Satu lagi manga yang sukses membuat bangun saya kesiangan karena begadang menyelesaikan membaca keseluruhan chapter yang ada. “The Drifting Classroom” (漂流教室, Hyōryū Kyōshitsu) judulnya. Ditulis sekaligus diilustrasikan oleh Kazuo Umezu, serial yang dipublikasikan pada tahun 1972 hingga 1974 oleh Weekly Shōnen Sunday (versi chapter) dan Shogakukan (versi volume) ini sempat menyabet penghargaan 20th Shogakukan Manga Award untuk kategori umum di tahun 1974.
Bukan tanpa alasan manga ini bisa menjadi juara. Ceritanya yang menarik membuat popularitasnya melambung. Bahkan sudah dua kali diadaptasi ke versi live action. Yang pertama di layar lebar, pada tahun 1987, dengan judul yang sama. Pemeran utamanya adalah Hayashi Yasufumi dan Aiko Asano. Meski masih mengambil lokasi di Jepang, tepatnya di Kobe, hampir seluruh dialog dalam film in menggunakan bahasa Inggris.
15 tahun kemudian adaptasi yang kedua hadir dalam versi dorama (serial TV) dengan judul “The Long Love Letter”. Settingnya mengalami beberapa perubahan dan lebih berfokus pada kisah percintaan di antara dua karakter utama yang diperankan oleh Takako Tokiwa dan Yōsuke Kubozuka.
Nah, penasaran kan seperti apa ceritanya?
Sinopsis Singkat The Drifting Classroom
WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!
Sho Takamatsu adalah seorang anak kelas 6 SD. Umumnya anak berusia tersebut, suatu hari ia marah-marah dengan ibunya gegara mainannya dibuang. Padahal malam sebelumnya, Sho menghabiskan uang tabungannya untuk membelikan jam tangan bagi ibunya. Sementara itu, sang ibu juga sebenarnya diam-diam membelikan hadiah mainan mobil idaman Sho.
Tanpa disangka, hari itu merupakan hari terakhir Sho bisa melihat wajah ibunya. Sebuah gempa bumi besar terjadi dan, entah bagaimana, melemparkan satu area sekolah beserta semua yang ada di dalamnya ke masa depan. Yang jadi masalah, masa depan yang mereka hadapi adalah masa depan yang suram dimana seluruh dunia sudah berubah menjadi lautan pasir.
Konflik mulai bermunculan. Orang-orang dewasa yang panik sehingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan diri mereka, anak-anak kecil yang sedikit sedikit ketakutan dan menangis, hingga beberapa pihak yang mencoba menguasai keadaan dengan cara apa pun.
Biasa saja? Jangan lupa. Kejadian ini terjadi di sebuah SEKOLAH DASAR. Dan ini faktor utama yang membuat cerita jadi terasa lebih mencekam ketimbang jika kejadian serupa terjadi pada mereka yang rentang usianya lebih tinggi.
Sho dkk tidak hanya harus berusaha untuk kembali ke masa lalu, melainkan juga harus beradaptasi dengan kondisi dunia di masa depan. Mulai dari makhluk-makhluk mutan, wabah penyakit, cuaca yang tidak menentu, dan yang paling parah adalah perubahan psikologis sebagian orang yang drastis akibat tidak bisa lagi berpikir jernih.
Di tengah permasalahan itu, salah satu siswi, Nishi Ayumi, ternyata memiliki kekuatan supranatural yang mampu menghubungkan Sho (di masa depan) dengan ibunya (di masa lalu). Dua kali Sho ditolong oleh ibunya. Yang pertama tanpa sengaja, yang kedua karena memang Sho yang meminta bantuan.
Di penghujung cerita, setelah mengetahui ada kemungkinan dunia di masa depan bisa pulih seperti semula, Sho dan penghuni sekolah yang tersisa akhirnya menerima keberadaan mereka di sana. Mereka bertekad untuk berjuang demi menghidupkan kembali peradaban manusia, meski harus dimulai kembali dari nol.
Salah satu yang menjadi poin plus bagi manga “The Drifting Classroom” ini menurut saya adalah keberanian Kazuo dalam menghadirkan konflik. Jangan dikira dengan karakter yang kebanyakan masih SD ceritanya bakalan santai. Bunuh-bunuhan digambarkan sudah menjadi hal yang lumrah asal bisa bertahan hidup. Bahkan mendekati akhir ketegangannya semakin terasa. Operasi tanpa anastesi sampai kanibalisme. Ngeri, kan?
Di satu sisi mungkin sulit untuk dipercaya bahwa anak-anak SD bisa melakukan semua itu. Saya juga merasa hal tersebut agak sulit untuk dinalar. Tapi, pada kenyataannya, di saat terdesak manusia memang mampu untuk melakukan apa saja. Itu sudah kodratnya.
Ditambah dengan tingkat stress di Jepang yang tergolong tinggi. Tidak hanya bagi orang dewasa, melainkan juga anak-anak dan remaja. Pernah ada sebuah berita yang menyatakan bahwa selama periode tahun 2016-2017 terdapat 250 kasus bunuh diri di kalangan pelajar SD hingga SMP. Wow.
Yah, apapun itu, bagi teman-teman yang suka dengan manga bergenre survival seperti “Cage of Eden” atau “Dr. Stone” yang minggu lalu dibahas, jangan sampai melewatkan “The Drifting Classroom”, ya. Dijamin gak nyesel 🙂
Leave a Reply