Di cerita sebelumnya, Rufi dan Libi akhirnya tiba di hutan tempat Libi tinggal. Di luar dugaan Libi, warga hutan menyambutnya dengan baik, termasuk Cabi Babi dan bu Gembul Babi. Sementara itu, bekas sengatan lebah di lengan Rufi semakin membengkak. Ia pun berkonsultasi pada dokter Surip yang kemudian memvonis Rufi terkena penyakit EntupanLebahtus yang disebabkan oleh lebah GanasBangetus. Dalam waktu 7 hari nyawanya tidak akan tertolong, kecuali jika ia berhasil mengumpulkan 7 bunga AntiEntupanLebahtus yang berwarna kuning ungu sebagai ciri khasnya. Akankah Rufi berhasil sembuh? Simak kelanjutan Petualangan Rufi Rusa dalam dongeng “Aku Kan Juga Masih Mau Hidup” berikut ini.
Perkenalan Karakter
Karakter utama dalam dongeng motivasi kali ini adalah Rufi, Pino, dan Poni.
Rufi, rusa jantan remaja beranjak dewasa. Hampir berumur 20 tahunan jika disetarakan usia manusia. Cekatan, ulet, dan suka berpikir. Yatim piatu.
Pino, tupai jantan, masih seusia anak-anak 7-8 tahunan. Berbulu hitam dengan garis putih di ekornya. Sangat menyayangi ibunya.
Poni, tupai jantan, adik Pino. Berbulu putih dengan totol-totol hitam di punggungnya. Sangat menyayangi ibunya.
Karakter pendukung dalam cerita kali ini, baik yang ikut terlibat maupun hanya disebutkan namanya, adalah dokter Surip, kakek Tore, dan monyet misterius .
Aku Kan Juga Masih Mau Hidup
— lima hari setelah Libi Musang kembali ke hutan —
Rufi Rusa membolak-balik lembar demi lembar buku ensiklopedia kedokteran berukuran besar dengan resah.
“Hmmmphhh”, desahnya berat, “katanya ensiklopedia terlengkap edisi abad 21, tapi dari tadi info tentang tentang EntupanLebahtus ya gitu-gitu aja. Ini malah ada iklan tentang kontes SEO Stop Dreaming Start Action segala. Buku ensiklopedia gak mutu blas.”
Rasa kesal dan panik bercampur di hati Rufi. Sudah lima hari berlalu sejak dokter Surip memvonis bahwa ia terkena penyakit EntupanLebahtus yang sangat mematikan itu. Dan artinya, jika dalam waktu dua hari ini ia tidak segera meminum obat penangkalnya, ia akan segera mati.
Dalam waktu lima hari ini Rufi memang tidak tinggal diam. Ia sudah memperoleh enam bunga AntiEntupanLebahtus dari tujuh bunga yang diisyaratkan oleh dokter Surip.
Bunga pertama ia dapatkan dari seberang sungai, di samping rumah Bu Beri.
Bunga kedua ia peroleh dengan susah payah di bukit timur hutan yang terjal.
Bunga ketiga ia temukan secara tidak sengaja, terinjak ketika ia sedang berjalan ke arah rumah Horas Kuda.
Bunga keempat ia curi dari kebun bunga bu Tutul Macan, ketika beliau sedang pergi ke pasar untuk berbelanja sayuran segar.
Bunga kelima ia rebut dengan paksa dari tangan seekor anak gorila imut yang sedang bermain-main di pinggir danau.
Bunga keenam ia ambil dari kantong saku pak Hori Harimau, setelah sebelumnya memukul kepala beliau dengan sebatang kayu hingga pingsan.
Dengan kesal Rufi melemparkan buku ensiklopedia ke tembok. Meskipun selama ini ia sudah dilatih untuk selalu berpikir tenang dan rasional, kali ini harus diakui bahwa perasaannya cukup panik. Tidak siap rasanya dihadapkan dengan kematian secara tiba-tiba. Apalagi hanya gara-gara masalah sepele — disengat lebah pada saat menolong dua tupai kecil. Geram hati Rufi jika mengingat kejadian tersebut.
Sekilas ia teringat kembali pada hal-hal yang sudah ia lakukan untuk mendapatkan keenam bunga AntiEntupanLebahtus. Ternyata dokter Surip tidak main-main ketika ia mengatakan bahwa bunga tersebut sulit untuk ditemukan. Separuh dari jumlah bunga yang sudah berhasil ia dapatkan mau tidak mau terpaksa ia peroleh dengan cara yang tidak halal.
Ada rasa bersalah di hati Rufi. Mengingat selama ini kakek Tore selalu mengajarkan agar dirinya mengatasnamakan kebaikan dan kejujuran di atas segalanya. Tapi..
“Bodo ah,” kelit Rufi dalam hati, “kalau aku tidak mengambilnya dengan paksa, darimana lagi aku bisa mendapatkan bunga sialan tersebut”.
“Yang jadi masalah sekarang, dimana aku harus mencari sisa satu bunga tersebut. Seluruh hutan dan sekitarnya sudah aku jelajahi dan sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan bunga AntiEntupanLebahtus. Kecuali satu, yang ada di tengah-tengah hutan semak belukar berduri yang tebalnya nyaris mencapai 5 meter. Mana mungkin aku bisa mengambilnya?”
“Ah sudahlah, aku coba jalan-jalan ke arah selatan aja. Siapa tahu hari ini hari keberuntunganku”.
“Duh, bagaimana ini, dimana lagi kita harus mencarinya?”
Samar-samar Rufi mendengar suara dari tikungan jalan, sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri. Suara yang sepertinya ia kenal. Dan beberapa detik kemudian muncullah dua ekor tupai kecil. Yang satu ekornya bergaris putih dan yang satu punggungnya bertotol hitam.
“Kak Rufi!!!!”, teriak kedua tupai tersebut bersamaan.
“Ah”, Rufi tidak menyangka Poni dan Pino bakal muncul lagi di hadapannya. Dan terus terang, ia memang tidak ingin bertemu dengan mereka lagi. Reflek ia menyembunyikan kotak berisi bunga AntiEntupanLebahtus di balik punggungnya.
“Bagaimana kabarnya, kak?”, tanya Pino.
“Baik-baik saja”, jawab Rufi dengan malas. “Sedang apa kalian di sini?”
“Ini, kak”, jelas Poni, “ingat gak bunga yang dulu kakak bantu ambilkan itu?”
Rufi mengangguk. Ingin rasanya ia meneriakkan “Inget banget! Gara-gara bunga sialan itu kan aku sekarang jadi sekarat!” di depan mereka, tapi ia coba menahannya.
“Yah, waktu itu sebetulnya kami sudah berhasil mengumpulkan bunga dengan jumlah yang ibu kami butuhkan. Tapi kemudian…”, Poni menghentikan kata-katanya sambil menahan tangis.
Pino lembut memegang tangan saudaranya. Ia melanjutkan penjelasan Poni yang tertunda, “tapi kemudian, di tengah jalan kami bertemu dengan seekor monyet tinggi besar, bertato, dan berjambang lebat. Ia memalak kami, tapi berhubung kami tidak punya uang, ia pun marah dan kemudian merampas serta membuang bungkusan yang berisi bunga-bunga yang sudah susah payah kami kumpulkan itu.”
Rufi tercenung. Ia mencoba mengingat-ingat kembali, jangan-jangan itu monyet yang sama dengan yang ia temui bersama Libi. Satu per satu ia pandangi wajah kedua anak tupai yang ada di hadapannya — yang satu mulai terisak-isak, yang satu mencoba untuk tetap tegar.
“Lalu bagaimana dengan ibu kalian?”
“Untuk saat ini memang masih hidup, kak, tapi jika kami tidak bisa menemukan kembali bunga-bunga itu dalam waktu singkat…”
Poni menghentikan kalimatnya di situ. Rufi pun mengangguk lirih, mengisyaratkan bahwa ia sudah mengerti tanpa perlu Poni melanjutkannya. Reflek, kembali ia semakin menyembunyikan kotak bunganya di balik punggung.
“Kakak bisa membantu kami? Kami sudah mencari kemana-mana tapi tidak ada satupun bunga AntiEntupanLebahtus yang kami dapatkan”, pinta Pino sambil meraih tangan Rufi.
“Maaf, aku sedang sibuk,” jawab Rufi sembari perlahan menepis tangan Pino, “ada yang harus aku kerjakan sekarang juga.”
“Oh, begitu”, ujar Poni dan Pino sedih.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu ya. Semoga berhasil menemukan bunganya”, kata Rufi sambil bergegas melangkahkan kakinya.
Di pinggir danau.
“Huh, enak saja. Sudah bikin hidupku jadi susah, malah mau minta tolong lagi segala”, ujar Rufi geram, “aku kan juga masih mau hidup”. Tangannya menjumput rumput-rumputan yang ada di pinggir danau dan dengan kesal ia lemparkan rumput tersebut ke arah danau.
Rufi menarik nafas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia berusaha mengingat-ingat kembali gerakan-gerakan yoga yang pernah diajarkan oleh Tombi Rusa, sahabatnya. Tiba-tiba dari arah barat melintas dua ekor kupu-kupu, terbang rendah di atas danau yang jernih tersebut. Yang satu berwarna kuning emas dengan garis-garis merah, dan yang satunya berwarna biru laut dengan lengkungan-lengkungan 3/4 lingkaran berwarna ungu. Indah sekali.
Mendadak Rufi teringat pesan kakek Tore, beberapa hari lalu saat mereka berdua sedang duduk dan memandangi seekor kupu-kupu di atas danau dekat tempat tinggal kawanan rusa. Ia teringat bahwa sebagian besar spesies kupu-kupu berumur pendek, antara dua hingga empat belas hari saja. Ia pun teringat, bahwa pada saat mengetahui hal itu dari kakek Tore, ia sempat berpikir, jika seandainya ia menjadi kupu-kupu yang berumur pendek tersebut, apa yang sebaiknya ia lakukan.
Dan entah kenapa, tiba-tiba Rufi merasa plong. Perasaan emosi, geram, panik, dan khawatir yang sejak lima hari lalu selalu menghantuinya dalam sekejab terasa sirna. Ia tersenyum dan berbisik, “Aku tahu apa yang harus aku lakukan”.
Ia pun segera membalikkan badan, bersiap untuk kembali ke dalam hutan.
“Aduh!!!”, Rufi berteriak kaget. Kakinya tersandung sebuah kotak hitam yang entah sejak kapan ada di balik tubuhnya. Ada tulisan “Untuk Rufi” di bagian atasnya.
“Apaan nih?”, ujar Rufi penasaran.
Perlahan ia membuka tutup kotak hitam tersebut. Agak was-was, jangan-jangan isinya bom. Ia longokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam kotak hitam dan isinya adalah… setangkai bungai AntiEntupanLebahtus.
Dengan agak bingung, Rufi mencoba membolak-balik kotak tersebut, siapa tahu ada informasi mengenai pengirimnya. Tapi nihil. Tidak ada kertas pesan, kartu ucapan, bahkan kartu nama. Hanya ada bunga tersebut dan beberapa helai bulu binatang berwarna coklat tua.
“Ah, nanti saja aku pikirkan asal bunga ini. Harus buru-buru nih”, gumam Rufi. Ia mengambil bunga dari kotak hitam tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak bunga yang ia bawa. Kini sudah ada tujuh bunga AntiEntupanLebahtus di dalamnya, sesuai dengan jumlah minimal yang dibutuhkan untuk membuat obat penawar penyakit EntupanLebahtus.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rufi pun berlari dengan kencang ke arah hutan.
bersambung…
Moral Cerita
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah:
“Orang baik tidak selalu berbuat baik, tapi orang jahat juga tidak selamanya berbuat jahat. Yang jelas, ada saat-saat tertentu dimana moral kita diuji.”
Cerita ini saya tulis pada tanggal 2 September 2009. Arsip publikasi pertama tulisan ini bisa dibaca di: https://web.archive.org/web/20100113195449/http://dongengmotivasi.com/aku-kan-juga-masih-mau-hidup.htm
Leave a Reply