Belakangan ini sedang marak kasus bullying yang terjadi di masyarakat, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Baru-baru ini misalnya, terjadi pem-bully-an yang dilakukan oleh sejumlah siswa dan siswi SMP terhadap pelajar SD di Thamrin City. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kasus yang hampir mirip terjadi pula di Universitas Gunadarma. Belum ditambah dengan peristiwa-peristiwa intimidasi dan juga persekusi yang terjadi sebelumnya.
Lalu apa hubungannya dengan “35-sai no Koukousei”?
Sebelum itu, mari kita bahas satu persatu pengertiannya terlebih dahulu.
Menurut Wikipedia:
Penindasan (bahasa Inggris: Bullying) adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan.
Pada tingkat yang lebih parah, penindasan dapat berujung pada persekusi. Tapi kali ini kita tidak akan membahasnya, hanya fokus pada bullying saja. Nah, di sinilah menariknya dorama “35-sai no Koukousei (35歳の高校生)”.
Dibintangi oleh Ryoko Yonekura, drama yang tayang pada tahun 2013 lalu ini bercerita tentang seorang wanita berumur 35 tahun bernama Ayako Baba yang tiba-tiba kembali melanjutkan sekolahnya, tepatnya di kelas 3 SMA Kunikida High. Dengan masa lalunya yang misterius, Ayako yang dulunya juga pernah menjadi korban bullying, berusaha untuk menyelesaikan secara aktif segala permasalahan yang ada di kelas dan sekolahnya, terutama yang berkaitan dengan penindasan dan intimidasi yang terjadi.
Itu saja? Tidak. Yang menarik di sini adalah bagaimana Masahiro Yamaura dan Yuya Takahashi sebagai penulis naskah mampu memandang berbagai kasus tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dengan menyimak ke-11 episode serial yang dulunya tayang di stasiun TV NTV ini, kita bisa belajar memahami bahwa terjadinya kasus-kasus tersebut tidak selalu bersumber dari buruknya kepribadian para pelaku saja, melainkan bisa juga berasal dari pihak-pihak lain yang ‘memprovokasi’ mereka tanpa disadari. Termasuk guru dan orang tua.
Pihak guru pun digambarkan tidak luput dari intimidasi. Dalam episode 4, dikisahkan salah seorang guru diperlakukan secara tidak adil oleh wakil kepala sekolah dan rekan-rekannya yang lain. Hal itu berujung pada waktunya yang habis terbuang dan tidak lagi mampu mengajar dengan optimal. Ujung-ujungnya, kelas menjadi tidak terkendali dan membuatnya menjadi makin tertekan.
Di Indonesia sendiri sepertinya belum pernah ada kasus guru yang terang-terangan mengaku mengalami hal tersebut dari sesama pengajar, tapi sempat terpikir, mungkinkah insiden-insiden guru yang bertindak ‘kelewatan’ yang belakangan juga acap terjadi, adalah bersumber dari intimidasi yang dilakukan oleh rekan kerjanya?
Eniwei, saya pribadi berharap para orang tua, pengajar, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan pendidikan bisa menyempatkan diri untuk menonton hingga tuntas jdrama “35-sai no Koukousei” ini. Jika karakter utamanya terasa aneh (karena sudah berumur), abaikan saja dan fokus pada pembahasan kasus-kasus bullying yang diangkat di dalamnya. Siapa tahu, tanpa disadari, kita malah berpotensi menyebabkan terjadinya kasus tersebut…
P.S.: Di salah satu episode sempat disinggung tentang serial “Nobuta wo produce (野ブタ をプロデュース)” yang sepertinya tidak kalah menariknya. Semoga ada waktu luang untuk segera menontonnya.
Leave a Reply