“Secret” (シークレット, Shīkuretto) adalah karya ketiga dari Yoshiki Tonogai yang ide ceritanya masih memiliki benang merah dengan “Rabbit Doubt” (2007) dan “Judge” (2010). Dibandingkan manga buah karyanya sebelumnya, “Secret” punya cerita yang lebih singkat. Hanya terdiri dari 18 chapter atau 3 volume saja. Chapter pertamanya sendiri terbit pada tanggal 12 Oktober 2013 di majalah bulanan Monthly Shōnen Gangan (Square Enix) dan berakhir sekitar 2.5 tahun kemudian, atau tepatnya pada 12 Februari 2015.
Sinopsis Singkat
Sebuah kecelakaan bus menewaskan hampir seluruh penghuni kelas 3-D. 6 orang yang selamat adalah Iku Sanada, Rika Konno, Eiji Amano, Tsuyoshi Odzu, Ryoko Kunikida, dan Yukito Shima. Selain itu, Shun Futami, siswa lain yang selamat, karena kebetulan sakit dan tidak ikut dalam kegiatan tersebut, diketemukan tewas bunuh diri beberapa hari setelah kejadian.
Beberapa waktu berselang, Shinichi Mitomo, guru konseling mereka, memberitahu bahwa ada 3 kasus pembunuhan yang sebenarnya terjadi dalam insiden kecelakaan bus. Para pelakunya ada di antara 6 orang murid yang selamat. Ia memberikan waktu 1 minggu bagi mereka untuk mencari siapa pelakunya sebelum ia melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Review Singkat
Meski lebih tragis, saya merasa nuansa yang dibangun dalam keseluruhan cerita “Secret” ini tidak seberat “Doubt” dan “Judge”. Yoshiki juga tidak terlalu pusing menyembunyikan fakta adanya permainan di balik semua kejadian yang ada. Sudah langsung terpampang nyata. Kita pun cukup menikmati saja jalan cerita yang ada, terutama fakta-fakta di balik dua dari tiga pembunuhan yang terjadi.
Secara konsep memang tidak terlalu mirip dengan dua karya Yoshiki sebelumnya. Bisa dibilang hanya keberadaan topeng kelinci saja sebagai benang merahnya. Tidak ada unsur ketegangan yang sama, mengingat para karakter tidak dalam kondisi disekap atau (terlalu) diburu waktu. Masih bisa jalan-jalan santai dan sebagian terlihat tidak terlalu pusing dengan ‘ancaman’ dari sang guru.
Untuk artwork, masalah gelembung dialog yang sama masih terjadi, namun tidak separah “Judge”. Yah, mungkin juga karena ceritanya memang tidak seberat “Judge”, jadi masih bisa dikira-kira siapa yang sedang berbicara.
Toshiki mampu menyembunyikan twist soal kedua pembunuhan yang terjadi dengan baik. Walau lebih tepatnya, pembaca memang diajak untuk mengikuti dan menikmati saja alur ceritanya, tanpa diberi kesempatan untuk menebak-nebak siapa pelakunya. Mungkin bisa menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan, tapi bagi saya pribadi ini adalah karya terburuk Yoshiki.
Leave a Reply