Review Film Bloody Crayons (2017)

Harusnya ini jadwalnya seri review film horor. Namun gara-gara sudah terlanjur nonton film “Bloody Crayons”, yang awalnya saya kira film horor dan ternyata bukan, jadilah kita review saja film Filipina bertabur bintang muda yang satu ini. Kisahnya sendiri diadaptasi dari buku novel bertajuk sama karangan Josh Argonza. Seperti apa hasil adaptasinya? Simak sinopsis dan review singkatnya di bawah ini, ges.

Sinopsis Singkat

poster bloodycrayons

9 orang pergi ke sebuah pulau terpencil untuk membuat film pendek. Mereka adalah Eunice (Janella Salvador), Olivia (Jane Oineza), Kenly (Diego Loyzaga), Justin (Yves Flores), Richalaine (Maris Racal), Marie (Sofia Andres), Gerard (Empoy Marquez), Kiko (Elmo Magalona), dan John (Ronnie Alonte). Mereka menginap di rumah peristirahatan milik keluarga Olivia yang dirawat oleh Mang Pedring (Nanding Josef). Belum apa-apa, sudah terjadi keributan di antara Olivia, Kenly, Marie, dan Eunice.

Olivia dan Kenly dulu sempat berpacaran. Namun beberapa waktu lalu hubungan mereka renggang. Kenly, yang saat itu meminta bubar, mengira Olivia menyetujuinya. Sehingga ia pun berpacaran dengan Marie. Khawatir Olivia marah, keduanya merahasiakan hubungan mereka. Eunice yang mengetahuinya jika meminta agar mereka mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Olivia.

Sayangnya, Olivia akhirnya melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana hubungan Kenly dan Marie lebih dari sekedar teman. Tidak hanya pada Kenly dan Marie, ia juga marah pada Eunice yang menyimpan rahasia itu. Kendati demikian, keesokan harinya Olivia kembali bersikap biasa pada semua orang.

Karena hujan muncul, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan bermain bloody crayons Di tengah permainan, suasana kembali menjadi ricuh karena Olivia mengungkit kembali soal Kenly dan Marie. Marie yang kesal sengaja meminum gelas yang berisi campuran segala macam minuman dan bumbu dapur. Hal itu membuatnya tersedak dan muntah.

Di tengah kepanikan, Olivia menunjukkan botol minuman milik Marie. Dengan cepat Kenly mengambil botol tersebut dan meminumkannya pada Marie. Anehnya, setelah itu kondisi Marie makin parah dan ia pun tewas setelah muntah darah.

Dengan penuh amarah Kenly menuduh Olivia sengaja meracuni Marie. Olivia membantah dan berlari keluar rumah dengan dikejar oleh Kenly. Tak lama, saat yang lain menyusul, Kenly sudah berdiri di tebing jurang sementara Olivia terlihat terbaring di batu karang yang ada di bawah jurang dengan bersimbah darah.

Kiko pun lantas menuduh Kenly sengaja mendorong Olivia dari tebing hingga tewas. Tidak terutama, Kenly melawan dan memukuli teman-temannya. John yang mencoba melerai terkena getahnya. Kalung berharga miliknya terjatuh ke jurang, tepat di samping tubuh Olivia. Karena kesal, ia pun langsung menghantam tubuh Kenly dengan kayu hingga pingsan.

Kembali ke rumah, Kiko mengikat Kenly di dalam gudang agar tidak lagi berbuat ulah. Saat Richalaine keluar dari gudang, ia melihat Mang Pedring berada di samping tubuh Olivia yang terbaring di sofa (setelah dibawa oleh Kiko dkk). Mengira Olivia dibunuh oleh teman-temannya, Mang Pedring bergegas keluar dari rumah dan mengunci semua pintu rumah dari luar.

Berada dalam rumah yang terkunci membuat mereka semua makin panik dan saling menuduh. Apalagi setelah ada seseorang yang ternyata membunuh Kenly. Keadaan pun makin kacau. Satu demi satu menemui ajalnya. Termasuk Richalaine, Gerard, dan Justin.

John yang sebelumnya berhasil kabur tiba-tiba muncul kembali dan membukakan pintu rumah untuk Kiko dan Eunice. Ia memberitahu mereka bahwa ada kapal tersembunyi di pantai. Saat menuju ke sana, Kiko yang curiga kenapa John bisa memiliki kunci rumah akhirnya menyerang John. Insiden tersebut membuat John terjatuh ke dalam sebuah terowongan rahasia di bawah tanah.

Di pantai, Kiko dan Eunice menemukan kapal yang dimaksud John. Dengan demikian, John tidak berbohong dan ia bukanlah si pembunuh. Saat sedang menyiapkan kapal untuk berlabuh, terdengar panggilan masuk dari handy talkie yang dibawa Eunice. Adalah Olivia yang meminta pertolongan dari rumah.

Setibanya di rumah, keduanya menemukan Olivia dalam kondisi baik-baik saja. Eunice tidak menyadari keanehan tersebut karena senang sahabatnya selamat. Namun tidak dengan Kiko. Saat tengah memberitahu Eunice bahwa pembunuh sebenarnya adalah Olivia, sebuah tusukan pisau mendarat di punggung Kiko. Tentu saja, Olivia pelakunya.

Kejar-kejaran antara Olivia dan Eunice berlanjut hingga ke ujung jurang. Di saat genting, John muncul dengan dronenya, membuat Olivia terpeleset. Eunice secara reflek menangkap lengan Olivia dan menahannya agar tidak terjatuh ke jurang. Kendati demikian, pada akhirnya Olivia melepaskan diri karena tidak ingin Eunice ikut terseret jatuh ke jurang.

Setelah ditolong oleh John, handy talkie Eunice kembali berbunyi. Kali ini Kiko yang memanggil. Ketiganya pun berlayar meninggalkan pulau dengan selamat.

Tanggal Rilis: 12 Juli 2017
Durasi: 109 menit
Sutradara: Topel Lee
Produser: Charo Santos-Concio, Malou N. Santos
Penulis Naskah: Enrico C. Santos, Carmel Josine Jacomille, RJ Panahon, Justine Reyes de Jesus, Kenneth Lim Dagatan, John Paul Abellera
Produksi: Star Cinema
Pemain: Janella Salvador, Elmo Magalona, Empoy Marquez, Jane Oineza, Diego Loyzaga, Sofia Andres, Ronnie Alonte, Maris Racal, Yves Flores

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Entah karena kebetulan sama-sama mengikuti format film slasher pasaran atau ada unsur contek menyontek, sepanjang durasi film “Bloody Crayons” seperti tidak ubahnya menonton film produksi lokal yang bergenre serupa. Formatnya benar-benar mirip. Seperti menggunakan template yang sama dengan sedikit modifikasi di sana sini.

Mulai dari sekelompok remaja kota yang over kegirangan saat melihat pantai, dialog yang tidak jelas, akting yang di beberapa bagian sulit diabaikan kalau dibuat-buat, pelaku utama yang tertebak di awal, dan lain sebagainya. Tidak lupa juga sesi cuci mata, walau anehnya, di sini yang ditonjolkan justru tubuh para pemeran PRIA-nya. Padahal artis-artis wanitanya lumayan cakep dan seksi. Agak geli jadinya.

Permainan bloody crayons yang disebut sebagai variasi truth or dare sebenarnya lumayan bikin saya penasaran. Sayang hanya disajikan sekilas dengan penjelasan yang kurang rapi. Ujung-ujungnya, belokan yang menuju ke titik balik cerita (tewasnya Marie) malah jadi berantakan.

Salah satu yang bikin ilfil adalah adegan-adegan pertarungan yang sangat dipaksakan. Terlihat dibuat-buat dan tidak tegas. Terlebih saat ada karakter wanita yang terlibat. Sebagian bagai gerakan slow motion yang didramatisir namun gagal memberi efek dramatis.

Keseluruhannya dibalut dengan naskah yang kualitasnya di bawah standar. Dialog bodoh bertebaran dimana-mana. Saya bahkan tidak bisa mendefinisikan apakah karakter utama Eunice adalah sosok yang cerdas atau tolol…

Penutup

Film “Bloody Crayons”, bagi saya pribadi, memberi sebuah pelajaran yang berarti. Naskah ajaibnya mengingatkan saya bahwa orang bukan hanya bisa bertindak di luar nalar karena cinta. Melainkan juga karena persahabatan. Sayangnya, secara keseluruhan film ini belum mampu membuat saya tertarik untuk menjadi sahabatnya. Lebih lebih jatuh cinta. 3/10.

Catatan: rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi

rf bloodycrayons

Leave a Reply