Sinopsis Man Living At My House Episode 2 & Preview Episode 3 (2016)

Di sinopsis Man Living At My House episode sebelumnya, Hong Na-Ri (Soo-Ae) kaget mengetahui ada seorang pria bernama Ko Nan-Gil (Kim Young-Kwang) yang kini tinggal di rumah ibunya, sekaligus juga menjadi pemilik dari restoran Hong Dumpling milik ibunya. Terlebih, Nan-Gil begitu peduli terhadapnya, dan mengaku-ngaku sebagai keluarganya. Ia pun seolah tidak percaya begitu mendengar Nan-Gil menyatakan bahwa ia adalah ayah Na-Ri! Nah loh! Bagaimanakah kelanjutan cerita dari sinopsis drama korea Sweet Stranger And Me episode 2?

Sinopsis Episode 2

Na-Ri tidak percaya dengan pernyataan Nan-Gil bahwa ia adalah ayah tirinya. Ia malah menanyakan umur Nan-Gil dengan nada mengejek.

“Aku sudah bilang kalau aku ini ayah tirimu,” ujar Nan-Gil. “Tidakkah itu sedikit kurang ajar?”

“Kamu seharusnya melakukan risetmu. Ibuku sudah meninggal. Bagaimana bisa aku punya ayah tiri pada saat aku tidak punya ibu?” tanya Na-Ri.

“Jung Im dan aku mendaftarkan pernikahan kami tahun lalu,” jelas Nan-Gil.

“Apa? Jung Im? Hey! Dasar gigolo tukang tipu!” bentak Na-Ri kesal.

Nan-Gil kaget mendengar ucapan Na-Ri. Perlahan ia mendekat ke arah Na-Ri.

“Memanggilku dengan nama-nama itu adalah penghinaan terhadap ibumu,” ucap Nan-Gil. Ia lalu melanjutkan, “Hari dimana aku pertama kali bertemu denganmu di pohon itu adalah hari perayaan tahun pertama kita.”

Na-Ri masih tetap tidak mempercayainya. Ia lalu menanyakan apakah Nan-Gil punya foto untuk membuktikan semua perkataannya barusan. Awalnya sempat enggan, Nan-Gil lantas menunjukkan foto dirinya dengan ibu Na-Ri di ponselnya. Na-Ri pun kaget melihatnya. Dengan santai Nan-Gil menepuk pundak Na-Ri lalu berlalu meninggalkannya.

Dokter menjelaskan pada Na-Ri bahwa tidak ada kelainan dari hasil pemeriksaan. Ia mengkonfirmasi hilangnya penglihatan Na-Ri sebelumnya hanya dampak akibat stress yang berlebih. Na-Ri yang saat itu ada di depannya ternyata tidak mendengarkannya dan masih tetap memikirkan tentang foto yang ditunjukkan Nan-Gil kepadanya. Ia jadi galau sendiri membayangkannya dan memukul-mukul dadanya, membuat dokter menyimpulkan bahwa Na-Ri memang orang yang mudah stress. Alih-alih mendengarkan penjelasan dokter, Na-Ri menanyakan bagaimana sebelumnya si dokter mendaftarkan pernikahannya.

Kwon Duk-Bong (Lee Soo-Hyuk) yang sempat menguping pembicaraan Na-Ri dan Nan-Gil di rooftop menghampiri Nan-Gil. Ia ternyata juga menganggap Nan-Gil sebagai penipu dan yakin apabila Na-Ri membawa masalah pernikahan itu ke ranah hukum Nan-Gil akan kalah. Oleh karena itu, sebelum itu terjadi, Duk-Bong menawarkan kontrak penjualan tanah restoran milik Nan-Gil dengan separuh harga. Nan-Gil menolak dan memastikan tidak akan pernah menjualnya meski ditawar 10 kali lipat.

“Aku tidak tahu bagaimana caranya kamu menipu wanita yang 30 tahun lebih tua…”

“Jaga mulutmu!” ujar Nan-Gil, bersamaan dengan Na-Ri yang muncul dari belakang.

Duk-Bong segera meminta maaf, berdalih tidak tahu bahwa Na-Ri sedang mendengarkan. Nan-Gil tersenyum senang melihatnya.

“Apakah salahku untuk mendengar? Permintaan maaf tidak jujur dan palsu macam apa itu tadi?” bentak Na-Ri. Di belakang Nan-Gil kembali mengangguk-angguk dengan senang.

Duk-Bong kembali mengulangi permintaan maafnya. Nan-Gil lantas menanyakan mengenai hasil test Na-Ri, yang dijawab Na-Ri dengan nada biasa seolah baru saja tidak terjadi apa-apa. Duk-Bong jadi heran sendiri mendengarnya. Ia pun pergi meninggalkan rumah sakit dengan kesal.

“Kenapa ia malah marah padaku, bukannya pada si penipu itu? Biarlah ia kehilangan rumah, tanah, dan segalanya,” gerutu Duk-Bong.

Saat Nan-Gil mengurus administrasi rumah sakit, Na-Ri membayangkan ia sedang menghajar Nan-Gil dan hendak membawanya ke kantor polisi. Khayalannya langsung terhenti begitu Nan-Gil memanggilnya dan mengajaknya pulang. Tiba-tiba ponsel Na-Ri berbunyi. Ibu Jo Dong-Jin (Kim Ji-Hoon) yang menelpon, menanyakan tentang undangan pernikahan mereka. Tidak tahu harus menjawab apa, Na-Ri beralasan sedang sibuk dan tidak bisa ngobrol saat ini.

Duk-Bong lantas menawarkan diri untuk mengantarkan Na-Ri pulang. Na-Ri sempat menolak, namun begitu Duk-Bong menyebutkan nama ibunya, Na-Ri langsung masuk ke mobil Duk-Bong. Dengan terus terang Duk-Bong mengaku bahwa ia ingin membeli tanah restoran milik ibu Na-Ri, namun ditolak olehnya.

Saat itu Nan-Gil keluar dari rumah sakit. Melihatnya, Na-Ri hendak keluar dari mobil. Duk-Bong mencegahnya, sekaligus memberitahunya bahwa meski sekarang Na-Ri berniat untuk menjual tanah tersebut ia tidak bisa melakukannya karena sekarang tanah itu ada di bawah nama Ko Nan-Gil.

“Orang itu benar-benar penipu dan gigolo,” provokasi Duk-Bong. “Aku tidak bermaksud untuk menghinamu, tapi kamu seharusnya memperhatikan situasi.”

Pancingan Duk-Bong berhasil. Na-Ri kembali kepikiran tentang hal itu. Apalagi saat Duk-Bong menambahkan bahwa melangsungkan pernikahan tanpa memberitahu anaknya adalah hal yang aneh. Belum lagi dengan mendadak terjadi kecelakaan mobil.

Mengetahui Na-Ri berada di dalam mobil Duk-Bong, Nan-Gil berjalan pulang sendiri. Saat mobil Duk-Bong melewatinya, Na-Ri melihat bahwa Nan-Gil ternyata mampir ke apotek. Tanpa basa-basi, ia langsung turun begitu saja dari mobil Duk-Bong, yang saat itu sedang berhenti di lampu merah, dan mulai menguntit Nan-Gil. Tapi belum apa-apa ia sudah ketahuan. Nan-Gil pun lalu mengajaknya makan.

Mereka tiba di sebuah rumah makan. Melihat sikap Na-Ri yang acuh tak acuh, pemilik rumah makan mengira mereka adalah pasangan yang sedang bertengkar. Ia pun berniat untuk memberi mereka ruang khusus yang sepi dan berpemandangan indah agar bisa meredakan pertengkaran mereka. Nan-Gil hendak menjelaskan bahwa mereka adalah ayah dan anak, namun Na-Ri langsung memotong dan menerima tawaran ruangan tersebut.

Setelah makanan dihidangkan dan pelayan pergi meninggalkan mereka, Na-Ri meminta Nan-Gil untuk tidak mengoreksi pendapat orang-orang tentang mereka, apapun itu.

“Jangan pernah mengatakan kita ayah dan putrinya lagi,” ujar Na-Ri.

“Itulah sumber stress,” respon Nan-Gil sambil memukul meja. “Kamu terlalu khawatir terhadap apa yang dipikirkan orang. Kenapa kamu peduli dengan pendapat mereka? Kita bukan pasangan. Kita bukan teman. Kita bukan saudara juga. Berbohong karena orang lain…”

Na-Ri memotong perkataan Nan-Gil dan kembali mengungkit soal umur.

“Kamu punya banyak kemarahan. Kamu pasti benar-benar stress.” balas Nan-Gil.

“Kamu menghindari pertanyaan. Apakah kamu lebih muda dariku?” tanya Na-Ri lagi.

“Kita tidak perlu mendiskusikan soal umur,” ucap Nan-Gil sembari mulai makan.

Na-Ri kemudian meminta mereka berbicara secara formal karena situasi belum jelas. Dengan nada bicara formal, Nan-Gil meminta Na-Ri untuk makan dan beristirahat yang cukup, agar cukup sehat untuk segera kembali ke Seoul dan memeriksakan diri di rumah sakit di sana yang lebih kompeten. Alih-alih mengiyakan, Na-Ri malah kembali curiga bahwa Nan-Gil sengaja ingin agar dirinya cepat pergi dari sana karena ia merasa bersalah dan takut ketahuan belangnya. Ia pun memastikan bahwa setelah ia cukup sehat ia akan berbicara lagi dengan Nan-Gil.

“Pernahkah kamu berpikir tentang perasaanku?” tanya Na-Ri kesal.

“Perasaan apa? Apakah kamu sedih karena ibuku menikah tanpa memberitahumu? Atau kamu merasa gugup karena ada orang asing tinggal di rumah yang kamu kira kamu warisi?”

Na-Ri terdiam mendengarnya.

Jo Dong-Jin (Kim Ji-Hoon) janjian dengan Do Yeo-Joo (Jo Bo-Ah). Hubungan asmara keduanya ternyata sudah berakhir, walau demikian, Yeo-Joo mengajaknya bertemu karena merasa akhir hubungan mereka masih kurang layak. Begitu Yeo-Joo menyinggung soal Na-Ri, Dong-Jin seolah kaget dan langsung mengatakan bahwa ia hendak menuju rumah sakit untuk menjenguk Na-Ri. Yeo-Joo berpura-pura perhatian dan meminta Dong-Jin untuk segera berangkat ke sana. Dong-Ji pun bergegas mengambil mobilnya dan berjanji akan men-drop Yeo-Joo dalam perjalanannya. Sepeninggal Dong-Jin, dengan wajah kesal Yeo-Joo mengatai Na-Ri yang ia anggap sudah bermain kotor di belakangnya.

“Bagaimana itu tidak mengejutkan?” tanya Na-Ri pada Nan-Gil. “Aku bisa mengerti bahwa ibuku menikahi seorang pria muda and ia memberikan semua yang ia punya kepadanya. Jika ia masih hidup, aku bisa mengerti semua itu. Tapi ini terlalu aneh. Aku tidak bisa menerimanya.”

Nan-Gil terdiam. Tatapannya berubah menjadi sendu. Ia lalu menatap Na-Ri dan berkata lirih, “Jika ia masih hidup. Tentu. Aku mengatakan itu beberapa kali dalam sehari. Setiap hari. Aku tahu bahwa ada mobil-mobil yang menyetir tidak berhati-hati. Kenapa ia harus berada di sana?”

Na-Ri lalu mengaku bahwa sebelum meninggal ibunya sempat menghubunginya dan meminta bertemu, mengatakan ada sesuatu yang ia bicarakan secara langsung. Namun karena sibuk, Na-Ri belum sempat untuk menemui ibunya, hingga akhirnya ia meninggal.

“Apakah itu yang ingin dibicarakan ibuku?” tanya Na-Ri.

“Mungkin,” jawab Nan-Gil.

Na-Ri menundukkan kepalanya dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, seolah merasa menyesal. Namun tiba-tiba ia mengangkat kembali wajahnya dan berkata, “Jawab pertanyaanku dengan jujur.”

“Tidak,” respon Nan-Gil. “Jika aku harus berbohong, aku tidak akan menjawabnya.”

“Apakah ibuku membicarakan tentangku?” tanya Na-Ri.

“Tidak juga,” jawab Nan-Gil.

“Berapa lama kamu bekerja di restoran kami?” tanya Na-Ri lagi.

“Itu sebelum kita mendaftarkan pernikahan kita…”

“Jadi, kamu kebetulan pergi ke restoran, kebetulan bekerja di sana, dan kebetulan bertemu ibuku dan menikahinya.”

“Itu saja?” tanya Nan-Gil.

“Tidak,” jawab Na-Ri.

“Aku sudah ditakdirkan untuk bertemu dengannya,” ujar Nan-Gil sambil menengadahkan wajahnya.

“Lalu kenapa aku tidak pernah melihatmu?”

“Kamu datang di malam hari atau di saat restoran sudah tutup,” jawab Nan-Gil. “Dan ketika kamu datang, yang kamu lakukan hanyalah tidur di kamarmu. Aku terkadang menghindarimu.”

“Kenapa kamu menghindariku?”

Nan-Gil mengangkat bahunya tanpa menjawab pertanyaan Na-Ri.

“Apakah kamu masih pergi ke tempat ibuku?” tanya Na-Ri lagi.

“Aku sering pergi di jam-jam favoritnya.”

Na-Ri lalu teringat, di saat kecil, ia pernah hangout bersama ibunya di pinggir danau, dan ibunya mengatakan bahwa saat itu adalah jam favoritnya.

“Apakah kamu mencintainya karena kamu jatuh cinta?” tanya Na-Ri perlahan.

Belum sempat Nan-Gil menjawab, Na-Ri sudah mengatakan bahwa waktunya habis dan ia pasti tidak menjawab karena tidak mau berbohong.

“Aku menikahinya karena aku jatuh cinta,” jawab Nan-Gil sambil menatap dalam wajah Na-Ri.

Dong-Jin datang dengan mobilnya. Setelah masuk ke dalam, Yeo-Joo kembali berpura-pura perhatian pada Na-Ri dan menanyakan kondisinya. Dong-Jin menjawab bahwa ada orang yang menelponnya, memberitahu bahwa Na-Ri sudah keluar dari UGD dan bisa ditemui di rumah. Yeo-Joo berpura-pura senang mendengarnya. Dengan wajah polos ia lantas memanggil Dong-Jin dengan manja.

“Jika aku memintamu untuk tetap bersamaku untuk sedikit lebih lama lagi, bisakah kamu melakukannya untukku?” tanya Yeo-Joo.

“Denganmu?” tanya Dong-Jin, yang tampak sudah mulai goyah.

Yeo-Joo berdalih bahwa ia hanya ingin merasakan mengatakan hal seperti itu pada Dong-Jin dan tidak sungguh-sungguh ingin Dong-Jin menemaninya. Ia pun meminta Dong-Jin untuk segera pergi menemui Na-Ri dan tidak berselingkuh darinya lagi. Dong-Jin mulai bertambah galau. Tahu hal itu, Yeo-Joo dengan mata berkaca-kaca menambahkan bahwa ia hanya ingin bisa melihat wajah Dong-Jin dari waktu ke waktu. Dong-Jin menyetujuinya. Tapi kembali Yeo-Joo sengaja mempermainkan perasaannya dan melangkah keluar dari mobil, berpura-pura bahwa ia merasa sebagai wanita yang tidak punya harga diri. Dong-Jin akhirnya benar-benar jatuh pada perangkapnya, dan ikut keluar dari mobil lalu memanggilnya.

Usai makan, dalam perjalanan pulang, Na-Ri menanyakan mengenai barang-barang milik ibunya. Nan-Gil menjawab bahwa ia sudah mengurusnya.

“Itu adalah tugasku,” sergah Na-Ri.

“Itu urusan ayah duluan,” balas Nan-Gil.

Na-Ri jadi kesal Nan-Gil kembali menyebut-nyebut kata ayah. Demikian pula Nan-Gil, jadi kesal karena Na-Ri masih tidak mau mengakui dirinya sebagai ayahnya. Tanpa diduga, pada saat itu ada seseorang yang diam-diam memotret mereka berdua. Atau lebih tepatnya memotret Nan-Gil.

Nan-Gil dan Na-Ri tiba di restoran. Na-Ri kaget melihat orang-orang yang antri ingin makan di sana. Di dalam, Na-Ri bertemu dengan karyawan restoran yang sebelumnya membantu mencarikan taksi. Tanpa basa-basi, si karyawan restoran langsung menebak bahwa Na-Ri adalah anak dari bossnya.

“Boss mengatakan bahwa putrinya akan datang dan menunggu setiap hari,” ujarnya. “Kamu datang benar-benar terlambat tapi dengan kejutan. Tapi terima kasih. Aku dengar kamu seorang pramugari. Aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan bertemu seorang pramugari. Lalu, kamu dekat dengan pramugari junior?”

“Tidak,” jawab Na-Ri cepat, “Pramugari juniorku adalah musuhku.”

Raut muka si karyawan langsung berubah menjadi dingin. Ia berkata, “Apa yang kamu lakukan? Siapkan kotak-kotaknya. Ayo lakukan. Tanganku capek.”

Saat Na-Ri hendak melakukannya, Nan-Gil tiba-tiba datang dan melemparkan kotak yang dipegang Na-Ri ke arah karyawannya. Ia lalu meminta Na-Ri untuk masuk ke rumah. Keluar dari restoran, bukannya masuk ke rumah, Na-Ri malah kembali kepikiran soal Nan-Gil, benar penipu atau tidak. Ia kemudian diam-diam masuk ke kantor Nan-Gil di restoran dan menggeledah isi kamarnya. Ada salah satu laci yang terkunci di sana. Saat sedang membuka laci yang berisi celana dalam Nan-Gil, si pemilik kamar masuk ke dalam. Dengan kaget Na-Ri segera berdiri, tanpa menyadari tangannya memegang salah satu boxer Nan-Gil. Begitu menyadarinya, ia langsung melemparkannya begitu saja.

Untuk membuang malu, Na-Ri ngelantur dengan mengatakan kamar itu sudah berubah dan menjadi lebih besar. Tanpa sadar, kakinya tersandung selimut dan ia terjatuh dengan kedua tangan masuk ke dalam adonan dumpling. Dengan kesal Nan-Gil mengambil kotak adonan tersebut lalu meminta Na-Ri untuk keluar. Di depan pintu, ia berpapasan dengan karyawan Nan-Gil yang menanyakan apakah Na-Ri mengaduk adonan karena dia anggota keluarga. Nan-Gil tidak menjawab, hanya memberikan kotak adonan tadi dan memerintahkan karyawannya untuk membuangnya.

“Mereka sudah kotor, jadi buanglah,” bentak Nan-Gil melihat karyawannya yang hanya terbengong saat diperintah.

“Kotor? Ia terlalu berlebihan,” gumam Na-Ri sambil melangkah pergi.

Nan-Gil yang mendengarnya menyusul Na-Ri. Ia mendapati Na-Ri di halaman sedang mencuci tangannya.

“Jangan pergi ke sana lagi,” pinta Nan-Gil. “Apa yang kamu cari di kamarku? Apa yang bisa membuatmu merasa baikan?”

“Ponsel ibuku,” jawab Na-Ri.

Nan-Gil tidak mempercayainya. Ia yakin Na-Ri masuk ke kamarnya untuk mencari bukti bahwa ia adalah penipu. Ia pun percaya Na-Ri tidak akan menemukan apa-apa karena ia bukan penipu. Na-Ri lalu mengungkit soal laci yang terkunci di kamar Nan-Gil. Nan-Gil tidak menjawabnya, dan berbalik membahas soal Na-Ri yang datang dengan membawa sekop. Pada intinya, ia meminta Na-Ri untuk bisa menerima fakta bahwa ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapannya. Ia pun mempersilahkan Na-Ri untuk pergi apabila memang tidak bisa menerimanya.

“Meskipun kau menemukan sesuatu tentangku, tapi itu tidak merubah fakta bahwa aku adalah ayahmu,” ujar Nan-Gil.

Dengan kesal Na-Ri pun melangkah masuk ke rumah. Nan-Gil lalu memintanya untuk membuatkan makan malam karena nanti ia akan mengundang tamu untuk makan bersama.

Sebuah robot raksasa sedang dipamerkan di depan rombongan anak kecil yang kagum melihatnya. Ternyata itulah salah satu yang dikerjakan oleh kantor Duk-Bong, membuat museum robot. Asistennya mengingatkan kembali bahwa mereka belum mendapat ijin bangunan di beberapa area, sehingga belum bisa membangun resort seperti yang diharapkan. Ia lalu meminta asistennya untuk mencari tahu tentang Hong Na-Ri.

Na-Ri masih bimbang apakah akan membuat makan malam seperti yang diminta Nan-Gil atau tidak. Tapi begitu membuka kulkas, ia kaget melihat kondisi di dalamnya yang benar-benar rapi. Ia jadi teringat bahwa ibunya adalah seseorang yang tidak rapi dalam mengatur isi kulkas. Suatu saat isi kulkas menjadi rapi dan ibunya mengaku bahwa bukan dirinyalah yang melakukan itu.

Nan-Gil termenung di kamarnya sembari menatap sebuah ponsel yang bergambar wallpaper Na-Ri dan ibunya. Ia lalu memasukkan kembali ponsel tersebut ke laci di kamarnya, yang tidak hanya terkunci, melainkan terdapat brankas di dalamnya.

Pada akhirnya Na-Ri membuatkan makan malam dengan pede, yakin makanannya cukup enak untuk dimakan. Setelah usai, ia keluar dari rumah dan mendapati Nan-Gil sudah menunggu di halaman, dengan berpakaian resmi menggunakan jas. Setelah mensugesti dirinya bahwa yang ada di depannya adalah ayah tirinya, Na-Ri berusaha memanggilnya. Namun tetap saja, mulutnya tetap tidak bisa menyebut kata ‘ayah’ pada Nan-Gil. Dengan bahasa formal ia pun memanggil Nan-Gil.

“Makanan sudah siap. Tamunya masih terlambat. Apakah engkau mau menunggu lebih lama lagi?” ujar Na-Ri sembari membungkukkan badannya seperti pelayan.

Nan-Gil jadi terbengong-bengong sendiri melihat ulah Na-Ri. Setelah tersadar, ia mengiyakan untuk menunggu sejenak hingga tamunya datang.

“Apakah engkau mau minuman sembari menunggu?” masih dengan gaya formal Na-Ri bertanya pada Nan-Gil.

Nan-Gil jadi kesal sendiri melihatnya. Na-Ri lantas menghampiri Nan-Gil dan menanyakan apakah yang datang adalah tamu penting. Nan-Gil mengiyakan. Setelah melihat-lihat kondisi halaman yang kini dipenuhi dengan bunga dan tanaman, Na-Ri mengatakan bahwa kini ia menerima Nan-Gil.

“Aku percaya pilihan ibuku,” ujarnya. “Aku merasa bahwa ia punya rahasia. Jika aku menjadi putri yang lebih baik, ia mungkin sudah memberitahukannya kepadaku.”

“Kamu adalah putri yang baik. Ia mengatakan kamu adalah yang terbaik,” respon Nan-Gil.

Na-Ri senang mendengarnya. Sambil membetulkan dasi Nan-Gil yang kurang rapi, ia meminta agar mereka akur mulai sekarang.

“Lagipula kita juga tidak akan sering-sering bertemu,” ujar Na-Ri.

Tamu yang ditunggu kemudian tiba. Na-Ri pun kaget karena ternyata itu adalah Dong-Jin. Dengan gembira Nan-Gil menyambut kedatangan Dong-Jin sebagai menantunya, sementara Dong-Jin sendiri terlihat kebingunan dengan ulah Nan-Gil. Tapi ia lalu mengenali Nan-Gil karena sempat bertemu di pemakaman, walau saat itu ia mengira Nan-Gil adalah petugas pemakaman.

Na-Ri menanyakan mengapa Dong-Jin bisa ada di sana. Nan-Gil yang menjawab, memberitahunya bahwa ia menghubungi Dong-Jin, memberitahu bahwa Na-Ri sempat masuk UGD dan kini mengundangnya untuk datang ke rumah. Na-Ri pun kesal karena Nan-Gil mengundang Dong-Jin tanpa seijinnya.

“Apa ada yang salah?” tanya Nan-Gil. “Ia sudah bekerja keras di pemakaman seperti layaknya keluarga. Semua orang menganggapnya keluarga. Ia orang yang bisa kamu andalkan.”

“Aku tidak punya niat untuk mengandalkan orang lain,” sergah Na-Ri.

Dong-Jin yang masih kebingungan menanyakan kenapa Na-Ri berbicara formal kepada Nan-Gil. Belum sempat Na-Ri menjawab, giliran Nan-Gil yang bertanya pada Dong-Jin apakah ia sudah membuat kesalahan besar.

“Kenapa ia berbicara dengan tidak formal kepadaku?” tanya Dong-Jin pada Na-Ri.

“Tidak usah ikut campur. Pergilah,” ujar Na-Ri.

“Tidak. Bawa dia bersamamu,” potong Nan-Gil.

“‘Bawa dia bersamamu’? Apa kamu berbicara denganku?” tanya Dong-Jin balik.

Sambil memegang pundak Dong-Jin, Nan-gil menambahkan, “Bawa dia ke rumah sakit besar di Seoul untuk diperiksa. Mereka bilang itu stress. Jangan sampai membuatnya stress.”

“Aku bilang tidak! Ayah macam apa kau?” bentak Na-Ri sebelum akhirnya ia masuk ke rumah.

Nan-Gil menyusul Na-Ri masuk ke rumah dan meminta maaf kepadanya.

“Aku bilang aku menerimamu karena aku percaya pada ibuku. Jika kamu memang ayahku, kamu seharusnya memukulnya.” ujar Na-Ri.

Saat itulah Dong-Jin masuk ke dalam rumah. Na-Ri memberi tanda dengan matanya agar Nan-Gil melakukan apa yang barusan ia minta. Dengan mengepalan tangan, Nan-Gil melangkah menghampiri Dong-Jin. Di belakang Na-Ri sudah ikut mengepalkan tangannya, tidak sabar melihat ayahnya menghajar Dong-Jin. Tanpa diduga, Nan-Gil hanya menepuk pundak Dong-Jin dan memintanya untuk pulang sembari tersenyum. Na-Ri yang melihatnya lantas masuk ke kamarnya dengan kesal.

Dong-Jin menyusul Na-Ri ke kamarnya dan langsung memarahinya karena ia anggap sudah bertindak bodoh. Ternyata sama seperti yang lain, ia menganggap bahwa Nan-Gil adalah penipu yang sudah menipu ibunya. Na-Ri tidak menghiraukannya, dan mengatakan bahwa ia percaya terhadap ibunya.

“Ibumu sudah jatuh cinta untuk seorang gigolo muda,” ujar Dong-Jin, yang direspon dengan tamparan dengan buku di kepalanya.

“Apakah ibumu benar meninggal karena kecelakaan mobil? Apakah kamu tahu bagaimana kecelakaan itu terjadi? Bagaimana dengan pamanmu? Sejak kapan kamu kehilangan kontak dengannya?” tanya Dong-Jin.

Na-Ri terdiam. Ponsel Dong-Jin tiba-tiba berbunyi berkali-kali. Ternyata Yeo-Joo yang mengirimkan banyak pesan kepadanya. Na-Ri mendengus melihatnya. Yeo-Joo sendiri pada saat itu sedang nge-gym bersama temannya. Ia senang karena kini Dong-Jin harus diam-diam pergi menemui Na-Ri, dan itu berarti Yeo-Joo adalah yang pertama di hati Dong-Jin.

Kembali ke tempat Na-Ri, Na-Ri meminta Dong-Jin untuk pergi. Sebelum pergi, Dong-Jin memberitahu bahwa lokasi rumah Na-Ri saat ini sangat strategis dan harganya melambung tinggi karena banyak resort yang ingin membangun di area tempat tinggal Na-Ri. Dong-Jin yakin bahwa itu tujuan utama Nan-Gil menipu ibu Na-Ri. Na-Ri tidak menghiraukannya dan mendorong Dong-Jin keluar dari kamarnya.

Nan-Gil ternyata ada di belakang Dong-Jin dan mendengar perkataan Dong-Jin barusan. Dengan santai ia meminta Na-Ri untuk makan agar segera bisa meminum obatnya. Na-Ri mengiyakan. Dong-Jin lantas menghampiri Nan-Gil dan memberitahunya bahwa ia sudah mengejar target penipuan yang salah karena ia punya banyak pengacara yang bisa membantunya. Dengan tenang Nan-Gil menjawab bahwa ia tidak peduli akan hal itu. Na-Ri diam-diam tertawa mendengar respon Nan-Gil.

“Jangan berpikir untuk mencoba. Kemasi barangmu dan pergilah, dasar gigolo penipu,” ancam Dong-Jin sembari memegang bahu Nan-Gil.

Nan-Gil lalu memegang pergelangan tangan Dong-Jin dengan kuat. Dong-Jin berusaha melepaskannya tapi tidak bisa. Hingga akhirnya Nan-Gil melepaskannya begitu saja dan berlalu, meninggalkan Dong-Jin yang merasa kesakitan.

Orang yang sebelumnya diam-diam memotret Nan-Gil ternyata adalah adik Duk-Bong. Malam itu, di kamarnya, ia asyik memperhatikan foto-foto Nan-Gil hasil jepretannya dan menyadari keberadaan Na-Ri di salah satu foto itu. Tiba-tiba Duk-Bong masuk ke kamarnya. Dengan cepat, adik Duk-Bong mengganti layar laptopnya dengan game.

Duk-Bong mengatakan bahwa ia tahu hari ini adiknya kembali bolos sekolah. Ia sebenarnya tidak peduli, tapi karena ia cukup terkenal di kota, maka ia harus menjaga reputasinya. Ia pun menyita laptop milik adiknya, dan mengancam akan menyita barang lain setiap kali adiknya bolos sekolah. Adiknya lalu mengajukan banding dan meminta untuk yang kali ini dianggap sebagai peringatan. Duk-Bong menyetujuinya dan mengembalikan laptop tersebut.

Nan-Gil membuat adonan di restoran sembari tersenyum-senyum sendiri mengingat Na-Ri yang tadi membenarkan dasinya. Ia jadi makin bersemangat dan menekan-nekan adonan tersebut sambil berteriak. Tiba-tiba ia benar-benar berteriak kaget saat menyadari Na-Ri ada di sebelahnya. Sambil mengulurkan ponselnya, Na-Ri meminta Nan-Gil untuk memberikan nomernya. Na-Ri lantas me-miss-call nomer Nan-Gil. Ia pun terhenyak begitu mendengar ringtone ponsel Nan-Gil yang merupakan lagu favorit ibunya dan dulu sering ia nyanyikan bersamanya.

“Nyanyikan untukku,” pinta Na-Ri. “Kamu pasti tahu itu. Ibuku selalu menyanyikannya untukku.”

Nan-Gil jadi gugup mendengar permintaan Na-Ri, tapi Na-Ri justru bertepuk tangan dan meminta Nan-Gil untuk segera bernyanyi. Sambil mengurut adonan Nan-Gil pun mulai bernyanyi dengan nada tidak karuan. Na-Ri jadi malas sendiri mendengarnya.

“Apa yang kamu lakukan ketika kamu merindukan ibuku?” tanya Na-Ri.

“Aku menutup mata dan berkata, ‘Aku merindukanmu’, lalu aku melihatnya. Ia selalu tersenyum.” jawab Nan-Gil tanpa ragu.

Na-Ri terdiam sejenak mendengar jawaban Nan-Gil. Ia lalu berpamitan untuk kembali ke Seoul dan akan mengambil kembali barang-barangnya nanti. Nan-Gil mempersilahkan. Sambil mengantarkannya ke luar rumah, Nan-Gil terus menasehatinya untuk menjaga makannya dan beristirahat cukup. Ia lalu berlari kembali ke rumah, mengatakan ada sesuatu yang hendak diberikan. Na-Ri cuek saja dan terus melangkah keluar. Ternyata ada Dong-Jin di sana, menunggunya untuk mengantarkannya kembali ke Seoul. Na-Ri menolak.

Dong-Jin tidak terima dan berbalik menyalahkan Na-Ri yang memutuskannya seolah memang sudah menunggu kesempatan untuk itu. Na-Ri ganti tidak terima dengan hal itu. Dong-Jin lantas membahas kembali mengenai rumah Na-Ri dan bagaimana Na-Ri seharusnya mempertahankannya. Mendengarnya membuat Na-Ri beranggapan bahwa Dong-Jin hanya peduli soal material.

Mendadak mobil Duk-Bong lewat. Ia pun berhenti dan menanyakan apa yang terjadi. Belum sempat Na-Ri menjawab, giliran ponsel Dong-Jin yang berbunyi berkali-kali. Kembali Yeo-Joo yang mengirimkan pesan kepadanya. Saat itu pula Nan-Gil keluar dari rumah dengan membawakan sekotak dumpling untuk bekal Na-Ri.

“Wow, itukah cinta orang tua?” sindir Duk-Bong.

Nan-Gil tidak menghiraukannya dan lanjut mengatakan bahwa Na-Ri harus banyak makan makanan rumah agar tidak terkena insomnia. Duk-Bong nimbrung dengan menambahkan bahwa home cooking seharusnya dilengkapi dengan nasi, sop, dan sebagainya. Nan-Gil menatapnya dengan kesal.

“Ini adalah Hong Na Ri Hong Dumplings, jadi ini adalah home cooking,” ujar Nan-Gil.

Nan-Gil lalu meminta Duk-Bong untuk mengantarkan Na-Ri ke Seoul karena ia tidak ingin Na-Ri pergi dengan Dong-Jin. Sambil menerima kotak dumpling pemberian Nan-Gil, Na-Ri masuk ke dalam mobil Duk-Bong. Mereka pun pergi meninggalkan Dong-Jin yang kebingungan.

Dalam perjalanan, Duk-Bong membahas masalah Don-Jing. Karena malas membahasnya, Na-Ri berpura-pura tidur. Tapi Duk-Bong pantang menyerah dan terus mengajaknya ngobrol. Sementara itu, Dong-Jin yang hendak pulang dicegat oleh Nan-Gil.

“Aku akan membayarnya kembali,” ujar Nan-Gil. “Jadi jangan pernah menunjukkan mukamu di depan Na-Ri lagi. Mengerti?”

Beberapa waktu kemudian, saat sedang bertugas, kawan Na-Ri memberitahunya bahwa Yeo-Joo ternyata ‘mengumumkan’ tentang putusnya Na-Ri di saat acara makan malam perusahaan. Na-Ri tidak menanggapinya. Tiba-tiba rekan-rekan pramugari yang lain muncul dan memberikan kue ulang tahun serta kado pada Na-Ri yang berulangtahun pada hari itu. Termasuk juga Yeo-Joo.

Entah kado apa yang diterima Na-Ri (parfum?), namun Na-Ri mengatakan bahwa ia masih memilikinya sehingga akan menukarnya dengan yang untuk pria. Yang lain menggodanya akan memberikannya pada pacar 9-tahun-nya, sementara di belakang Yeo-Joo memasang muka menyindir. Na-Ri hanya menjawab “No Comment.”

“Yeo-Joo, apakah kamu berkata bahwa pacarku dan aku putus?” tanya Na-Ri. “Bagaimana aku putus? Kamu sepertinya tahu?”

“Tidak, aku tidak pernah mengatakannya,” jawab Yeo-Joo gugup.

“Iya, kamu bilang,” ujar rekan pramugari yang lain pada Yeo-Joo.

Karena tidak tahu harus berkata apa, Yeo-Joo lantas pergi meninggalkan mereka.

Setibanya di bandara, Na-Ri menatap ponselnya dengan kesal gara-gara Nan-Gil yang setiap hari mengiriminya video relaksasi untuk menghilangkan stress. Na-Ri lantas mencoba menghubungi pamannya, tapi masih belum juga diangkat. Ia kemudian mengirimkan pesan pada pamannya agar datang saja ke peringatan kematian ibunya karena ia sudah tahu mengenai masalah uang.

Saat dalam perjalanan menggunakan bus, paman Na-Ri, Shin Jung-Nam (Kim Ha-Kyun) akhirnya menelponnya. Namun demikian, ia hanya meminta maaf dan mengatakan tidak bisa datang ke peringatan ibu Na-Ri, lantas menutup telponnya begitu saja. Saat Na-Ri menelpon balik, ternyata itu adalah ponsel milik sebuah minimarket di daerah dekat tempat tinggal ibunya. Sayangnya, Jung-Nam sudah tidak lagi ada di sana.

Na-Ri segera mendatangi rumah pamannya. Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil dan beberapa orang seperti mafia sedang berjaga di depan rumah pamannya. Tiba-tiba dari belakang Nan-Gil muncul dan menariknya ke balik tembok. Ia meminta Na-Ri untuk pulang ke rumahnya saja.

“Paman sudah pulang,” ujar Na-Ri.

“Aku mengerti, jadi pulanglah,” pinta Nan-Gil.

Nan-Gil lantas melangkah menghampiri para mafia itu, yang ternyata mengenalinya. Bahkan bos mereka menganggap Nan-Gil sebagai legenda dan meminta anak buahnya untuk memberi hormat kepadanya. Kedatangan mereka di sana adalah untuk mencari Jung-Nam, karena mendapat kabar ia sudah pulang.

“Darimana kamu tahu hal itu? Apakah ada mata-mata di sini? Mari kita saling mempercayai,” ujar Nan-Gil.

Tak lama para mafia itu pun pergi. Na-Ri yang menunggu di depan restoran menanyakan pada Nan-Gil mengenai mereka. Nan-Gil tidak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan ke kotak dumpling yang dibawa kembali oleh Na-Ri. Na-Ri kembali menanyakan mengenai orang-orang yang ada di depan rumah pamannya. Nan-Gil berpura-pura tidak mengenalinya, namun nyatanya Na-Ri melihat sendiri saat bos mereka menyapa Nan-Gil.

“Orang seperti mereka memang begitu apabila mereka sudah tahu nama kita,” Nan-Gil masih berusaha mengelak.

Na-Ri tidak mempercayainya, namun ia ganti menanyakan tentang pamannya, yang dijawab Nan-Gil bahwa pamannya tidak datang ke restoran.

“Ngomong-ngomong, apakah kamu tidak mengenal pamanku dengan baik?” tanya Na-Ri.

“Aku ingin pergi mencarinya, tapi ia tidak ada di sini,” dalih Nan-Gil.

“Apakah ia sedang dalam pelarian? Berapa besar hutangnya?” tanya Na-Ri dengan emosi.

“Aku sudah mengirimkan banyak artikel bagus, tapi kamu tetap saja tidak bisa mengontrol amarahmu,” respon Nan-Gil.

“Kalau begitu beritahu aku!” pinta Na-Ri.

“Ya, ia sedang dalam pelarian!” jawab Nan-Gil.

“Kamu bilang kamu tidak dekat,” sergah Na-Ri.

“Aku tidak mengatakan demikian,” balas Nan-Gil.

Karena Nan-Gil tidak kunjung memberitahu jumlah hutang pamannya, Na-Ri menjadi panik, mengira besarnya melebihi harga jual rumah. Nan-Gil yang melihatnya menjadi khawatir dan meminta Na-Ri untuk membuang pamannya dari pikirannya.

“Ia adalah saudara ibumu, jadi biar aku yang mengurusnya,” janji Nan-Gil.

81

Nan-Gil lalu meminta Na-Ri untuk masuk dan beristirahat karena ia harus membuat adonan. Entah kenapa, di saat masuk ke dalam restoran, Nan-Gil tiba-tiba terdiam dan berdiri terpaku, seolah berpikir tentang sesuatu. Na-Ri sendiri, saat masuk ke kamarnya baru menyadari kado yang hendak ia berikan pada Nan-Gil. Ia lantas mendatangi kamar Nan-Gil di restoran. Ia pun kaget saat tidak sengaja mendengar Nan-Gil yang sedang mengancam seseorang di telpon karena sudah datang ke sana tanpa memberitahukannya terlebih dahulu.

“Ini peringatan terakhirku. Kalau kamu melakukannya lagi, aku tidak bisa mengatakan apa yang akan terjadi padamu. Kamu tahu aku selalu menepati kata-kataku.” ujar Nan-Gil.

Na-Ri makin kaget saat melihat Nan-Gil membuka bajunya. Terlihat tato-tato ala mafia di bagian punggungnya. Dan pada saat itu Nan-Gil menoleh ke arah Na-Ri.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 3

Berikut ini adalah video preview dari drakor Man Living At My House / Sweet Stranger And Me episode 3:

» Sinopsis eps 3 selengkapnya

sinopsis manlivingatmyhouse 2

Leave a Reply