Sambil nunggu tayangan episode perdana “Detention” di Netflix yang gak jelas dijadwalkan pukul berapa, saya coba menghabiskan waktu dengan menyimak film Mandarin yang satu ini, “Girl’s Revenge”. Dari trailernya sih lumayan menjanjikan. Apalagi menggunakan latar dunia SMA, salah satu latar film favorit saya. Lantas seperti apakah filmnya? Simak review singkatnya di bawah ini.
Sinopsis Singkat
At a birthday party, a sex video filmed without consent was taken and REN Li-cha is the girl in the video. The video circulating at the school and led to Li-cha being mocked and bullied, which also shocked the peaceful campus.
WU Yun-heng, who was a transfer, went to the party together with Li-cha. She can barely stand what Li-cha is suffering, and is determined to find out the truth behind the incident to stand up for her best friend. However, as approaching to the truth, she is about to reveal the anxiety hidden in the campus…
Tanggal Rilis: 6 November 2020
Durasi: 81 menit
Sutradara: Weica Wang
Produser: Leo Chen
Penulis Naskah: Blanche Chiang
Produksi:
Pemain: Yuri Chen, Moon Lee, Pii Liu, Edison Song, Xia Teng Hong, Yu-Ping Wang, Shiny Yao
Review Singkat
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Teman saya, seorang bule Amerika yang sudah menjadi mualaf, pernah tinggal selama belasan tahun di Taiwan. Tahu saya sering traveling ke luar negeri, ia menyarankan saya untuk suatu waktu mengunjungi negara tersebut. Alasan utamanya adalah banyak pilihan kuliner enak yang ramah bagi muslim. Berhubung masalah makan bukanlah prioritas saya pribadi saat jalan-jalan, sampai sekarang saya masih belum terlalu menanggapi saran tersebut dengan serius. Atau mungkin lebih tepatnya hingga beberapa jam yang lalu, sebelum saya menonton film “Girl’s Revenge”.
Entah kenapa saya gagal fokus dengan alur cerita yang disajikan sepanjang film. Alih-alih mengikuti perjalanan Yun-heng dalam membongkar kasus yang menimpa sahabatnya Li-cha, saya malah asik menikmati sinematografi dan deretan lokasi yang bikin saya gak sabar untuk berkunjung ke sana. Memang tidak ada tempat-tempat ikonik maupun obyek wisata yang ditampilkan. Hanya kafe kecil dan gang kecil di area pemukiman. Namun hanya dengan melihatnya di layar saja saya sudah merasa betah.
Apakah ceritanya buruk? Tidak juga. “Girl’s Revenge” bagi saya menampilkan dengan baik realita di balik bangunan sekolah yang acap terlewat dari perhatian guru maupun orang tua. Apalagi sampai dengan sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa kasus bullying di lingkungan sekolah masih belum bisa sepenuhnya dihilangkan. Yah, sama baiknya dengan film-film bertema sejenis.
Dengan kata lain, film ini sayangnya tidak memiliki sesuatu yang membuatnya berada jauh di atas rata-rata.
A little bit better, but not much better.
Ketika alur memasuki babak investigasi — saat Yun-Heng dkk berusaha mencari bukti untuk menjatuhkan Wang Ke Qian — saya sebenarnya cukup berharap. Sepertinya bakalan seru. Apesnya tidak. Segala sesuatunya berjalan begitu saja tanpa memberi suntikan adrenalin yang berarti. Yun-heng yang diam-diam merekam pengakuan Ke Qian pun merupakan strategi yang lumrah digunakan.
Eh tapi plot twist-nya boleh juga sih. Yun-Heng yang awalnya digambarkan sebagai sosok korban bullying faktanya malah mantan pelaku bullying itu sendiri. Cuman judulnya jadi gak nyambung, minim korelasi dengan balas dendam.
Penutup
“Girl’s Revenge” menjadi film kesekian yang mengangkat tema bullying di lingkungan sekolah. Sayangnya, hal itu tidak serta merta membuatnya berkualitas dalam segi naskah. Meski minim cela, segala sesuatunya terasa biasa saja. Endingnya pun meninggalkan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Masih layak untuk ditonton namun tidak perlu berekspektasi lebih. 6/10.
Catatan: rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi
Leave a Reply