Di cerita sebelumnya, Rufi diutus oleh kakek Tore untuk mengantarkan Libi kembali ke hutan di dataran tinggi. Dalam perjalanan mereka sempat bertemu dengan Pino dan Poni, dua ekor tupai kecil yang tengah mengumpulkan bunga untuk bahan obat ibunya yang sakit keras. Rufi membantunya namun apesnya ia terkena sengatan seekor lebah. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Simak kelanjutan Petualangan Rufi Rusa dalam dongeng “Soni Semut dan Kebun Pak Beri” berikut ini.
Perkenalan Karakter
Karakter utama dalam dongeng motivasi kali ini adalah Rufi, Libi, Soni, dan pak Beri.
Rufi, rusa jantan remaja beranjak dewasa. Hampir berumur 20 tahunan jika disetarakan usia manusia. Cekatan, ulet, dan suka berpikir. Yatim piatu.
Libi, musang jantan, sepantaran Rufi. Terkenal licik dan suka menipu di hutan. Tidak suka bersosialisasi jika tidak ada untungnya bagi dia.
Soni, semut hitam jantan. Salah satu yang terkuat di antara rekan-rekannya. Tinggal bersama kelompok semut lainnya di pinggir hutan, dekat TPS (Tempat Pembuangan Sampah).
Pak Beri, beruang tua jantan. Hidup menyendiri. Handal dalam urusan berkebun dan memancing. Tatapannya tajam dan bicaranya sedikit ketus, namun sebenarnya baik hati dan suka menolong binatang lain yang kesusahan.
Soni Semut dan Kebun Pak Beri
— Tiga hari sebelum bendungan jebol —
Soni Semut melangkahkan kakinya dengan bersemangat ke arah kebun Pak Beri Beruang. Kemarin, pak Beri menjanjikan pekerjaan di kebunnya. Kebetulan sekali karena memang sudah 4 minggu terakhir ini Soni resmi menjadi pengangguran. Uang simpanannya pun sudah ludes gara-gara dipakai untuk bermain forex.
“Hei Soni, di sini!”, panggil pak Beri dari kejauhan.
Soni segera berlari kecil ke arah tengah kebun, tempat pak Beri berdiri.
“Akhirnya datang juga kamu”, ujar pak Beri ramah, “Bagaimana, yakin mau bekerja di kebunku ini?”
“Yakin pak! Lagipula ya mau gimana lagi, kalau gak kerja, aku gak tahu besok-besok mau makan apa. Uang di kantong cuman cukup untuk makan hari ini aja. Itu pun sekedar untuk beli nasi dan kecap.”, jawab Soni Semut memelas.
“Baiklah kalo begitu. Kamu ingat kan apa yang harus kamu lakukan? Seperti yang kamu lihat sendiri, di bagian sebelah barat kebun ini banyak pohon-pohon beringin yang tumbuh. Aku ingin pohon-pohon tersebut ditebang dan disingkarkan, agar aku bisa segera menyiangi dan menanami seluruh kebun ini dengan wortel.”
“Siap bos!”, tegas Soni sembari menurunkan tas ransel dari balik punggungnya dan mengeluarkan sebuah kapak yang tampak berkilau memantulkan sinar matahari. “Semalaman aku sudah mengasah kapak warisan kakek moyangku ini. Aku yakin tidak butuh waktu lama untuk menebang pohon-pohon tersebut.”
“Bagus kalo begitu. Jadi seperti penjanjian kita kemarin, aku akan membayarmu berdasarkan jumlah pohon yang kamu tebang ya?”
“Iya pak. Aku segera mulai bekerja sekarang!”, jawab Soni sambil melangkahkan kakinya ke arah barat.
— Lima hari sesudah bendungan jebol —
Rufi Rusa berjalan gontai sambil mengusap-usap lengan kirinya. Bekas gigitan lebah beberapa waktu lalu terasa semakin gatal dan nyeri. Benjolannya pun juga terlihat semakin besar dan berwarna merah.
“Lengan kirimu tampak seperti lengan Popeye”, celetuk Libi Musang tiba-tiba.
“Ah kamu bisa aja”, kata Rufi, “Gak tau juga nih kenapa. Mungkin begitu sampai hutan tempat tinggalmu aku akan memeriksakannya pada dokter”.
Libi tidak menjawab. Ia kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Semain dekat dengan hutan tempat tinggalnya, jantungnya semakin berdegap kencang. Ia tahu kemarin ia sudah membuat si kecil Cabi Babi celaka. Terus terang ia ketakutan membayangkan reaksi binatang-binatang di sana jika tahu ternyata ia masih selamat dan berani kembali ke hutan tersebut.
“Hei, lihat”, ujar Rufi menunjuk papan informasi arah yang ada di pinggir jalan, “kita sudah sampai di km15 nih. Berarti besok sore paling lambat kita sudah sampai di hutan tempat tinggalmu.”
Rufi menatap ke arah Libi yang tampak lesu. “Kenapa sih kamu ini? Sudah dekat dengan tujuan kok malah tambah tidak bersemangat. Bukannya kamu ingin cepat-cepat sampai agar tidak perlu terus berjalan bersamaku lagi?”
Libi membisu. Rufi pun terdiam, kebingungan melihat sikap musang itu.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan terdengar suara orang binatang sedang bercakap-cakap. Yang satu suaranya cukup berat. Ketika jarak tinggal beberapa meter, terlihat bahwa yang sedang berbicara adalah seekor beruang dan seekor semut yang sedang membawa kapak besar. Sadar ada yang datang, kedua binatang tersebut menoleh ke arah Rufi dan Libi.
“Loh, Libi? Libi Musang???”, si beruang itu tampak kaget melihat sosok Libi. “Kamu selamat?”
Libi mengerutkan badannya dan takut-takut menatap ke arah si beruang. “I… i… iya, pak Beri. Aku baik-baik saja”.
“Wah, bagus lah kalau begitu. Begitu mendengar kabar kamu hanyat terbawa arus bendungan, aku sudah khawatir akan keselamatanmu”, ujar pak Beri lega. “Teman-teman di hutan juga mengkhawatirkanmu loh. Ya kan Soni?”
“Iya Libi”, jawab Soni Semut. “Untung saja kamu ternyata tidak apa-apa”.
Libi hanya terdiam. Ia masih sulit percaya bahwa binatang-binatang di hutan mengkhawatirkan dirinya. Apalagi dia sadar bahwa selama ini sifat dan kelakukannya terhadap penduduk hutan tidak bisa dibilang baik.
“Perkenalkan, aku Rufi”, ujar Rufi sembari menyodorkan tangannya, bergantian ke arah pak Beri dan Soni. “Kebetulan waktu itu Libi terdampar di daerah tempat tinggal kelompok rusa, jadi aku mewakili teman-teman yang lain membantu mengantarkan Libi kembali ke kampung halamannya.”
“Baik sekali kamu Rufi. Hutan kami sudah dekat kok, tinggal beberapa km lagi. Tapi karena sekarang sudah sore, mungkin besok siang kalian baru sampai di sana. Eh ngomong-ngomong, mau beristirahat sebentar? Kebetulan aku bawa bekal makanan dan minuman, cukup untuk kita nikmati bersama.”
“Wah, jadi gak enak nih pak”, senyum Rufi.
“Ah sudah, santai saja. Teman Libi adalah teman kami juga kok”.
Pak Beri dan Soni kemudian membagikan bekal yang mereka bawa kepada Rufi dan Libi. Lumayan lengkap, ada nasi bungkus, tahu tempe penyet, pisang, apel, dan susu. Dengan penuh semangat Rufi melahap makanan tersebut. Beda dengan Libi yang ogah-ogahan menyendoknya.
“Oh iya, pak”, tiba-tiba Rufi berkata, “tadi kami dengar sepertinya kalian berdua sedang membahas suatu hal yang seru yah.”
“Oh itu,” jawab pak Beri sambil meraih sebuah apel merah, “Nggak juga sih. Aku hanya memberi sedikit nasihat kepada si Soni ini.”
Soni menundukkan kepalanya, malu.
“Begini”, papar Soni, “sebenarnya sudah seminggu ini aku bekerja di kebun pak Beri. Menebang pohon-pohon beringin itu”, tangan Soni menunjuk ke arah barat kebun. “Hari pertama semuanya lancar, aku berhasil menebang 5 pohon sekaligus. Namun ternyata, di hari-hari berikutnya, jumlah pohon yang aku tebang malah terus menurun. Hari ini bahkan tidak ada sama sekali. Padahal, aku sudah bekerja dan berusaha lebih keras. Pagi hari sebelum berangkat kerja pun aku minum minuman penambah stamina ini”, lanjut Soni sambil mengeluarkan botol minuman bergambar dua banteng dari tas ranselnya.
“Wah, kok bisa begitu,” tanya Rufi heran. “Bukankah semakin serius dan semakin keras kita bekerja, maka hasilnya juga akan semakin bagus”.
“Ya begitulah,” jawab Soni Semut, “aku juga heran. Sampai akhirnya tadi pak Beri memberi pencerahan kepadaku”.
“Memangnya kenapa pak? Apa yang salah dengan yang dilakukan Soni?”, tanya Rufi penasaran.
Pak Beri tersenyum. “Jadi sebenarnya begini”, tangannya meraih buah pisang berwarna kuning keemasan, “Soni ini terlalu bersemangat dalam bekerja hingga ia melupakan satu hal yang penting.”
“Apa itu?”
“Istirahat”, jawab pak Beri. Lanjutnya, “Karena hanya memikirkan kerja, setiap sampai di rumah ia langsung tidur dan besoknya langsung bekerja lagi. Padahal sebenarnya beristirahat juga penting. Apalagi pada bidang pekerjaan yang sedang ia lakukan saat ini. Gara-gara tidak mau beristirahat, ia juga lupa untuk mengasah kapaknya. Kapak yang sering dipakai kan semakin lama akan semakin tumpul, sehingga harus sering diasah. Karena Soni mengabaikannya, maka, meskipun sudah berusaha lebih keras pun hasilnya sama saja atau bahkan lebih buruk.”
Rufi dan Soni mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
“Ternyata terlalu rajin bekerja juga tidak baik ya?”, tanya Rufi sambil merenung.
“Ya begitulah”, jawab pak Beri sambil mengambil jatah buah apel dan pisang milik Libi yang sepertinya tidak ada tanda-tanda untuk dimakan.
Ketiga binatang tersebut pun kemudian sibuk mengobrol, membiarkan Libi yang merenung sendiri. Tiba-tiba terdengar suara lagu Kerispatih dari balik saku celana pak Beri.
“Sebentar ya”, ujarnya sambil mengeluarkan hape Blackberry Bold dari sakunya. Ia pun berdiri dan sedikit menjauh dari tempat mereka makan untuk menerima telpon tersebut. Tanpa disadarinya, selembar kertas ikut tertarik keluar dari saku celananya dan jatuh di depan Rufi.
“Apa nih?”, tanya Rufi. Ia mengambil kertas tersebut dan di baliknya terlihat foto pak Beri sedang berdua dengan seekor berang-berang. Soni dan Libi melirik ke gambar yang ada di foto tersebut dan spontan mereka berdua menahan nafasnya. Kaget.
Belum sempat Rufi bertanya kepada Libi dan Soni mengenai foto tersebut, pak Beri datang menghampiri dan segera mengambil foto tersebut dari tangan Rufi.
“Ini bukan apa-apa”, ujarnya gugup.
Libi dan Soni pura-pura tidak tahu dan meneruskan makannya, sementara Rufi langsung terdiam. Sadar bahwa apa yang dilihatnya barusan mungkin sesuatu yang bersifat pribadi dan bukan termasuk urusannya.
Sekitar 15 menit kemudian mereka berpisah. Rufi dan Libi melanjutkan kembali perjalanannya ke arah hutan, sedang pak Beri dan Soni meneruskan bekerja di kebun pak Beri.
bersambung…
Moral Cerita
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah:
“Perlu adanya keseimbangan antara bekerja dengan beristirahat. Banyak orang bekerja sampai lupa waktu, sehingga justru menelantarkan keluarga dan dirinya sendiri.”
Cerita ini saya tulis pada tanggal 21 Maret 2009. Arsip publikasi pertama tulisan ini bisa dibaca di: https://web.archive.org/web/20100113195906/http://dongengmotivasi.com/soni-semut-dan-kebun-pak-beri.htm
Leave a Reply