Saya adalah penggemar berat cerita dongeng. Khususnya fabel (yang menggunakan binatang sebagai tokoh utama) dan cerita tradisional. Saking demennya, berburu buku serupa menjadi salah satu aktivitas saya saat traveling ke luar negeri. Buktinya, nih, lihat aja penampakan dua di antaranya, hehehe. Yang kiri, “Traditional Vietnamese Trickster Tales”, saya beli di stand jalanan kota Hanoi, Vietnam; sedang yang sebelah kanan, “Tales From Sri Lanka – Folk and History”, saya beli di sebuah mall di kota Kandy, Sri Lanka.
Alasan utama saya suka membaca buku-buku semacam ini adalah saya bisa belajar banyak tentang kehidupan tanpa merasa sedang digurui. Saya percaya ada hikmah yang bisa diambil dari semua cerita. Baik buruknya, positif negatifnya, besar kecilnya, tergantung dari sudut pandang serta cara kita menyikapi cerita dongeng yang bersangkutan. Kalau dari awal sudah skeptis, alias tidak suka membacanya, ya sudah pasti bakal terasa hambar dan tidak berarti.
Itu sebabnya kebiasaan membaca sangat perlu ditekankan sejak dini. Faktanya, meski mayoritas penduduk Indonesia bisa membaca dan menulis (96,76%, data Literacy Rate UNESCO tahun 2018), namun minat bacanya justru sangat rendah. Hanya sekitar 1% saja menurut data World’s Most Literate Nations yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University (CCSU). Kebetulan tema skripsi saya beberapa tahun lalu juga berkaitan dengan baca membaca, sehingga bisa saya amini bahwa data barusan cukup valid.
Oh ya, sebelum dilanjut, sumber referensi data yang saya sebut barusan bisa ditemui di alamat berikut:
– http://data.uis.unesco.org/index.aspx?queryid=166
– https://www.ccsu.edu/wmln/rank.html
Selain hobi membaca dongeng, ada masa dimana saya sempat ‘terobsesi’ untuk menjadi penulis cerita motivasi. Terutama yang menggunakan binatang dan superhero sebagai tokoh utamanya. Tujuannya adalah agar cerita tersebut bisa diterima oleh semua pihak.
Total ada belasan kisah dongeng yang pernah saya tulis. Dulu saya tuangkan dalam sebuah situs web. Tapi seiring berjalannya waktu, situs tersebut saya tutup. Namun tidak dengan tulisan-tulisan saya di sana. Masih tersimpan hingga sekarang. Salah satunya bisa disimak di bawah ini.
Duh, kok kemaraunya gak berhenti-berhenti yah”, keluh Kaka si kancil.
“Iya nih”, jawab Kuri si kura-kura lirih, “kalau begini terus dua tiga hari lagi persediaan makanan kita bakal habis.”
Kaka dan Kuri memang tinggal bersama. Mereka membuat rumah yang cukup nyaman di dalam sebuah gua kecil. Di sekitar gua sejatinya banyak ditumbuhi tanaman-tanaman yang menjadi pengisi perut mereka sehari-hari. Namun sayangnya, sejak beberapa minggu terakhir ini, panas yang berkepanjangan melanda, sehingga sedikit demi sedikit tanaman yang ada mati kekeringan.
“Coba kita bisa memancing seperti pak Beri Beruang”, lanjut Kuri, “pastinya kita tidak perlu pusing seperti ini.”
BRAKKKK!!!!
Kaka tiba-tiba meloncat dari kursinya hingga tidak sengaja menjatuhkan kursi tersebut.
“Aku ada ide!”, teriak Kaka dengan semangat ”45.
“Ada ide ya ada ide”, gerutu Kuri yang sempat jantungan gara-gara ulah Kaka tadi, “tapi jangan bikin aku mati muda dong
“Dengar dulu”, potong Kaka sebelum Kuri melanjutkan omelannya. “Bagaimana kalau kita minta ikan ke pak Beri? Kan seringkali dia dapat ikan banyak, yang lebih dari jatah makan perut gendutnya. Pasti bakal diberi deh.”
“Memangnya kita akan minta-minta ikan terus ke dia? Lama-lama juga pasti pak Beri gak akan mau memberi ikan ke kita.”, jawab Kuri sambil membetulkan kursi yang tadi terjatuh. Lanjutnya, “Lebih baik kita minta diajari cara memancing ikan saja.”
“Ah, tahu sendiri kan pak Beri seperti apa sifatnya”, tukas Kaka. “Galak. Bicaranya keras, tapi susah dicerna maksudnya. Mendingan minta langsung aja. Lagipula aku malas kalau harus belajar segala.”
Kaka melangkah mendekati jendela. Matanya berbinar-binar nakal.
“Nanti aku akan cari alasan yang berbeda setiap harinya agar pak Beri mau memberikan ikan kepadaku.”, katanya. “Gimana Kur, setuju tidak?”
Kuri termenung. Di satu sisi, ia membayangkan nikmatnya duduk santai di tepi jalan setapak ke sungai sambil menunggu pak Beri lewat membawa hasil pancingannya. Ia kenal Kaka sejak lama. Kawannya yang cerdas ini pasti dapat menemukan cara untuk membuat satu dua ikan pak Beri berpindah tangan.
Di sisi lain, ia tidak ingin hanya berpangku tangan dan bergantung kepada binatang lain. Ia juga ingin dapat memancing ikan sendiri sehingga tidak kebingungan apabila suatu saat kemarau datang lagi.
“Hei, kok malah melamun”, ujar Kaka sambil mendorong pelan tempurung Kuri.
“Aku tidak ikutan deh”, jawab Kuri.
“Loh kok…”
“Iya, aku ingin coba memancing saja. Pasti terasa lebih lezat kalau ikannya hasil pancinganku sendiri”.
Mata Kaka tercenung. Ia menatap tajam ke arah Kuri. Beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
“HAHAHAHAH!!! Kamu bercanda kan? Memangnya kamu mau belajar darimana? Pak Beri? Bisa tambah lapar kalau kamu kelamaan ngobrol dengan dia!”, kata Kaka lantang. “Lagipula”, lanjutnya, “semua binatang di hutan ini kan tahu kalau kamu itu lambat berpikirnya.”
Kuri tersenyum mendengar sindiran Kaka.
“Biar saja”, jawabnya. Pede. “Aku yakin kalau aku berusaha pasti aku akan bisa”.
Begitulah. Keesokan harinya, Kuri mulai mengikuti dan mengamati pak Beri yang sedang memancing. Ia kemudian mencoba untuk membuat tongkat pancingnya sendiri dan menanyakan kepada pak Beri, apakah kailnya sudah benar atau belum. Dengan tekun ia berusaha memahami apa maksud perkataan pak Beri hingga akhirnya ia berhasil membuat tongkat pancing yang kuat dan kokoh.
Si kancil? Sesuai rencananya, Kaka menunggu di ujung jalan hingga pak Beri lewat dan mengiba-iba kepadanya untuk meminta seekor ikan hasil tangkapannya. Dasar cerdik, pak Beri pun tidak kuasa menolak permintaannya.
“Lihat nih,” ujar Kaka pada Kuri sesampainya di rumah, “ikan pemberian pak Beri. Besar bukan? Pasti lezat jika dibumbu rujak dan dimakan dengan sambal mangga. Mana ikanmu?”
Kuri menunjukkan kail buatannya dengan bangga.
“Nih”, katanya sambil tersenyum. “Hari ini aku memang belum bisa membawa ikan, tapi aku sudah bisa membuat tongkat pancingku sendiri.”
“Terserahlah,” tukas Kaka. “Kok mau-maunya sih repot begitu.”
Hari demi hari berlalu. Kuri terus berusaha untuk belajar tehnik memancing ikan dari pak Beri. Mulai dari memilih umpan, mencari tempat yang banyak ikannya, hingga cara menarik ikan agar tidak terlepas dari kaitannya. Kaka pun melalui hari-harinya dengan seribu satu alasan untuk dapat menaklukkan hati pak Beri.
Lama kelamaan, pak Beri pun jenuh. Ia tidak mau lagi memberikan ikannya kepada Kaka meskipun Kaka sudah memohon sambil berguling-guling di tanah. Sebaliknya, Kuri semakin ahli dalam memancing dan sudah dapat menangkap ikan sendiri. Melihat Kaka yang menangis tersedu-sedu karena tidak mendapatkan makanan hari itu, Kuri pun membagikan ikan hasil tangkapannya pada Kaka.
“Tuh kan, benar yang aku bilang”, kata Kuri bijak. “Lebih baik kita berusaha sendiri daripada selalu bergantung kepada orang lain. Meskipun kelihatannya susah, jika terus mencoba, pasti kita akan bisa.”
Kaka mengangguk perlahan. Kali ini dia setuju dengan pendapat Kuri.
Bagaimana menurut teman-teman? Menarik tidak cerita dongengnya, hehehe. Pernah kepikiran untuk mengemasnya dalam bentuk buku digital. Bahkan sudah sempat daftar ke Google Play Books segala (dan diterima). Tapi yah, belum ada waktu untuk mewujudkannya (baca: malas).
Leave a Reply