Sinopsis Man Living At My House Episode 7 & Preview Episode 8 (14 November 2016)

Di sinopsis Man Living At My House episode sebelumnya, Da Da Finance berhasil menangkap Shin Jung Nam (Kim Ha-Kyun) dan menggunakannya untuk menekan Go Nan-Gil (Kim Young-Kwang). Sedangkan Kwon Duk-Bong (Lee Soo-Hyuk) akhirnya mengetahui bahwa Nan-Gil ada kaitannya dengan Da Da Finance setelah melihat bagan organisasi Da Da Finance. Sementara itu, Hong Na-Ri (Soo-Ae), yang sebelumnya tidak sengaja mendengar dari Duk-Bong, menanyakan apakah benar Nan-Gil menyukai dirinya sejak dulu. Apa yang kira-kira bakal terjadi selanjutnya di sinopsis drama korea Sweet Stranger And Me episode 7 ini?

Sinopsis Episode 7

Nan-Gil melangkah mendekati Na-Ri. Tangannya menggapai wajah Na-Ri. Na-Ri sudah membayangkan yang tidak-tidak dan deg-degan memikirkan kalau ini terlalu cepat karena mereka baru saling mengenal. Tapi Nan-Gil ternyata hanya mengambil potongan timun bekas facial yang tersembunyi di balik poni Na-Ri. Na-Ri pun memintanya untuk tidak mengalihkan pembicaraan.

“Benar,” jawab Nan-Gil, “Aku masih mengingatmu dan menyukaimu dalam waktu yang sangat lama. Tapi itu semua hanya kenangan. Kau seperti seorang teman lama. Aku tidak tahu Hong Na Ri yang ada di Seoul. Aku tidak ingin mengenalnya. Aku tidak menyukai atau merindukannya. Aku menganggap dia sebagai orang asing.”

“Apa maksudmu?” tanya Na-Ri bingung. “Apa kau mengatakan Na-Ri yang ada di sini dan Na-Ri yang ada di Seoul berbeda?”

Nan-Gil membenarkan. Ia melanjutkan, “Di sini kau adalah Na-Ri yang aku sukai, tapi yang ada di Seoul adalah orang asing bagiku.”

Na-Ri masih juga tidak paham maksud perkataan Nan-Gil.

“Aku tidak tertarik kalau kau bukan anak perempuan Jung Im. Juga aku lebih suka kalau kau tidak datang ke sini lagi. Baik stafku maupun aku merasa tidak nyaman denganmu,” tegas Nan-Gil.

Na-Ri tiba-tiba memegang lengan Nan-Gil. Setelah terdiam sejenak, ia mengatakan bahwa karena tadi Nan-Gil sudah mengakui bahwa ia masih menyukainya, maka mulai sekarang Nan-Gil bisa lebih mengenal Na-Ri. Dengan pede Na-Ri bahkan menambahkan bahwa perasaan tidak nyamannya itu disebabkan karena Nan-Gil menyukai dan memperhatikan Na-Ri.

Tiba-tiba pintu rumah mereka digedor dan terdengar suara orang memanggil nama Nan-Gil. Ternyata kedua detektif polisi yang melakukannya. Duk-Bong yang tiba sesaat kemudian mengaku sebagai pengacara Nan-GIl dan menanyakan tujuan mereka datang ke sana. Setelah Nan-Gil dan Na-Ri keluar serta mengkonfirmasi bahwa Duk-Bong adalah pengacara mereka, detektif polisi memberitahu Nan-Gil bahwa Shin Jung-Nam telah melaporkan Nan-Gil atas penyerangan, pemerasan, penyekapan, dan penculikan, sehingga Nan-Gil harus ikut ke kantor polisi untuk diperiksa. Baik Nan-Gil maupun Na-Ri kaget mendengarnya.

Di kantor polisi, Duk-Bong menyatakan bahwa berkas laporan Jung-Nam tidak lengkap karena tidak dilengkapi dengan surat pemeriksaan dokter. Setelah berpikir, Nan-Gil kemudian mengajukan permintaan untuk bertemu langsung dengan Jung-Nam untuk dilakukan pemeriksaan silang. Karena memang ia tidak ada di sana, Nan-Gil akhirnya balik melaporkan Jung-Nam sebagai orang hilang karena ia juga kehilangan kontak dengannya.

Kim Wan-Sik (Woo Do-Hwan) memberitahu Bae Byung-Woo (Park Sang-Myeon) tentang pelaporan balik Jung-Nam. Byung-Woo dengan tenang menanyakan mengapa Wan-Sik pakai melaporkan hal itu segala karena toh mereka sudah memprediksinya dan menyiapkan langkah selanjutnya. Wan-Sik kemudian memberitahunya bahwa Nan-Gil juga kini memiliki pengacara sendiri. Byung-Woo terkejut mendengarnya, lantas meminta Wan-Sik untuk menyelidiki lebih lanjut si pengacara itu.

Dalam perjalanan kembali ke Seulgi-ri, Duk-Bong mempertanyakan kenapa Jung-Nam bisa menulis laporan seperti itu. Nan-Gil yakin bahwa Da Da Finance yang memaksanya. Apapun itu, namanya kini sudah tercatat di kepolisian, dan jika suatu saat menghadapi persidangan maka ia akan ada di posisi yang kurang beruntung. Duk-Bong lantas mengungkit tentang Nan-Gil yang terdaftar dalam anggota dewan Da Da (dengan nama yang berbeda). Dengan tenang Nan-Gil pun mengakui bahwa CEO Da Da, Bae Byung-Woo, adalah ayah tirinya. Walau begitu ia kini sudah lepas darinya.

Tiba di rumah sudah ada Na-Ri yang menunggu mereka di depan. Setelah diberitahu soal Nan-Gil yang balik melaporkan Jung-Nam sebagai orang hilang, Na-Ri menanyakan tentang ancaman yang dilakukan Nan-Gil di telpon pada pamannya beberapa waktu lalu yang sempat ia curi dengar. Nan-Gil jadi marah mengetahui Na-Ri diam-diam menguping dan menanyakan bagaimana ia bisa sampai tahu hal itu. Na-Ri tidak berani menjawab.

Duk-Bong kemudian menengahi mereka dan mengajak Na-Ri untuk berbicara empat mata. Nan-Gil lantas masuk ke restoran. Lee Yong-Kyoo (Ji Yoon-Ho), salah satu karyawannya, sempat menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Nan-Gil tidak menghiraukannya.

Sementara itu, Duk-Bong menunjukkan bagan organisasi Da Da Finance pada Na-Ri. Na-Ri melihatnya sejenak lalu mengembalikannya pada Duk-Bong. Sepertinya ia terlalu memikirkan hal itu. Duk-Bong selanjutnya menawarkan apakah Na-Ri mau pulang ke Seoul nanti bersama dirinya. Na-Ri mengabaikan tawarannya dan meminta untuk membahas masalah bagan organisasi tadi bersama dengan Nan-Gil.

Duk-Bong memberitahu Nan-Gil bahwa strategi pernikahannya tidak akan berhasil untuk melawan Da Da Finance karena tidak ada yang percaya. Sebaliknya, Nan-Gil yakin bahwa strateginya sudah sempurna.

“Kalau kau ingin menang di pengadilan,” ujar Duk-Bong, “sebaiknya kau menjaga hubunganmu dengan baik. Dokumen-dokumennya sempurna dan tidak dipaksakan. Seharusnya kau bersikap seperti keluarga yang tidak akan diragukan oleh siapapun.”

“Aku tahu kalau biaya pengacara mahal. Apa kau yakin ingin terus melakukan hal ini secara gratis?” tanya Nan-Gil.

“Kau benar. Kau bahkan tidak akan menjual properti itu kepadaku. Aku bertanya kepada diri sendiri apa yang sudah aku lakukan, bekerja secara gratis,” jawab Duk-Bong.

Ia lalu menoleh ke arah Na-Ri dan berkata, “Na-Ri, apa kau mau keluar denganku?”

“Maaf?” tanya Na-Ri balik, tidak menyangka.

“Bukan sebagai teman,” jelas Duk-Bong, “Sebagai sesuatu yang lebih intim. Sebagai pacarmu.”

Na-Ri bengong mendengar perkataan Duk-Bong.

“Kenapa kau mengajakku?” tanyanya.

“Ayah tirimu sepertinya merasa tertekan oleh jasaku,” respon Duk-Bong, “Aku hanya mengatakan kepadanya niat baikku.”

“Ini bukan sesuatu yang harus dikatakan dengan tiba-tiba,” potong Nan-Gil, “Na-Ri mengalami masa yang sulit setelah ibunya meninggal. Dia belum kembali normal. Jangan terburu-buru. Seriuslah dan ambil satu langkah dalam satu waktu.”

“Sangat canggung untuk melihatmu bersikap begitu serius,” balas Duk-Bong.

“Duk-Shim menyebutku sebagai playgirl. Tidak heran dia salah paham. Kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu?” tanya Na-Ri pada Duk-Bong saat mengantarkan Duk-Bong keluar.

“Kau bersikap begitu tabah sampai aku lupa bahwa kau sudah melalui begitu banyak hal. Ini tidak tiba-tiba. Aku suka berbicara denganmu. Itu membuatku bahagia. Saat kau sedang memarahi adikku, kau kelihatan bijaksana, cerdas, dan cantik. Kau bercahaya. Itu sebabnya aku ingin berkencan denganmu. Apa aku terlalu manis? Bagaimanapun, mari kita coba untuk menjadi lebih dekat.” jawab Duk-Bong panjang lebar.

“Aku harus menulis ini dalam buku harianku. Aku terlihat bijaksana, cerdas, dan cantik. Aku bercahaya. Itu pujian terbaik yang pernah aku dengar sejak lama. Terima kasih. Bagaimanapun, aku belum tertarik untuk berhubungan dengan seseorang.” respon Na-Ri.

“Kalau begitu,” balas Duk-Bong, “berpikirlah untuk berhubungan dengan seorang laki-laki bernama Kwon Duk Bong.”

“Ku rasa aku belum bisa.”

“Katakan saja bahwa kau akan berpikir tentang hal itu. Kenapa kau tidak mau mempertimbangkannya? Aku memberimu pujian yang terbaik sejak sekian lama.”

“Kepalaku akan meledak kalau kau mengatakan itu. Kalau aku mengatakan itu kepadamu, kau akan menunggu jawabannya.”

“Aku tidak akan menunggu jawabannya, jadi kalau kau merasa kau memiliki waktu, pikirkan tentang hal ini,” ujar Duk-Bong sembari berlalu.

Do Yeo-Joo (Jo Bo-Ah) menemui temannya, seorang biro agen perjodohan. Selama tiga tahun terakhir ini Yeo-Joo sudah membantunya dengan menemui pria-pria yang mengikuti biro agennya itu dan Yeo-Joo merasa itu sudah cukup. Temannya tidak mempermasalahkannya dan berjanji akan menghapus akunnya setelah ini. Ia kemudian memberitahu Yeo-Joo bahwa beberapa hari lalu Jo Dong-Jin (Kim Ji-Hoon) mendaftar sebagai anggota VIP di biro jodohnya dan meminta dicarikan pasangan dengan kriteria utama ibu rumah tangga.

Meski kaget, Yeo-Joo berusaha tetap tenang dan beralasan bahwa itu adalah ibu Dong-Jin yang mendaftarkan anaknya karena belum tahu bahwa anaknya sedang berpacaran dengannya. Temannya mengiyakan, walau terlihat tidak terlalu percaya pada alasan Yeo-Joo.

Nan-Gil meminta Na-Ri untuk menemuinya di danau. Setibanya di sana, Nan-Gil menanyakan mengapa Na-ri mempercayainya meski sudah menguping pembicaraannya di telpon dengan pamannya serta pastinya juga sudah melihat tato di punggungnya. Na-Ri tidak mau menjawabnya. Nan-Gil pun lalu melanjutkan bahwa sebaiknya mereka menjaga jarak dan biarkan ia sendiri yang mengurus masalah yang ada.

“Sampai saat itu, lupakan aku dan tempat ini,” pinta Nan-Gil.

“Setelah itu beres, apa yang akan kau lakukan?” tanya Na-Ri.

“Ini tanah milik ibumu. Kalau kau memintanya kembali, aku akan mengembalikannya kepadamu dan pergi,” jawab Nan-Gil.

“Bagaimana kalau aku langsung menjual tanahnya segera setelah aku mendapatkannya?”

“Aku percaya bahwa kau tidak akan melakukannya,” jawab Nan-Gil sembari menoleh ke arah Na-Ri.

“Jangan percaya padaku. Kalau tujuanmu adalah untuk melindungi properti ini, jangan pernah pergi dan terus melindunginya. Kita menjalani kehidupan yang berbeda dan kita mungkin tidak akur, bagaimanapun, aku akan memilih untuk mempercayaimu atau tidak.”

“Baiklah, lakukan yang kau mau. Tapi aku ingin kau pergi.”

“Apa itu alasan kenapa kau menjauh dariku?” tanya Na-ri. “Karena kita menjalani kehidupan yang berbeda? Karena kita tidak bisa bersama? Apa kau tahu bagaimana bahagianya aku di sini? Aku tidak ingin kembali ke Seoul. Aku merasa seperti ini adalah hadiah dari ibu. Aku hampir berterima kasih kepada ayah atas hutangnya. Kenapa kau terus memintaku untuk pergi dan melupakannya? Apa yang sangat kau takutkan? Kita bahkan belum memulainya.”

“Memulai apa? Apa kau tidak takut pada apapun? Kau bahkan tidak tahu siapa aku dan bagaimana aku hidup selama ini,” sergah Nan-Gil. Ia melanjutkan, “Aku berjanji pada ibumu. Aku sudah merelakan perasaanku.”

“Itu janji yang kau buat sendiri. Berhenti mengatakan bahwa itu adalah janjimu kepada ibu. Ibu yang aku tahu tidak akan pernah menentang kita karena perbedaan.”

“Aku tahu itu.”

“Benarkah?”

“Tapi kalau dia masih hidup aku tidak akan pernah muncul di hadapanmu. Sama seperti bagaimana aku hidup selama ini. Juga ini bukan tentang ibumu menentangnya. Tapi aku,” ujar Nan-gil lalu pergi.

Duk-Bong menemui Kwon Duk-Sim (Shin Se-Hwui) di kamarnya. Ia meminta Duk-Sim untuk bersiap-siap menemui ayah mereka yang datang untuk menjemputnya. Ia menambahkan akan menjadikan kamar Duk-Sim sebagai gudang setelah ia pergi. Duk-Sim menawarkan kesepakatan, ia akan memata-matai Na-Ri apabila Duk-Bong tidak menyentuh kamarnya. Duk-Bong setuju.

Duk-Bong, Kwon Soon-Rye (Jung Kyung-Soon), dan pegawai Robot Museum berbaris menanti kedatangan ayah Duk-Bong. Tak lama Duk-Sim keluar, mengenakan baju ala Bruce Lee. Alih-alih berdiri di samping Duk-Bong, ia malah nyelip di antara barisan pegawai.

Beberapa saat kemudian mobil yang ditumpangi ayah Duk-Bong datang. Ayah Duk-Bong, Ketua Kwon, keluar diikuti oleh Hwa-Yeon, istrinya, dan anaknya yang masih kecil (Seol Woo-Hyung). Setelah menyapa Duk-Bong, ketua Kwon mulai menyalami pegawai museum satu persatu.

Saat tiba di hadapan Duk-Sim, Ketua Kwon menatapnya sejenak lalu mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Hwa-Yeon mengira ketua Kwon tidak mengenali anaknya sendiri, tapi ternyata ketua Kwon hanya bercanda, karena tahu Duk-Sim tidak akan mau menyapanya terlebih dahulu. Dengan sigap Duk-Sim lalu memberi salam, ala-ala pesilat. Ketua Kwon tertawa lalu masuk ke dalam setelah menepuk lengan Duk-Sim dengan keras.

Na-Ri sedang bersama nenek Oh Rye yang dulu pernah bekerja di Hong Dumplings. Nenek Oh Rye kemudian bercerita bahwa dulu Na-Ri pernah dibawa pergi meninggalkan rumah oleh ayahnya selama berbulan-bulan. Sejak itulah hubungan kedua orang tua Na-Ri menjadi tidak akur. Anak Oh Rye kemudian nimbrung dengan membawakan pangsit agar dicoba oleh Na-Ri. Ia lalu menitip pesan ucapan terima kasihnya pada Nan-Gil karena dulu pernah membantunya. Saat ditanya apakah mereka memang mengenal Nan-Gil, dengan kompak nenek dan anaknya mengiyakan.

Na-Ri mendatangi Hong Dumplings dan meminta Nan-Gil untuk berganti baju yang bagus dan ikut dengannya.

Ketua Kwon memarahin Duk-Bong yang masih belum bisa menyelesaikan tugasnya. Ia pun memintanya untuk segera memulai pembangunan resor secepatnya. Sementara itu, Hwa-Yeon (yang merupakan ibu Duk-Sim) meminta Duk-Sim untuk pulang ke Seoul karena mereka sudah menemukan akademi yang cocok untuknya di sana. Duk-Sim menolak. Hwa-Yeon kemudian mengancam akan menyeret rambut Duk-Sim. Tanpa takut, Duk-Sim balik mengancam akan berbuat onar selama di Seoul apabila ia dipaksa pulang.

Saat ketua Kwon memberitahu sudah waktunya untuk pulang, Hwa-Yeon terpaksa menuruti kemauan Duk-Sim dan memberitahunya bahwa Duk-Sim akan pulang lain waktu karena kondisi di Seulgi-ri cukup tenang dan nyaman untuk dia belajar. Duk-Bong melirik ke arah Duk-Sim, ngeh bahwa adik tirinya itu sudah berbuat yang tidak-tidak.

Setelah berganti baju, Nan-Gil menemui Na-Ri di luar. Melihat penampilannya, Na-Ri meminta Nan-Gil untuk mengganti bajunya. Meski heran, Nan-Gil melakukannya. Setelah empat kali berganti pakaian, Na-Ri pun menyetujui penampilan Nan-Gil dan mengajaknya untuk berangkat.

Mereka berdua lantas pergi dengan menggunakan bus. Nan-Gil menanyakan kemana mereka akan pergi.

“Ayo kita pergi kencan sampai tengah malam. Setelah tepat jam 12 malam semuanya akan kembali normal. Aku menyebutnya ‘Kencan Cinderella’,” jawab Na-Ri. “Kau berkata kau sudah membuang perasaanmu, jadi mari kita memutar kembali waktu. Sampai tepat jam 12, kita pasangan yang baru mulai berkencan.”

Na-Ri kemudian mereview hubungan mereka dari awal (dan masih tetap menganggap Nan-Gil adalah anak yang dulu sering mengganggunya waktu SD) hingga saat ini bertemu kembali setelah sama-sama dewasa.

“Jadi hari ini kita menjalani kencan pertama kita,” tutup Na-Ri.

Na-Ri pun mulai mengajak ngobrol Nan-Gil dengan suara yang dilembut-lembutkan hingga Nan-Gil risih sendiri.

“Apa impian masa kecilmu?” tanya Na-Ri.

“Aku tidak tahu,” jawab Nan-Gil yang sudah mulai kesal.

“Aku tahu apa itu. ‘Mimpiku adalah untuk menikahi Hong Na Ri saat aku tumbuh dewasa’. Benar, bukan?” respon Na-Ri.

Nan-Gil terdiam dan menoleh ke arah Na-Ri.

Flashback saat Na-Ri bersama nenek Oh Rye dan anaknya. Anak nenek Oh Rye ternyata berteman dengan Nan-Gil sejak sama-sama masih kecil. Ia bahkan yang mengajari Nan-Gil menembak ketapel karena Nan-Gil pernah berkata akan menembak siapapun yang mengganggu Na-Ri. Ia juga pernah meminta Nan-Gil menggambar apa yang diinginkan, dan Nan-Gil menggambar bahwa dia akan menikahi Hong Na Ri. Ia akhirnya memperbaiki gambar itu dan menjadikan Nan-Gil pemiliki restoran pangsit. Ia pun kaget ternyata hal itu benar-benar menjadi kenyataan.

“Jadi hari ini, mari kita kembali dan melakukan apa yang kau impikan,” ujar Na-Ri.

Nan-Gil masih berusaha menutupi perasaannya dan berdalih bahwa saat itu ia masih kecil dan menggambarnya untuk menyenangkan ibu Na-Ri. Na-Ri tidak mempedulikannya.

Turun dari bus, Nan-Gil menanyakan apakah Na-Ri mau tasnya dibawakan, seperti biasanya yang dilakukan pria-pria saat mereka berkencan. Na-Ri menolak karena baginya tas adalah bagian dari penampilannya.

“Terserah,” gerutu Nan-Gil sambil melangkah lebih dulu.

Yeo-Joo sedang dalam perjalanan ke suatu tempat bersama dengan Dong-Jin. Ia kesal karena tadi Dong-Jin terlambat menjemputnya dan menyatakan bahwa dari semua pria yang pernah ia kencani, Dong-Jin adalah yang paling ahli telat. Karena sebelumnya Yeo-Joo mengaku belum pernah berpacaran dengan siapapun, Dong-Jin pun lantas menanyakan sudah berapa banyak pria yang pernah dikencani Yeo-Joo sebelumnya. Dengan kesal Yeo-Joo menyebutkan tiga di antaranya, yang semuanya sama-sama orang kaya.

Melihat mood Yeo-Joo yang sedang kurang baik, Dong-Jin menanyakan apakah ada sesuatu yang baru saja terjadi kepadanya. Yeo-Joo tidak menjawabnya. Dong-Ji lalu memberitahunya agar tidak boleh sedih di hari ini karena ia sudah terlanjut memanggil teman-temannya untuk mengenalkan Yeo-Joo pada mereka. Mendengarnya, Yeo-Joo langsung bersemangat kembali.

Nan-Gil dan Na-Ri berada di sebuah restoran. Seperti layaknya pasangan yang sedang berkencan, Na-Ri asik selfie dan juga memotret Nan-Gil dengan ponselnya. Karena Na-Ri masih saja berbicara dengannya dengan gaya sok lembut, Nan-Gil berjanji akan melakukan apa saja yang diinginkan Na-Ri asalkan ia kembali berbicara seperti biasa. Na-Ri pun meminta Nan-Gil untuk mengikuti jadwal acara kencan yang sudah ia buat: makan, minum, dan nyanyi (karaoke). Nan-Gil menganggapnya seperti kegiatan perusahaan.

“Kita akan makan bersama dan menjadi lebih dekat. Kita akan minum dan berpegangan tangan. Saat kita pergi bernyanyi, kita akan berciuman…,” Na-Ri langsung menutupi mulutnya dengan tangannya, kaget sendiri karena sudah keceplosan.

Nan-Gil tersenyum melihatnya.

Tiba di sebuah restoran, Dong-Jin memberitahu Yeo-Joo bahwa ketiga temannya masing-masing memiliki kepribadian yang unik. Ada yang tukang bicara, ada yang pengacau, dan ada yang suka sinis. Walau begitu, Dong-Jin merasa bahwa mereka adalah sahabat terbaiknya. Mereka berdua akhirnya bertemu dengan ketiga sahabat Dong-Jin tersebut dan Yeo-Joo langsung menyadari bahwa yang dikatakan Dong-Jin tentang mereka benar adanya.

Na-Ri mencoba membuka obrolan dengan Nan-Gil, tapi ia kebingungan sendiri. Ia pun jadi terus-terusan meminum gelas anggurnya. Nan-Gil yang melihatnya jadi khawatir Na-Ri bakalan mabuk.

“Kau tahu kau jadi menakutkan saat kau mabuk,” ujar Nan-Gil.

“Benarkah? Aku sangat menakutkan kalau mabuk? Tidak mungkin, itu konyol,” respon Na-Ri.

“Aku sudah merasa takut,” gumam Nan-Gil.

Mendengarnya Na-Ri tersenyum. Wajahnya terlihat sedang memikirkan sesuatu.

Dong-Jin dan ketiga temannya mulai mabuk. Obrolan mereka mulai ngelantur dan membuat Yeo-Joo mulai tidak betah. Salah satunya kemudian menunjukkan blog yang ia miliki dimana terdapat foto-foto kebersamaan mereka bersama Na-Ri. Dong-Jin tiba-tiba merebut ponsel milik temannya dan memperhatikan foto-foto Na-Ri di blognya itu dengan seksama. Yeo-Joo jadi kesal melihatnya.

Na-Ri dan Nan-Gil kini sedang duduk di sebuah taman dengan menyalakan api di tong sampah agar tidak kedinginan.

“Apa dua hewan favoritmu?” tanya Na-Ri pada Nan-Gil.

“Berapa banyak tes psikologi yang akan kau lakukan?” tanya Nan-Gil. “Kau belum mendapatkan hasil yang benar sejauh ini.”

“Kau seharusnya melakukan hal-hal ini saat kencan pertama,” dalih Na-Ri.

“Jangan bertele-tele menyalahkan tes psikologi,” balas Nan-Gil sembari membenarkan selimut di tubuh Na-Ri, “Tanyakan secara langsung kalau kau ingin tahu sesuatu.”

“Benarkah?” tanya Na-Ri.

Nan-Gil mengangguk.

“Baiklah, aku akan bertanya secara langsung kalau begitu. Apa lagu favoritmu?” tanya Na-Ri.

Nan-Gil mendesah, kesal dengan pertanyaan Na-Ri.

“Kenapa kau berjanji kepada ibuku saat di pemakaman bahwa kau akan menanggung semua perasaan untukku?” tanya Na-Ri lagi.

“Apa? Bukankah itu curang? Aku pikir kita memutar kembali waktu sampai sebelum aku melakukan itu,” Nan-Gil berusaha mengelak.

“Kau benar. Kita sedang berkencan sekarang. Apa kau memiliki pertanyaan untukku?” tanya Na-Ri balik.

“Kenapa kau membaca buku-buku seperti itu?” tanya Nan-Gil setelah terdiam sejenak. “‘Rahasia Orang Sukses’, ‘Tidak Apa-Apa Jika Dibenci’, ‘Bagaimana Menghibur Diri’. Buku-buku seperti itu. Kau akan melakukan seperti apa yang tertulis di dalamnya?”

“Beberapa terkadang memberi semangat. Kadang-kadang, menghibur dan memotivasi.”

“Biarkan dirimu sembuh dengan sendirinya. Jangan memaksakan diri untuk cepat sembuh.”

“Aku berharap ada sebuah buku berjudul ‘Bagaimana Caranya Membiarkan Hatimu Beristirahat’. Aku akan membiarkan hatiku beristirahat agar kau bisa membiarkan tubuhmu beristirahat. Apa kau benar-benar tidak sakit?”

“Sudah ku katakan kepadamu, tapi aku terlalu kuat. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku flu,” jawab Nan-Gil.

Keduanya saling melempar senyum. Na-Ri lantas merebahkan kepalanya ke bahu Nan-Gil.

“Kita tetap seperti ini sebentar lagi,” ujar Na-Ri, “Duduk seperti ini di depan api unggun adalah suatu keharusan.”

Nan-Gil perlahan membenarkan selimut Na-Ri yang sedikit tersingkap. Ia seperti hendak merangkul Na-Ri, namun mengurungkannya.

Tak lama Nan-Gil terlihat sedang menggendong Na-Ri di punggungnya gegara kaki Na-Ri terkilir. Na-Ri beralasan bahwa kakinya menjadi semakin lemah sejak kecelakaan sepeda.

“Kau kacau,” respon Nan-Gil, “Stress, insomnia, sembelit, tergelincir, dan pergelangan kaki yang buruk.”

“Cukup. Aku tidak memiliki sembelit,” bantah Na-Ri.

“Aku senang hari ini,” ujar Na-Ri sembari mengulurkan tangannya pada Nan-Gil.

Nan-Gil menyambut uluran tangan Na-Ri dan berkata, “Apa kau serius? Katakan kepadaku apa yang dikatakan nenek Oh Rye.”

Adegan flashback muncul. Nenek Oh Rye mengatakan bahwa Nan-Gil kecil selalu mengikuti Jung-Im dan memanggilnya ‘ibu’. Saat pemakaman Jung-Im, Nan-Gil yang sedang sibuk juga menyempatkan jauh-jauh datang menemui nenek Oh Rye untuk memberitahukan hal itu dan memastikan nenek Oh Rye bisa datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada Jung-Im.

“Aku sadar bahwa aku tidak melakukan apapun pada saat pemakaman,” jawab Na-Ri, “Aku tidak tahu siapa yang mengundang para tamu atau yang mengorganisir semuanya. Terima kasih sudah memakamkan ibu dengan baik. Terima kasih juga karena sudah bersamanya.”

“Kau sudah mengucapkan terima kasih. Jangan membuat semuanya menjadi terasa canggung,” respon Nan-Gil.

“Ada sesuatu yang ingin aku ingat sekarang,” lanjut Na-Ri, “Kenapa aku tidak ingat saat-saat itu? Apa yang ibu sembunyikan dariku dan kenapa? Aku ingin tahu. Tapi aku merasa seperti kalau aku ingat, kami akan benar-benar terpisah dan selesai.”

“Kenapa?”

“Karena kau ada di antara hal-hal yang ibu rahasiakan dariku. Dan kau juga menyembunyikan sesuatu dariku. Ku rasa itu benar. Itu sebabnya aku ingin setidaknya satu kenangan yang baik bersamamu. Selamat malam,” ujar Na-Ri sebelum ia melangkah masuk ke dalam rumah.

Sepeninggal Na-Ri, Nan-Gil menelpon seseorang bernama Joon dan mengatakan bahwa ia harus pergi sekarang.

Begitu masuk ke dalam rumah, Na-Ri mendapat telpon dari Dong-Jin. Na-Ri tidak mengangkatnya. Dong-Jin lantas mengirimkan pesan teks kepadanya.

Aku akhirnya menyadari apa yang sudah aku lakukan. Aku minta maaf tentang semuanya.

Belum sempat Dong-Jin mengirimkannya, dari belakang Yeo-Joo merebut ponselnya dan membaca pesan tersebut. Dengan kesal ia membanting ponsel Dong-Jin ke lantai.

“Kau adalah yang terburuk dari semua orang yang pernah aku kencani,” tegas Yeo-Joo.

Dua orang dengan sebuah mobil datang menjemput Nan-Gil. Ternyata mereka adalah Park Joon (Lee Kang-Min) dan Kan Han-Yi (Jung Ji-Hwan), dua karyawan restoran. Tak lama terlihat Nan-Gil sedang membuntuti Wan-Sik, yang saat itu sedang menagih uang dari berbagai toko di sebuah wilayah komersil. Pandangan Nan-Gil sendiri sudah mulai kabur karena berada di tengah gemerlapnya lampu di area tersebut, namun ia terus berusaha mengikuti Wan-Sik. Hingga akhirnya keduanya saling berhadapan.

Wan-Sik kaget melihat Nan-Gil ada di depannya. Nan-Gil lalu mendorong Wan-Sik ke tempat sepi.

“Tuan Bae tidak tahu, bukan? Bahwa kau meminjamkan uang perusahaan. Jangan berani-berani muncul di depan Na-Ri lagi. Lakukan apa yang tuan Bae perintahkan kecuali yang satu itu,” ancam Nan-Gil.

“Kau datang ke sini hanya untuk satu hal itu?” tantang Wan-Sik.

“Apa kau ingat kita pernah menjadi keluarga?”

“Dasar aneh.”

“Kita membenci satu sama lain, tapi tidur bersama dan makan bersama. Itu adalah keluarga pertama dalam hidupku. Jadi, tidak apa-apa untuk berbagi satu rahasia.” ucap Nan-Gil.

“Aku akan menjaga rahasiamu untuk saat ini,” lanjut Nan-Gil, “Rahasiaku yang mana yang diketahui tuan Bae? Apa yang sudah aku lakukan kepada keluarga Na-Ri?”

Wan-Sik tertawa dan berkata, “Ayah berkata kalau kau akan datang dan bertanya. Tapi maaf, aku juga tidak tahu. Dia mengatakan untuk memberitahumu untuk datang dan bertanya sendiri.”

Nan-Gil pergi meninggalkan Wan-Sik dengan geram. Meski pandangannya kembali mulai tidak jelas, ia coba untuk terus melangkah. Ia sempat hampir tertabrak mobil, tapi untungnya Joon dan Han-Yi kemudian datang menjemputnya.

Begitu masuk di dalam mobil, terlihat bahwa sedari tadi Nan-Gil menekan telapak tangannya dengan kukunya hingga berdarah agar dirinya tidak pingsan.

Hari berlalu. Pagi-pagi, Nan-Gil keluar restoran dan menemui Na-Ri sudah menunggunya di halaman karena ingin melihat benih tanaman yang ia tanam di greenhouse karena ia tidak akan kembali lagi ke sana. Setibanya di sana, ternyata ada si Duk-Sim. Tanpa disangka, ia meminta untuk berbicara dengan Na-Ri.

Sambil mencuri-curi pandang ke arah Nan-Gil yang masuk ke greenhouse terlebih dahulu, Duk-Sim menanyakan kapan Na-Ri pulang ke Seoul. Saat Na-Ri menjawab ia akan pulang setelah sarapan, dengan emosi Duk-Sim menanyakan jam berapa tepatnya Na-Ri sarapan. Mendengar ribut-ribut itu Nan-Gil keluar dari greenhouse. Duk-Sim langsung berpamitan dengan sopan dan meninggalkan mereka berdua yang kebingungan dengan ulahnya.

Di greenhouse, Na-Ri mengagumi tanamannya yang sudah mulai tumbuh. Ternyata itu hanyalah gulma. Walau demikian, Nan-Gil mengatakan bahwa gulma juga ada gunanya, dimana pada saat petani membersihkan ladang dari gulma, tanaman-tanaman akan tumbuh dengan baik karena mereka merasa diperhatikan dan dicintai. Na-Ri terpesona mendengar perkataan Nan-Gil. Namun saat Nan-Gil balik memandangnya, ia jadi salah tingkah sendiri.

Na-Ri lalu meminta agar Nan-Gil tidak terlalu sering bekerja dan menjaga istirahatnya. Nan-Gil hanya terdiam.

Duk-Bong yang sebelumnya diberitahu Duk-Sim bahwa Na-Ri akan pulang setelah sarapan sudah standby di depan restoran untuk mengantarkan Na-Ri ke Seoul. Nan-Gil membawakan koper Na-Ri dan memasukkannya ke bagasi mobil Duk-Bong.

“Selamat tinggal. Kalau kau ingin datang..” ujar Nan-Gil.

“Tidak, aku tidak,” potong Na-Ri. “Aku akan menemui tahun depan saat peringatan kematian ibu. Hati-hati.”

Na-Ri lantas masuk ke mobil Duk-Bong. Duk-Bong juga langsung menjalankan mobilnya. Na-Ri menatap sosok Nan-Gil dari balik kaca mobil.

“Kenapa kau terus menatap seperti kau tidak akan pernah datang kembali?” tanya Duk-Bong.

“Kalau kau pergi..” ucap Na-Ri.

“Aku tidak akan pergi karena kau,” potong Duk-Bong. “Aku harus mengurus bisnis di Seoul dan aku ingin meminta bantuan darimu.”

“Itu bagus. Aku juga ingin meminta bantuan darimu,” balas Na-Ri. “Aku ingin membeli makanan ringan di peristirahatan.”

“Peristirahatan? Aku yakin aku sudah mengatakan kepadamu untuk tidak berhenti di peristirahatan. Kau tidak ingat apapun yang aku katakan, bukan?”

“Berhenti di peristirahatan adalah hobiku.”

“Aku bisa melakukan apapun untuk pacarku,” ujar Duk-Bong pede.

“Tidak, kita bisa melewatkan tempat peristirahatan,” Na-Ri langsung membatalkan niatnya.

“Ada tempat yang ingin aku kunjungi. Kita minum teh di sana. Kau bisa mentraktirku di sana.”

Nan-Gil berdiri memandangi rumah Na-Ri. Ia membayangkan kembali momen-momen yang telah ia lalui bersama Na-Ri di sana, terutama saat Na-Ri sedang membaca buku-bukunya. Saat masuk ke dalam rumah, ia mendapati buku-buku Na-Ri tergeletak di meja.

Tempat yang dimaksud Duk-Bong ternyata adalah restoran tempat dimana sebelumnya Na-Ri dan Nan-Gil ‘berkencan’. Sama seperti Na-Ri, di sana Duk-Bong juga sibuk foto-foto interior restoran. Sedangkan Na-Ri sibuk membayangkan kembali saat-saat ia bersama Nan-Gil di sana. Ia tidak sadar saat diam-diam Duk-Bong memotret dirinya.

Duk-Bong kemudian bercerita bahwa Duk-Sim akan menulis surat permintaan maaf pada Na-Ri dan akan memata-matai Na-Ri untuknya. Alih-alih mendengarkan, pikiran Na-Ri kembali melayang ke Nan-Gil. Ia pun mengajak Duk-Bong keluar saja karena ia tidak bisa berkonsentrasi di sana.

Saat melangkah keluar, ponsel Na-Ri berbunyi. Nan-Gil yang menelpon, memberitahu tentang buku-buku Na-Ri yang tertinggal. Na-Ri menjawab bahwa ia sengaja meninggalkan itu karena Nan-Gil pernah bilang untuk membiarkan hatinya sembuh dengan sendirinya. Nan-Gil memaksa Na-Ri untuk mengambil buku itu, bahkan berniat untuk mengantarkannya ke tempat Na-Ri berada sekarang. Na-Ri menolak dan langsung mematikan telponnya.

“Ku pikir terlalu cepat untuk membawamu ke sini,” ujar Duk-Bong yang melihat kondisi Na-Ri. “Ayo kita bicara di dalam mobil. Ayo kita pergi ke Seoul.”

Na-Ri tidak menjawabnya.

“Apa kau menangis?” tanya Duk-Bong.

“Tidak,” jawab Na-Ri sambil berlalu.

Na-Ri tiba kembali di halaman rumahnya. Ia melihat buku-bukunya yang kini tergeletak di meja yang ada di kebun belakang.

“Aku tidak mengira kau akan datang,” ujar Nan-Gil dari belakang.

“Aku akan mengambil buku-bukunya,” balas Na-Ri.

“Aku menelpon bukan karena buku,” respon Nan-Gil. “Aku berkata pada diriku sendiri, kalau Na-Ri kembali aku akan menceritakan semuanya.”

Na-Ri membalikkan badannya dan berkata, “Kalau begitu beritahu aku.”

“Kau bertanya apa kau adalah cinta pertamaku dan apa aku masih menyukaimu, bukan? Sejak aku masih kecil dan bahkan sekarang, ya,” ucap Nan-Gil.

“Lalu kenapa kau mengatakan kau sudah mengakhirinya?” tanya Na-Ri.

“Aku merasa tidak enak.”

“Kenapa? Tentang apa?”

“Karena aku mencintaimu, Na-Ri. Maafkan aku.”

Nan-Gil melangkah menghampiri Na-Ri dan langsung menciumnya. Na-Ri membalasnya.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 8

Berikut ini adalah video preview episode 8 dari drakor Man Living At My House / Sweet Stranger And Me:

» Sinopsis eps 8 selengkapnya

sinopsis manlivingatmyhouse 7

Leave a Reply