“Janin” jadi judul film horor lokal ketiga yang tayang di bulan Januari 2020 setelah “Rasuk 2” dan “Surat Dari Kematian”. Sebagai sebuah film yang ceritanya sudah hampir sebagian tertebak hanya dari trailernya saja, cukup aneh rasanya tadi masuk ke dalam studio bioskop di slot tayang perdana dengan kondisi separuh kursi terisi. Akankah para pengunjung tadi pada akhirnya bisa terpuaskan dengan sajian yang berkualitas? Simak review jujur nan singkatnya di bawah ini.
Sinopsis Singkat
Tanggal Rilis: 16 Januari 2020
Durasi: 85 menit
Sutradara: Ook Budiono
Produser: Sanjeev Advani
Penulis Naskah: Evelyn Afnilla
Produksi: PAW Pictures
Pemain: Jill Gladys, Reuben Elishama Hadju, Meriam Bellina
Pasangan suami istri Randu (diperankan oleh Reuben Elishama Hadju) dan Dinar (diperankan oleh Jill Gladys) bahagia karena kehamilan anak pertama mereka memasuki bulan ke-empat. Anehnya, seiring dengan hadirnya tetangga baru mereka, bu Sukma (diperankan oleh Meriam Bellina), kejadian-kejadian misterius mulai dialami oleh Dinar. Randu yang awalnya tidak percaya juga akhirnya ikut merasakan teror mistis tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada hubungannya dengan bayi yang tengah dikandung Dinar?
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Mari kita mulai dari segi cerita. Seperti sudah saya prediksi sebelumnya, misteri yang diangkat dalam “Janin” sudah bisa langsung tertebak dari trailer resmi yang dihadirkan. Balas dendam dari sang mantan yang tidak dianggap dan dipaksa untuk menggugurkan janinnya. Bagi yang sudah biasa menonton film horor lokal pasti juga sudah bisa menebak bahwa karakter bu Sukma yang terlihat creepy bukanlah sosok antagonis yang sebenarnya.
Nah, di sini penulis Evelyn Afnilla cukup pintar dengan menambahkan karakter lain yang tidak biasa. Yaitu karakter suster bernama Susan yang ternyata adalah hantu berwujud manusia. Awalnya saya mengira suster ini adalah sahabat dari Susan yang asli, yang tidak terima dengan perbuatan Randu. Siapa sangka bahwa ia adalah setan, hehehe.
Hadirnya karakter suster membuat film ini memiliki double twist yang rapi dan tidak asal-asalan. Menyenangkan karena yang demikian jarang hadir di film-film horor lokal.
Sayangnya, pasca twist yang pertama, memasuki babak akhir cerita, terlihat jelas bahwa film digarap dengan terburu-buru. Kualitasnya sangat menurun jika dibandingkan dua babak sebelumnya. Hantu Susan yang punya banyak waktu untuk mengambil janin dari perut Dinar tidak kunjung melakukannya. Sibuk berteriak meminta Dinar untuk menyerahkan janinnya.
Adegan di bagian akhir yang paling bikin ilfil menurut saya adalah saat hantu Susan terbang membawa Dinar dari ruang bayi di lantai 2. Awalnya memang keren, tapi di adegan berikutnya mereka berdua ternyata hanya melayang-layang dengan ketinggian 1/2 meter dari tanah. Langsung drop, say.
Dari segi horor, jujur saya bukan penggemar hantu yang bermodalkan dandanan muka seram. Tapi ada satu dua efek visual yang cukup menarik yang dihadirkan di film ini. Patut diacungi jempol.
Yang menjadi masalah adalah efek suara dan musik latar yang digunakan. Volumenya, gaes, bikin pekak telinga, gaes. Menjelang jump scare pasti volume bertambah keras. Dan memuncak saat ada sesuatu yang mengagetkan. Ini yang kemudian membuat saya jadi merasa bosan saat menonton dan nyaris tertidur. Karena tahu bahwa polanya bakalan seperti itu saja. Buat apa nonton film horor kalau bagian seremnya sudah dikasih petunjuk di awal?
Oh ya, akting kedua pemeran utama menurut saya cukup baik. Terasa meyakinkan. Saya bisa merasakan kesalnya Dinar saat Randu tidak mempercayai ceritanya. Atau sebaliknya, bisa merasakan lelahnya pikiran Randu saat Dinar terus-terusan ketakutan.
Untuk sinematografinya sendiri terbilang bagus, walau tidak ada sesuatu yang istimewa.
Kesimpulan
Meski masih mengidap masalah yang sama dengan kebanyakan film horor lokal dimana kualitas cerita di babak akhir jauh menurun, namun setidaknya apa yang coba disampaikan dalam “Janin” masih bisa dinikmati. Akting pemain menurut saya pribadi cukup baik, tidak ada yang perlu diberi komentar khusus. Sayangnya, penggunaan efek suara yang super duper lebay amat sangat mengganggu. Yeah, hiperbola untuk menegaskan se-mengganggu-nya itu volume suara yang disematkan. Jika saja di bagian tersebut digarap secara manusiawi, saya yakin film ini bakal jauh lebih nyaman untuk ditonton.
Leave a Reply