Review Film Ikut Aku Ke Neraka (2019)

Judul yang meniru film barat, trailer yang tidak meyakinkan, serta cuplikan sinopsis yang terlihat klise adalah kombinasi tiga hal yang membuat saya awalnya berpikir untuk menghemat uang dan melewatkan film horor lokal “Ikut Aku Ke Neraka” ini. Apalagi saya berhalangan nonton di hari Kamis, yang bandrol harga tiket masih normal. Tapi untungnya, ‘kenekatan’ merogoh kocek untuk memesan kursi di bioskop Royal XXI Surabaya berbuah manis, dimana kualitas filmnya ternyata jauh di atas ekspektasi. Seperti apa?

Sinopsis Singkat

poster ikutakukeneraka

Kebahagiaan Lita (Clara Bernadeth) dan suaminya Rama (Rendy Kjarnet) tidak berlangsung lama karena Lita kerap diteror oleh mahluk halus berwujud wanita menyeramkan. Rama membawa Pak Adam untuk membersihkan rumah mereka dari gangguan hantu tersebut. Pak Adam menjelaskan teror ini bukan dari rumah melainkan dari dalam diri Lita sendiri. Pak Adam memberikan petunjuk bahwa jawaban dari teror hantu tersebut ada di masa lalu Lita, dengan meminta penjelasan dari Sari (Cut Mini), ibu yang dia tinggalkan. Sari dirawat di rumah sakit jiwa.

Tanggal Rilis: 11 Juli 2019
Durasi: 90 menit
Sutradara: Azhar Kinoi Lubis
Penulis: Fajar Umbara
Produser: Gope T Samtani
Produksi: Rapi Films
Distributor: –
Pemain: Rendy Kjaernett, Cut Mini Theo, Teuku Rifnu Wikana, Sara Wijayanto, Ence Bagus, Rini Mentari

Lita (diperankan oleh Clara Bernadeth) dan Rama (diperankan oleh Rendy Kjaernett) adalah pasangan suami istri yang hendak melahirkan anak pertama mereka. Sebelum itu, Rama meminta agar Lita menjalani operasi kecil untuk menghilangkan tanda lahir seperti bekas luka operasi yang terdapat di punggung kirinya. Anehnya, sejak itu sosok hantu berwujud wanita menyeramkan mulai acap meneror Lita. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh si hantu? Apakah memang benar kehadirannya ada hubungannya dengan Sari (diperankan oleh Cut Mini), ibu Lita?

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Cerita di babak pertama sebenarnya agak membingungkan. Kita seolah diajak untuk mengikuti dua kisah karakter yang seolah tidak berhubungan. Yang satu adalah Lita, dan yang satu lagi, yang baru dijelaskan di babak ketiga, adalah Sari, ibu Lita. Apalagi, pengambilan gambar set rumah tempat tinggal Lita dengan rumah sakit jiwa tempat Sari dirawat sekilas terlihat sama. Rasanya baru di babak kedua penonton bisa dengan nyaman menyambungkan potongan puzzle cerita dan memahami hubungan di antara keduanya.

Tapi sepertinya Fajar Umbara, si penulis naskah, memang sengaja melakukannya. Membuat sesuatu yang tampak sepele atau tidak berkaitan di awal, padahal sebaliknya. Salah satu yang menjadi twist memuaskan adalah tentang operasi tanda lahir Lita. Saya kira bagian itu hanyalah filler untuk menambah panjang durasi film saja, terkesan tidak penting, padahal titik balik cerita justru berkaitan dengan hal tersebut.

Pun begitu dengan endingnya. Keputusan akhir yang diambil oleh Lita mungkin bakal membuat sebagian penonton terkaget-kaget. Setidaknya itu yang saya lihat sendiri dari reaksi orang-orang di sekitar. Sayangnya, shocking ending tersebut dirusak di adegan after credit, di saat ‘Lita’ mengucapkan sesuatu. Tanpa perlu mengucapkan kalimat tersebut saya yakin semua orang sudah paham kok.

Tidak hanya elemen cerita yang berisi jebakan, bagi saya set atau properti yang digunakan juga memberi efek serupa. Sekilas cerita terlihat terjadi di tahun 80 atau 90-an, dengan bangunan-bangunan tuanya. Ini sudah membuat saya bersiap untuk mencela, karena properti yang digunakan terlihat kekinian. Seperti sikat gigi, pemutar piringan hitam yang memiliki remote control, hingga seprei yang motifnya modern. Di pertengahan baru mulai terlihat keberadaan ponsel, yang menunjukkan bahwa cerita mengambil waktu di tahun 2018. Batal nyinyir deh, hehehe.

Seperti biasa, sebisa mungkin saya tidak akan mengomentari akting pemain (karena saya tidak bisa berakting). Namun ada 2 hal yang ingin saya garis bawahi. Menurut saya PRIBADI, pertama, karakter Lita di paruh awal agak kurang meyakinkan. Saya tidak tahu apakah dia merasa benar-benar takut atau tidak. Entah ini permasalahan ada di akting Clara Bernadeth atau hasil arahan dari sutradaranya.

Yang kedua, sebaliknya, akting Cut Mini sebagai wanita yang depresi sangat meyakinkan. Meski porsi adegannya bisa dibilang tidak terlalu banyak, namun ia mampu memanfaatkannya dengan baik untuk mencuri perhatian. Begitu pula dengan si bibi pembantu yang kurang tahu diperankan oleh siapa. Kemunculannya di layar yang hanya sekilas sekilas sukses menjadi titik tawa penonton. Bahkan di saat-saat terakhirnya sekali pun. Terlihat natural dan tidak dibuat-buat.

Pada akhirnya, keseluruhan film “Ikut Aku Ke Neraka” bisa dibilang surprisingly good. Ceritanya cukup memuaskan dengan beberapa kejutan di bagian akhir. Akting pemain rata-rata tidak mengecewakan. Demikian pula dengan karakter-karakter yang dihadirkan. Semuanya memiliki peran dan porsi masing-masing, tidak ada yang nongol tanpa tujuan yang berarti.

Sebagai pembuka dari lima atau enam film horor lokal yang bakal tayang di bulan Juli 2019 ini, “Ikut Aku Ke Neraka” sudah berhasil menetapkan patokan standar kualitas yang bakal bikin sutradara film-film kompetitornya was-was. Kita lihat saja siapakah yang nanti akan muncul sebagai pemenang. Yang pasti, masih ada satu judul lagi yang merupakan hasil karya Fajar Umbara, yaitu “Kutuk” yang diperankan sekaligus diproduseri sendiri oleh Shandy Aulia.

Selamat menonton!

rf ikutakukeneraka

Leave a Reply