Sinopsis Man Living At My House Episode 3 & Preview Episode 4 (31 Oktober 2016)

Di sinopsis The Man Living At My House episode sebelumnya, Hong Na-Ri (Soo-Ae) akhirnya bisa menerima keberadaan Go Nan-Gil (Kim Young-Kwang) sebagai suami ibunya, Shin Jung-Im (Kim Mi-Sook). Sebagai ‘ayah yang baik’, Nan-Gil yang kemudian mengetahui Jo Dong-Jin (Kim Ji-Hoon) sudah menyakiti Na-Ri, mengancamnya untuk tidak lagi mendekati Na-Ri. Sementara itu, Shin Jung-Nam (Kim Ha-Kyun), paman Na-Ri, ternyata bermasalah dengan mafia. Saat para mafia mendatangi rumahnya, Nan-Gil yang menemui mereka. Tanpa disangka, mereka mengenali Nan-Gil, bahkan menganggapnya sebagai ‘mantan’ legenda. Na-Ri yang tidak sengaja ‘mengintip’ Nan-Gil saat berganti pakaian bahwa melihat punggungnya penuh tato mafia. Siapakah sebenarnya Nan-Gil? Dan apa yang kira-kira bakal terjadi selanjutnya di sinopsis drama korea Sweet Stranger And Me episode 3 ini?

Sinopsis Episode 3

Sambil terganga melihat tato di punggung Nan-Gil, Na-Ri teringat Kwon Duk-Bong (Lee Soo-Hyuk) yang sempat memberitahunya bahwa ia adalah lulusan hukum, sehingga ia bisa membantu menyingkirkan Nan-Gil dari rumah Na-Ri secara hukum. Tanpa sengaja kaki Na-Ri menendang ember yang ada di sebelahnya sehingga membuat Nan-Gil sadar ada orang yang sedang berada di sana. Perlahan ia mendekati tembok tempat Na-Ri bersembunyi.

Agar tidak ketahuan sedari tadi sudah mengintip, Na-Ri mengetuk pintu kamar Nan-Gil dan mengatakan bahwa ia hendak masuk. Dengan panik Nan-Gil mencari baju untuk menutupi punggungnya. Namun karena tidak berhasil menemukan selembar baju pun untuk dipakai, ia kemudian menempelkan punggungnya di tembok dan mengenakan celemek yang kebetulan ada di sebelahnya.

“Kamu punya selera yang unik saat sedang sendirian. Itu aneh.”, sindir Na-Ri.

“Ini tidak aneh sama sekali,” bantah Nan-Gil, “Beginilah kalau aku sedang membuat adonan.”

Na-Ri lantas memberikan kado yang ia bawa pada Nan-Gil lalu memaksa Nan-Gil untuk membukanya langsung, dengan harapan bisa melihat tatonya dan nanti membahasnya. Dengan sambil berusaha terus menempel di tembok, Nan-Gil akhirnya membuka kado tersebut. Karena gugup kado tersebut sempat terjatuh.

“Kamu membuang kado pemberianku?” bentak Na-Ri.

Nan-Gil buru-buru mengambilnya dan kembali merapat ke tembok. Saat dibuka, ia menatap isinya sambil terdiam. Raut mukanya pun berubah. Dengan kesal Na-Ri menanyakan mengapa ia seperti itu.

“Aku suka ini, jadi… Ini terasa.. Begitulah.. Jadi.. Ini seperti orang tua mendapatkan kado dari anaknya.” ujar Nan-Gil terbata-bata.

Na-Ri malah makin kesal mendengarnya. Ia menghentakkan kakinya dan berniat untuk pergi. Namun tiba-tiba ia membalikkan badannya kembali.

“Menurutmu kenapa paman menggunakan telpon supermarket? Kalau aku pasti akan datang ke sini. Ada sesuatu di antara kalian, bukan?” tanya Nan-Gil.

Nan-Gil menelan ludahnya, lalu berkata, “Terima kasih atas kadonya, tapi kamu harus beristirahat. Aku harus mengaduk adonan.”

“Kamu tidak menjawab. Kamu bilang kamu tidak menjawab kalau harus berbohong. Aku benar. Kamu tidak akan…”

Nan-Gil tiba-tiba melangkah mendekati Na-Ri. Ia memegang pundak Na-Ri lalu mendekatkan wajahnya ke arah Na-Ri yang sudah mulai ketakutan melihatnya. Tanpa diduga, Nan-Gil membalikkan tubuh Na-Ri dan mendorongnya keluar dari kamarnya. Ia pun langsung menutup pintunya agar Na-Ri tidak bisa masuk kembali.

“Aku berhak tahu apa yang terjadi pada pamanku?” teriak Na-Ri dari luar kamar sembari menggedor-gedor pintu kamar Nan-Gil.

Tak lama kemudian Na-Ri kembali ke rumahnya. Dengan kesal ia membuka kulkas dan meminum air dari botol minum yang ada. Pandangannya sempat terhenti melihat isi kulkas yang penuh dan rapi serta piring-piring yang tertata manis di dapur, namun dengan segera ia meyakinkan dirinya bahwa Nan-Gil pasti sengaja melakukan itu agar dirinya luluh.

Na-Ri kemudian terlihat berada di kamar Nan-Gil (yang ada di rumah) dan sedang membongkar isi lemarinya. Tanpa ia sadari Nan-Gil masuk ke rumah dan mengetahui hal itu. Ia pun masuk ke kamar dan melangkah mendekati Na-Ri yang kaget melihat keberadaannya.

“Kamu bilang kamu mempercayaiku. Apa yang kamu cari? Apa yang ingin kamu tahu?” tanya Nan-Gil.

“Aku ingin tahu kamu seperti apa.”

“Seperti itu? Kalau begitu aku akan mengatakannya kepadamu. Ko Nan Gil. Ko-Nan-Gil. Apakah itu mengingatkanmu akan sesuatu? Kamu tidak ingat sama sekali?”

Na-Ri berpikir keras, mencoba mengingat-ingat nama itu, apakah berhubungan dengan sesuatu atau tidak.

“Siapa itu Ko Nan Gil? Siapa kamu?” tanya Na-Ri.

Nan-Gil memberi tanda dengan tangannya agar Na-Ri mendekatinya. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Na-Ri dan berkata, “Aku adalah ayahmu.”

Na-Ri langsung kaget begitu melihat wajah Nan-Gil sudah mengenakan topeng Darth Vader. Tangannya menggapai ke arah Na-Ri. Na-Ri berteriak ketakutan… lantas terbangun dari mimpinya.

Esok harinya Na-Ri memutuskan untuk menemui Duk-Bong. Mereka bertemu di depan gedung museum robot Duk-Bong. Duk-Bong memberitahunya bahwa ia adalah lulusan hukum dengan nilai tertinggi di tahunnya. Namun demikian, ia memilih untuk tidak menjadi jaksa atau pengacara karena merasa tidak sesuai dengan dirinya. Na-Ri lalu menanyakan mengapa Duk-Bong ingin membantunya. Duk-Bong menjawab bahwa ia tidak bilang akan membantu Na-Ri, hanya ingin menciptakan solusi sama-sama menang bagi mereka berdua.

Mereka berdua kemudian masuk ke kantor Duk-Bong. Saat melangkah ke dalam, Kwon Duk-Sim (Shin Se-Hwui) melihat sosok Na-Ri. Ia pun heran kenapa wanita yang ada di foto Nan-Gil yang ia ambil sebelumnya bisa berada di sana.

Duk-Bong lantas menjelaskan masterplan perusahaannya serta mengapa tanah milik Nan-Gil penting bagi rencananya. Na-Ri sontak kaget begitu mengetahui bahwa danau yang ada di dekat rumahnya pun ternyata adalah milik ibunya, walau kini sudah di atas namakan Nan-Gil. Ia jadi makin curiga pada Nan-Gil.

Sambil menyerahkan lembar persetujuan pengacara, Duk-Bong terus memanas-manasi Na-Ri bahwa yang diincar Nan-Gil hanyalah uang. Na-Ri termakan manisnya kata-kata Duk-Bong dan memutuskan untuk menandatangani persetujuan tersebut.

Setibanya di rumah kembali, ia tiba-tiba berteriak kesakitan. Nan-Gil yang kebetulan sedang berada di halaman mendengarnya dan bergegas naik ke kamar Na-Ri. Ia mendapati Na-Ri terduduk di lantai sambil memegangi punggungnya. Mengaku sakit punggung, Na-Ri meminta Nan-gil untuk membelikannya obat di apotek sementara ia menunggu sambil berbaring di lantai. Na-Ri lantas menuliskan nama obat yang sebenarnya ia pikirkan secara asal-asalan dari tiga nama kosmetik yang muncul di kepalanya, ‘Chi Royal Dimple’. Meski heran, Nan-Gil tetap berangkat untuk membelikan obat tersebut.

Seperti sudah diduga, Na-Ri hanya berpura-pura sakit. Tujuannya adalah untuk menyusup masuk ke ruangan Nan-Gil yang ada di restoran. Yang pertama ia lakukan adalah mencoba masuk ke komputer Nan-Gil. Apesnya, tiga kali percobaan yang ia lakukan gagal, sehingga komputer terkunci. Ia lantas mengecek isi laci Nan-Gil dan mendapatkan banyak kartu bertuliskan pesan-pesan mesra. Entah dari dan untuk siapa. Na-Ri membacanya dengan tampang jijik, menganggap Nan-Gil playboy. Ia kembali membongkar laci Nan-Gil dan menemukan setumpuk foto. Na-Ri pun langsung terdiam melihat ada beberapa foto Nan-Gil dengan ibunya, dimana keduanya sama-sama tersenyum bahagia.

Nan-Gil mencari obat yang diminta Na-Ri ke sejumlah apotek, yang tentu saja tidak berhasil ia dapatkan. Saat menanyakan obat tersebut ke rumah sakit, ia baru menyadari Na-Ri menipunya setelah muncul notifikasi di ponselnya bahwa ada yang berusaha membobol password komputernya. Dan terlihat wajah Na-Ri dari foto-foto yang otomatis diambil oleh komputer Nan-Gil.

Saat melangkah keluar dari restoran, Na-Ri baru menyadari pintu gudang di samping rumah yang digembok. Ia pun memfoto tembok tersebut agar bisa mencari kuncinya. Sementara itu, sekretaris Duk-Bong, yang sedari tadi diam-diam membuntuti Nan-Gil, memanggilnya saat ia keluar dari rumah sakit. Ia lalu menunjukkan dokumen-dokumen hasil investigasinya terhadap Na-Ri.

“Kamu tidak berada di pihakku, kenapa kamu menunjukkan ini padaku?” tanya Nan-Gil.

“Sepertinya ia sedang menyelidikimu. Kamu tidak ingin masa lalu terungkap, bukan? Pergilah.” jawab si sekretaris.

“Kamu khawatir terhadapku? Ada apa denganmu?” tanya Nan-Gil lagi.

“Kamu sungguh ingin hidup seperti ini? Kamu masih muda. Pergilah dan jalani hidupmu. Jangan letakkan dirimu di kehidupan orang lain.”

“Beginilah sekarang aku menjalani hidupku,” tegas Nan-Gil. “Aku menjalaninya dengan baik dan aku bahkan tidak ingin membuang sedetik saja sia-sia. Dan ini bukan tentang orang lain, tapi keluargaku.”

Nan-Gil mengembalikan dokumen-dokumen tersebut lalu pergi.

Duk-Shim pulang dari sekolah. Ternyata ia sering dibully oleh teman-temannya. Termasuk pada hari itu dimana teman-temannya membuatnya tidak bisa pulang dengan naik bus sehingga ia pun terpaksa berjalan kaki. Nan-Gil yang sempat melihatnya dalam perjalanan pulang lantas menyapanya di jalan.

“Hei,” sapa Nan-Gil, “Aku ingat kamu naik sepeda bagus sebelumnya. Dimana sepeda itu?”

Duk-Shim tidak menjawab, justru mempercepat langkahnya. Nan-Gil lalu menunjukkan kebolehannya beratraksi dengan sepeda, yang sukses membuat Duk-Shim berhenti berjalan.

“Aku rasa aku melihat sepedamu di suatu tempat. Toko sepeda bekas di kota memilikinya. Kamu tidak menjualnya, bukan?” tanya Nan-Gil.

Duk-Shim mengangguk lalu kembali menundukkan wajahnya.

“Kamu sungguh pemalu,” respon Nan-Gil. “Aku ini jahat.. eh tidak, aku ini bukan orang jahat.”

Duk-Shin diam-diam tersenyum mendengar perkataan Nan-Gil.

“Kamu tampak manis saat tersenyum,” puji Nan-Gil.

Duk-Shim jadi malu mendengarnya. Ia berhenti tersenyum lalu mendongakkan wajahnya, menatap ke arah Nan-Gil.

“Begitu kamu kehilangan sesuatu dari mereka, itu tidak akan berakhir, karena orang yang mengambil tidak punya hati nurani.” nasehat Nan-Gil.

“Datanglah padaku jika kamu ingin sepedamu kembali. Kamu tahu Hong Dumplings, kan?” lanjut Nan-Gil sembari berpamitan pergi.

Dong-Jin sedang bersama Do Yeo-Joo (Jo Bo-Ah) di sebuah coffee shop saat Na-Ri tiba-tiba menghubunginya. Melihat Na-Ri yang menelpon, Yeo-Joo memasang muka manis dan mempersilahkan Dong-Jin untuk menerima telpon tersebut.

“Jika kamu ingin $30,000-mu kembali, bekerjasamalah,” ujar Na-Ri tanpa basa-basi. “Hari ini peringatan kematian ibuku.”

“Aaahh, aku minta maaf tidak mengingatnya. Kamu membutuhkanku.” respon Dong-Jin ge-er.

“Jangan coba-coba. Aku tahu kamu masih mengencani Yeo Joo. Aku bilang bekerjasama. Kamu setidaknya bisa melakukan itu untukku. Datang dan minum-minumlah.” balas Na-Ri.

“Minum?” tanya Dong-Jin.

“Buat ia minum sampai ia hampir mati. Buat dia pingsan. Siapa? Oh, si pencari emas itu? Si penipu? Oke, baiklah.” jawab Dong-Jin.

Setelah menutup telpon dan membalikkan badan, Dong-Jin langsung kaget mendapati Yeo Joo sudah ada di belakangnya. Dengan sedih ia menanyakan apakah Na-Ri memanggilnya penipu. Dong-Jin pun menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang lain.

“Hari ini adalah hari peringatan kematian ibunya. Tapi ia tidak punya siapa-siapa di sampingnya. Aku rasa ia membutuhkanku,” ucap Dong-Jin pede.

Yeo Joo langsung duduk sambil berpura-pura hendak menangis. Ia meminta agar Dong-Jin mengakhiri hubungannya dengan dirinya karena Na-Ri masih belum bisa meninggalkan Dong-Jin. Dong-Jin terpaksa mengatakan bahwa ini berhubungan dengan uang. Mendengar itu, wajah Yeo Joo langsung berubah ceria dan mengatakan bahwa ia akan ikut dengan Dong-Jin ke tempat Na-Ri, bahkan bersedia untuk menunggu di mobil. Wajahnya kembali bete begitu Dong-Jin menjawab bahwa ia akan berangkat sendiri saja.

Nan-Gil mendapati kamarnya dalam keadaan berantakan. Meski tahu Na-Ri membohonginya, ia membawakan dumpling untuknya. Begitu mendengar Nan-Gil akan masuk ke kamarnya, Na-Ri segera berpura-pura tidur dan bangun sesaat setelah Nan-Gil duduk di sebelahnya.

“Mereka tidak punya obat semacam itu. Mungkin hanya ada di Seoul. Haruskah aku pergi ke sana dan mengambilnya?” pancing Nan-Gil.

“Tidak. Aku merasa baikan.” jawab Na-Ri cepat.

“Aku seharusnya memanggil ambulans,” lanjut Nan-Gil.

“Aku bilang aku baikan!” bentak Na-Ri.

“Kamu bahkan tidak bisa berdiri.”

“Aku akan jadi baikan kalau aku berbaring, tapi itu akan makan waktu seharian,” dalih Na-Ri.

Nan-GIl membuka tutup tempat dumpling, lalu berkata, “Aku pikir kamu lapar. Makanan yang layak terlalu berlebihan, tapi mungkin kamu bisa makan beberapa dumpling.”

Na-Ri yang memang kelaparan mulai kalap mencium bau dumpling tersebut.

“Mungkin beberapa,” ujarnya jual mahal.

“Kalau begitu cobalah beberapa,” balas Nan-Gil. “Tapi bagaimana dengan kamar mandi?”

“Aku tidak pergi ke kemar mandi begitu saja setelah makan,” dalih Na-Ri.

“Wah, jadi kamu sembelit juga? Stress, insomnia, kurang nutrisi, osteoporosis, herniated disc, dan sembelit. Apa yang tidak kamu punya? Itu sebabnya kamu mendapat keriput…”

“Hentikan! Berhenti dengan keriput!” bentak Na-Ri sambil tidak sengaja bangkit dari tidurnya. Begitu menyadari, ia langsung berpura-pura sakit punggung dan berbaring kembali.

Di kantor Duk-Bong, sekretarisnya menyerahkan hasil investigasi Na-Ri pada Duk-Bong. Setelah melihatnya, Duk-Bong menyimpulkan Na-Ri adalah model orang mengikuti jalan lurus dan sempit.

Usai menyantap semua dumpling yang dibawakan Nan-Gil, perut Na-Ri merasa kenyang. Apesnya, perutnya mulai terasa sakit sehingga diam-diam ia pun turun ke bawah menuju ke kamar mandi. Untungnya Nan-Gil sedang sibuk membuat masakan sehingga ia tidak mengetahuinya. Tak lama kemudian Duk-Bong datang dan meminta untuk bertemu dengan Na-Ri. Nan-Gil menjawab bahwa Na-Ri tidak bisa ditemui karena sedang sakit punggung.

“Lalu siapa itu yang sedang berdiri di situ?” tanya Duk-Bong.

Begitu menoleh ke belakang, Nan-Gil mendapati Na-Ri yang terdiam kaku karena ketahuan hendak menyelinap kembali ke kamarnya.

“Terasa lebih sakit kalau hanya berbaring,” dalih Na-Ri.

Na-Ri segera mengajak Duk-Bong ke kamarnya. Di sana, Duk-Bong menanyakan apakah Na-Ri berhasil menemukan sesuatu tentang Nan-Gil. Ternyata ia yang meminta Na-Ri untuk menggeledah kamar Nan-Gil. Duk-Bong mengatakan bahwa jika memang tidak menemukan sesuatu di sana, sebaiknya mereka melaporkan saja tentang penipuan pernikahan yang dilakukan Nan-GIl. Duk-Bong menambahkan bahwa ia juga akan mulai menginvestigasi kecelakaan yang dialami ibu Na-Ri.

Saat itu tiba-tiba Nan-Gil datang, membawakan minuman bagi Duk-Bong. Ketika Duk-Bong meminumnya, Nan-Gil mengajaknya ngobrol seperti layaknya seorang ayah yang sedang menginterogasi pacar anaknya. Duk-Bong sampai tersedak karena kaget. Ia kemudian hendak memberitahu hubungannya yang sebenarnya dengan Na-Ri, antara pengacara dengan klien, namun Na-Ri langsung memotongnya dengan berteriak memanggil Nan-Gil dengan sebutan ayah.

Nan-Gil kaget sekaligus senang mendengarnya. Begitu Na-Ri beralasan ia ingin diambilkan minum juga, dengan sigap dan senang ia melakukannya. Sepeninggal Nan-Gil, Na-Ri meminta agar Duk-Bong tidak membongkar hubungan mereka pada siapapun.

Sepeninggal Duk-Bong, Nan-Gil lanjut memasak untuk persiapan acara anniversary ibu Na-Ri. Saat mengupas bawang, Na-Ri menanyakan mengenai ponsel ibunya. Ia yakin Nan-Gil menyimpannya karena saat ditelpon ternyata terdengar nada panggil. Karena Nan-Gil tidak menjawab dan terus saja mengupas bawang, pertanyaan Na-Ri mulai melebar hingga membahas tentang tanah dan danau yang dimiliki ibunya.

“Itukah sebabnya kamu mendekatinya? Karena uang?” tuduh Na-Ri.

“Satu hal yang pasti, yang sebenarnya tidak ingin aku beritahu kepadamu, ibumu yang mendekatiku lebih dulu,” jawab Nan-Gil.

Na-Ri seperti biasa tidak percaya mendengarnya. Ia kembali meminta ponsel ibunya.

“Kamu tidak berhak. Itu punyaku.” respon Nan-Gil.

“Aku tidak berhak? Lalu kenapa kamu tidur di restoran? Kamu bilang ini rumahmu. Inikah hati nuranimu? Kenapa kamu tidak menendangku keluar dan menggunakan ruang tidur utama?”

“Aku butuh membuat adonan.”

“Apakah kamu tidak berbagi tempat tidur dengan ibuku?”

Nan-Gil mulai kesal dengan pertanyaan Na-Ri. Ia berkata, “Apa yang ingin kamu katakan? Apakah kita berbagi tempat tidur? Pertanyaan macam apa itu? Apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan? Seperti apa hubungan kita? Aku sudah bilang kepadamu. Apa kamu tidak suka ini adalah rumahku? Apakah karena uang? Kamu butuh uang?”

Na-Ri terdiam sejenak lalu menjawabnya, “Kamu mengerikan pada saat marah, Ko Nan Gil yang legendaris. Apa dan berapa yang kamu harus lakukan untuk menjadi legenda di bidang itu?”

Nan-Gil mendekatkan wajahnya ke arah Na-Ri. Dengan tegas ia berkata, “Seorang legenda tidak pernah membicarakan cerita legenda mereka. Aku akan tinggal di sini selamanya. Aku akan membuat dumpling. Aku akan tinggal di sini hingga pohon yang aku tanam di samping danau tumbuh tinggi. Jadi sudah cukup untuk hari ini. Kita akan punya waktu banyak nanti. Bersiaplah. Aku akan mengatur meja.”

Setelah semuanya siap, berdua mereka lalu memberi hormat pada almarhum ibu Na-Ri. Na-Ri lantas menceritakan bahwa waktu kecil teman-temannya selalu mengatai dirinya yang tidak punya ayah dan dumpling buatan ibunya yang tidak enak. Ia pun menjadi menjauhi mereka dan memilih menjalani hari-hari berdua saja dengan ibunya.

“Ia adalah segala bagiku. Aku yakin aku berarti sama baginya. Aku bermaksud untuk mencari tahu apa yang terjadi padanya. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu akui sebelum aku melakukannya?”

“Baiklah,” jawab Nan-Gil, “Sesungguhnya… rasa dumpling tersebut benar-benar parah saat aku tiba di isni. Teman-temanmu mungkin melebih-lebihkan, tapi mereka benar.”

Na-Ri jadi emosi mendengarnya. Saat itu bel pintu berbunyi dan Dong-Jin datang dengan membawa dua buah botol besar soju. Nan-Gil yang mengetahuinya segera menyuruhnya masuk.

Setelah Dong-Jin memberi hormat pada almarhum ibu Na-Ri, Na-Ri memaksa mereka berdua untuk mulai minum. Nan-Gil sempat menolak dan meminta Dong-Jin membawa Na-Ri pulang ke Seoul, tapi Na-Ri berdalih bahwa SOP-nya seperti itu. Ia pun menurutinya.

“Na-Ri benar-benar tidak tahu apa-apa,” ucap Dong-Jin pada Nan-Gil sesaat setelah Na-Ri meninggalkan mereka.

Ternyata beberapa waktu lalu Nan-Gil sempat menemui Dong-Jin dan mengembalikan uang $30,000 yang dipinjam oleh paman Na-Ri. Saat itu, Nan-Gil meminta Dong-Jin untuk mengatakan bahwa pamannya yang sudah membayar hutang tersebut. Dong-Jin lalu menyusul Nan-Gil yang sudah berpamitan pulang, untuk mengembalikan uang tersebut karena ia ingin mengurusnya langsung dengan paman Na-Ri. Anehnya, saat ditemui di luar, Nan-Gil terlihat seperti sedang sesak napas dan panik. Ia bahkan pergi begitu saja seperti orang linglung hingga hampir tertabrak mobil.

Kembali ke masa sekarang. Dong-Jin menanyakan apakah Nan-Gil sedang sakit. Tapi melihat Na-Ri hendak mendatangi mereka, Nan-Gil segera menutup mulut Dong-Jin. Sesaat kemudian Na-Ri datang dengan membawa meja kecil untuk minum.

Mereka bertiga pun mulai minum. Agar tidak ikut mabuk, setiap kali keduanya tidak melihat, Na-Ri mengganti isi gelasnya dengan air mineral. Sementara itu, Yeo Joo diam-diam menyusul Dong-Jin ke rumah Na-Ri.

Kembali ke rumah Na-Ri, Dong-Jin dan Nan-Gil sudah mulai mabuk, walau sama-sama masih tersadar. Na-Ri memanfaatkan momen itu untuk kembali mengecek isi kamar Nan-Gil. Saat menggeledah isi dompetnya, ia kaget melihat tahun lahir Nan-Gil di tanda pengenalnya, tahun 1990. Ia lalu memfoto tanda pengenal tersebut. Tak lama yang ia cari akhirnya berhasil diketemukan. Kunci. Dengan menggunakan api dan selotip, ia lantas membuat cetakannya.

Na-Ri kemudian mendengar Nan-Gil dan Dong-Jin memanggilnya. Mereka yang sudah mabuk parah mengajak Na-Ri untuk ikut minum dengan mereka.

“Maafkan aku. Tapi kamu tahu kan perasaanku?” ujar Dong-Jin.

“Itu benar. Kalian harus berkelahi tentang hal sepele itu sebelum kalian menikah.” balas Nan-Gil.

Tanpa diduga, Na-Ri kesal dengan ucapan mereka dan langsung mengambil gelas soju yang diberikan Dong-Jin lantas meminumnya. Keduanya pun kaget sendiri melihatnya.

Sementara itu, Yeo Joo tiba di kota tempat tinggal Na-Ri. Karena tidak tahu jalan, ia bertanya kepada Duk-Shim yang kebetulan lewat. Begitu mendengar yang ditanyakan adalah jalan menuju Hong Dumplings, Duk-Shin langsung melirik ke arah Yeo Joo dengan pandangan tajam, hingga membuat Yeo Joo ketakutan sendiri. Ia lalu menunjuk ke salah satu arah, entah benar atau tidak. Dengan sopan, karena takut, Yeo Joo berpamitan.

Seperti sudah ditebak, Na-Ri akhirnya ikut mabuk juga. Dalam keadaan mabuk itulah ia menceritakan apa yang dilakukan Dong-Jin kepadanya. Nan-Gil jadi pusing sendiri mendengarnya.

“Tapi kenapa ia datang hari ini? Aku pikir aku melihatmu tertawa bersamanya. Aku tidak menyukainya tapi apa yang bisa aku lakukan. Kenapa ia datang?” tanya Nan-Gil.

“Semua sungguh sudah berakhir,” tegas Na-Ri.

“Aku akan mengurusnya. Oke? Serahkan padaku, aku akan mengurusnya.” respon Nan-Gil, yang lantas mengangkat Dong-Jin dan menyeretnya keluar.

Tepat saat mereka berdua keluar dari pagar, Yeo Joo tiba di sana. Na-Ri menyusul keluar tak lama kemudian. Melihat ada Yeo Joo di sana, ia pun langsung naik pitam dan meminta Yeo Joo untuk segera pergi sambil membawa Dong-Jin pulang. Saat itu, Yeo Joo masih sempat-sempatnya terpesona dengan ketampanan Nan-Gil dan mengira ia adalah adik Na-Ri.

“Berani-beraninya kamu menggodanya?” bentar Na-Ri sambil mendorong Yeo Joo menjauh.

Nan-Gil dan Dong-Jin jadi terjatuh karenanya. Bukannya mengurusi Dong-Jin, Yeo Joo justru khawatir terhadap Nan-Gil dan segera berusaha membantunya berdiri. Yeo Joo yang terus-terusan memanggil Nan-Gil adik kecil membuat Nan-Gil gerah dan hendak menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Na-Ri segera menutup mulut Nan-Gil sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya.

Sementara itu, sekretaris Duk-Bong mencoba menghubungi Duk-Shim, tapi telponnya tidak diangkat. Duk-Shim sendiri saat itu sedang mengintip apa yang terjadi di depan rumah Na-Ri karena sebelumnya diam-diam membuntuti Yeo Joo. Kembali ke tempat Na-Ri, Nan-Gil akhirnya berhasil membawa DOng-Jin masuk ke dalam mobil. Di luar mobil, Yeo Joo dan Na-Ri masih saja adu pendapat.

“Kamu bersikap seolah kamu pandai dalam memotong sesuatu dan memegang katamu, jadi jangan telpon dia lagi. Jangan memintanya untuk datang kepadamu. Jangan mengeluh. Aku adalah korban di sini. Aku terluka dan dipermalukan…”

Na-Ri tidak tahan lagi dengan kata-kata Yeo Joo dan melampiaskannya dengan menendang dan memukuli mobil Dong-Jin. Terakhir ia menutup aksinya dengan mematahkan spion mobil.

“Kamu seharusnya tidak datang ke sini. Kamu terlalu bodoh dan terlalu tidak tahu malu. Hari ini adalah anniversary ibuku. Kamu hanya peduli tentang dirimu, jadi kamu tidak peduli. Aku akan membalasmu dengan apa yang paling kamu takuti. Aku akan mengatakan pada semua orang di tempat kerja tentang apa yang sudah kamu lakukan dan mengatakan pada Dong Jin tentang masa lalumu yang mesum.”

Mendengar hal itu, sikap Yeo Joo langsung berubah jadi lunak. Ia segera meminta maaf pada Na-Ri, berdalih bahwa ia lupa bahwa hari ini adalah hari anniversary ibu Na-Ri. Na-Ri tidak percaya dan mendorongnya hingga terjatuh. Sambil duduk berlutu Yeo Joo lantas kembali meminta maaf dan memohon agar Na-Ri tidak menceritakan masa lalunya pada Dong-Jin. Na-Ri tetap mengancam akan melakukan hal itu suatu saat nanti jika ia ingin.

Setelah Na-Ri pergi, Nan-Gil keluar dari mobil. Yeo Joo kembali tebar pesona dan tersenyum manis menyambutnya. Nan-Gil lantas membenarkan posisi spion mobil Dong-Jin yang habis dipatahkan Na-Ri dan mengelapnya dengan jasnya.

“Aku sudah memperbaikinya, jadi jangan terlibat kecelakaan. Jangan sampai kecelakaan. Jika kamu sampai kecelakaan, Na-Ri akan menyalahkan dirinya sendiri.” ujar Nan-Gil.

“Ini bukan hariku,” gumam Yeo Joo kesal, seraya mengemudikan mobil Dong-Jin.

Na-Ri yang hendak masuk ke rumah kembali lagi keluar menemui Nan-Gil. Ia meminta Nan-Gil untuk segera masuk. Nan-Gil mengiyakan namun tiba-tiba ia terjatuh tak sadarkan diri, tepat ke pelukan Na-Ri.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 4

Berikut ini adalah video preview dari drakor Man Living At My House / Sweet Stranger And Me episode 4:

=== segera, saat ini belum tersedia ===

» Sinopsis eps 4 selengkapnya

sinopsis manlivingatmyhouse 3

Leave a Reply