa melihat hantu, ada pula yang sanggup membaca masa lalu seseorang. Sayang sebagian besar eksistensi mereka di layar lebih pada perkenalan. Baru separuh sisanya yang berkaitan dengan kamar 207, yang notabene adalah poin utama cerita.

Penutup

Sulit rasanya membayangkan film semacam ini bisa meraup lebih dari 300 ribu pengunjung bioskop pada saat dulu naik layar. Apakah memang tidak banyak pilihan genre horor pada waktu itu? Atau tim produksi dan distribusi punya kemampuan pemasaran yang handal? Entahlah. Yang jelas, film ini tidak lebih dari kebanyakan karya Chiska Doppert yang lain. Doi sebaiknya mencari partner penulis naskah yang handal terlebih dahulu sebelum berkarya kembali. 1/10.

rf kamar207

Leave a Reply