Bagi saya pribadi, Bali adalah salah satu tempat yang istimewa. Sudah berkali-kali ke sana namun tetap saja masih merasa kurang. Ketagihan untuk balik lagi. Suasananya, budayanya, pantainya, hingga aneka makanan khas Bali. Semuanya ngangenin. Setelah Surabaya dan Yogyakarta, bisa dibilang Bali adalah wilayah ketiga di Indonesia dimana saya merasa sedang berada di kampung halaman sendiri. Tempat dimana saya merasa nyaman dan menikmati setiap detik yang saya lewati.
Padahal kalau boleh jujur, pengalaman saya pertama ke pulau dewata bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk diingat. Waktu itu kami sekeluarga mengendarai mobil pribadi, PP Surabaya – Bali. Dalam perjalanan pulang, cuacanya lumayan buruk. Ditambah dengan jalanan dari Kuta menuju penyeberangan Gilimanuk yang berliku dan naik turun. Saya yang saat itu masih kecil hanya bisa meringkuk di kursi belakang sambil ketakutan.
Tapi yah, mungkin memang sudah takdirnya kalau saya harus cinta pada Bali. Meski tidak lama, saya juga pernah tinggal selama hampir sebulan di sana. Di sebuah penginapan di jalan Bakung Sari atau Tegal Wangi. Saya lupa persisnya. Kala itu sebenarnya diniatkan untuk tinggal selama minimal 3 bulan. Sayangnya, karena sebulan sebelumnya terjadi tragedi bom bali, semua kos-kosan yang saya datangi menolak begitu tahu saya muslim. Bisa dimaklumi sih. Untung masih ada gantinya, penginapan dengan biaya per malam hanya Rp 75.000,- saja.
Seringnya menjelajah Bali membuat saya sudah cukup kenyang dengan berbagai tempat wisatanya. Baik yang touristy maupun yang masih perawan. Ke Taman Festival yang katanya horor itu saja sudah pernah.
Pun begitu dengan aneka kuliner khasnya. Ada tiga yang menurut saya enak dan wajib untuk dicoba saat liburan di sana.
Yang pertama adalah ayam betutu. Pertama kali mencicipinya ayam yang pedas dan kaya akan rempah ini justru di Surabaya. Karena ketagihan jadi penasaran dengan yang ada di daerah asalnya. Dan ternyata jauh lebih enak lagi. Kunci kelezatannya bisa dibilang berasal dari cara memasaknya, dimana bumbu diolah dan dimasukkan ke dalam perut ayam, lantas ayam dipanggang seharian dengan menggunakan bara api.
Yang kedua adalah nasi campur ayam bali. Saya mengenal kuliner ini dari ibu saya. Saat berlibur bersama keluarga, ibu saya tiba-tiba request untuk makan siang di Warung Wardani, salah satu rumah makan legendaris yang terkenal akan menu nasi campur tersebut. Pilihan ibu saya tepat karena meski pada saat itu harus antri untuk mendapatkan meja, saya sama sekali tidak menyesal sudah menyantap hidangan yang umumnya terdiri atas sate lilit, lawar ayam, srambotan, ayam betutu, dan sambal matah.
Yang ketiga adalah nasi jinggo. Bisa dibilang ini adalah nasi kucing versi Bali. Sebagai penggila nasi bungkus, sudah tentu yang satu ini jadi favorit saya. Mencarinya pun tidak sulit karena, seperti layaknya penjual nasi bungkus di kota-kota besar, di pinggir jalan pun bisa kita temui penjual nasi jinggo keliling. Saat beberapa tahun lalu ‘tinggal’ di Bali, setiap pagi saya pasti jalan kaki ke pantai Kuta atau ke arah pertigaan Jl. Raya Kuta dan Jl. Pantai Kuta untuk mencari penjual nasi ini.
Meski dari segi isi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nasi bungkus atau nasi kucing biasa — yaitu nasi, ayam suwir, mi goreng, dan tempe — namun entah kenapa saya merasa ada sesuatu yang berbeda saat menyantap nasi jinggo. Saya tidak bisa menjelaskan secara detil secara tidak akrab dengan dunia masak memasak. Mungkin ada teman-teman yang tahu?
Leave a Reply