Sinopsis Jealousy Incarnate Episode 22 & Preview Episode 23 (3 November 2016)

Di sinopsis Jealousy Incarnate episode sebelumnya, setelah lamaran ala ramen diabaikan oleh Pyo Na-Ri (Kong Hyo-Jin), Lee Hwa-Shin (Cho Jung-Seok) kembali melamar Na-Ri di malam saat salju pertama turun. Kali ini Na-Ri menerimanya. Salju pertama juga membawa berkah bagi Bang Ja-Young (Park Ji-Young), yang ditembak oleh Kim Rak (Lee Sung-Jae). Namun segala sesuatunya tiba-tiba berbalik bagi Hwa-Shin setelah dokter menyatakan bahwa tingkat kesuburannya rendah dan hormon pria yang ia miliki jauh di bawah normal. Harapannya untuk menikah dan punya anak langsung hancur hancur berantakan. Apa yang kira-kira bakal terjadi di sinopsis drama korea Incarnation of Jealousy episode 22 kali ini?

Sinopsis Episode 22

Hwa-Shin keluar dari ruang dokter dengan lantai gontai. Wanita-wanita yang berada di ruang tunggu langsung berbisik-bisik menggosipkannya.

Hwa-Shin menunggu kedatangan ibunya (Park Jung-Soo) di depan restoran. Saat ia datang, Hwa-Shin mengatakan bahwa ia tidak jadi memberitahu kekasihnya untuk datang, beralasan ingin jual mahal.

“Ia tidak mau mengenalkanku ke keluarganya. Jika aku mengenalkannya kepadamu, ia akan berpikir aku lebih menyukainya,” dalih Hwa-Shin.

“Memang apa salahnya dengan itu? Kenapa kamu tidak mengatakan padanya untuk datang? Laki-laki sudah seharusnya lebih menyukai wanita. Itu yang menciptakan pernikahan bahagia. Kamu seharusnya lebih menyukai. Tidak apa jika ia mengetahuinya. Aku akan menunggu di dalam, jadi kamu panggil dia sekarang untuk datang.” respon ibu Hwa-Shin.

“Aku tidak ingin,” balas Hwa-Shin sambil memegangi lengan ibunya, mencegahnya masuk. Ia melanjutkan, “Biarkan aku menimbang pilihanku dan melihat apakah ada gadis yang lebih baik di luar sana. Biarkan aku menghitung-hitungnya. Tidakkah kamu berpikir aku sedang kalah? Tidakkah kamu sedih membiarkan wanita lain memilikiku? Aku akan berpikir keras apakah aku akan menikahi gadis ini atau tidak.”

“Kamu gila,” ujar ibu Hwa-Shin kesal sembari memukuli Hwa-Shin. “Kenapa kamu membuang waktuku? Aku menghabiskan seharian untuk menata rambutku. Hei. Apa? Kamu akan memikirkannya? Memikirkan tentang apa?”

“Ayolah,” Hwa-Shin mencoba menenangkan ibunya.

“Kenapa aku akan sedih kehilanganmu? Aku tidak sedih sama sekali. Segeralah menikah. Tekanan darahku tidak akan turun gara-gara kamu. Siapapun dia, aku akan membungkuk pada wanita yang mau menikahimu sehingga bisa lepas dari tanganku. Sedih? Apalah.” omel ibu Hwa-Shin.

“Ibu,” ujar Hwa-Shin, “Haruskah aku hidup sendirian?”

“Diam! Dasar punk. Jika kamu sampai mengatakan kamu akan hidup sendiri di hadapanku lagi, aku akan cabut keluar semua rambut di kepalamu,” ancam ibu Hwa-Shin. Ia melanjutkan, “Jika kamu melakukan kesalahan, pergilah memohon maaf. Jika kamu tidak cukup baik, rayu dia dan katakan kamu akan melakukan yang lebih baik. Jangan coba membunuhku dengan mengatakan kamu akan hidup sendirian. Mengerti?”

Hwa-Shin terdiam mendengar kata-kata ibunya.

“Jawab aku,” ucap ibunya.

“Merayu? Tidak!” jawab Hwa-Shin.

Na-Ri masih menunggu dengan setia di dalam restoran. Hwa-Shin tiba tak lama kemudian. Ia hendak masuk, tapi tiba-tiba mengurungkan niatnya, dan kembali lagi melangkah ke luar restoran. Ia lantas menelpon Na-Ri, mengatakan bahwa ia lupa hari ini ada show radio sehingga tidak bisa datang. Na-Ri tidak mempermasalahkannya. Saat Na-Ri keluar dan meninggalkan restoran, diam-diam dari dalam mobilnya Hwa-Shin memperhatikannya.

Hwa-Shin minum-minum di dekat stasiun ditemani oleh PD Choi Dong Gi (Jung Sang-Hoon). Hwa-Shin menyanyikan lagu cinta-cintaan dengan penuh semangat hingga membuat Dong Gi heran dan hanya bisa tertawa melihat ulah Hwa-Shin. Ia mencoba mencegah Hwa-Shin yang terus-terusan minum, tapi Hwa-Shin cuek saja.

“Apa kamu benar mengencani Na-Ri seperti rumor yang beredar?” tanya Dong-Gi.

Alih-alih menjawab, Hwa-Shin kembali bernyanyi. Dong Gi tertunduk lesu mendengarnya.

Aksi olah vokal Hwa-Shin ternyata berlanjut hingga ia pulang dan mampir ke depan apartemen Rak Villa. Sambil mabuk ia naik ke rooftop dan menggedor-gedor kamar Na-Ri hinga membangunkannya. Begitu Na-Ri membukakan pintu untuknya, Hwa-Shin langsung nyelonong masuk ke dalam dan duduk di tempat tidur Na-Ri. Na-Ri yang tidak enak karena Chi-Yeol ada di bawah berusaha untuk mengusirnya pergi.

Usahanya gagal. Na-Ri pun menginterogasinya dan menanyakan dengan siapa dan seberapa banyak Hwa-Shin minum alkohol.

“Kamu ingin kopi? Air putih?”

Hwa-Shin hanya diam dan menatapnya.

“Ah, kamu membuatku frustrasi Kenapa kamu tidak berbicara sama sekali?” ujar Na-Ri gemas.

Hwa-Shin malah membuka jasnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur Na-Ri seraya berkata, “Pulanglah dan tidur. Pergilah. Aku akan tidur, aku mengantuk.”

Na-Ri menanggapinya dengan tertawa, “Apa yang kamu lakukan? Kamu baik-baik saja. Jangan berpura-pura mabuk. Kamu tahu ini tempat tidurku dan rumahku. Ayo bangun.”

Hwa-Shin akhirnya turun dari tempat tidur Na-Ri dan duduk di lantai.

“Aku tidak percaya kamu langsung minum setelah menyelesaikan perawatan radiasimu,” ucap Na-Ri.

“Aku mengecek kecocokan kita” ujar Hwa-Shin.

“Kamu tidak suka hal-hal seperti itu”

“Aku tidak menyukainya. Aku membencinya. Aku tidak tertarik sama sekali. Tapi aku ingin mengeceknya karena itu bersamamu. Aku penasaran apakah aku akan bisa membuatmu bahagia.”

Na-Ri turun dari tempat tidurnya dan duduk di samping Hwa-Shin. Ia bertanya, “Dan? Apa yang mereka katakan?”

“Rahasia”

“Ayolah, jangan seperti itu. Kalau begitu jangan disinggung. Katakan padaku? Baik atau buruk?”

“Kita tidak punya anak,” jawab Hwa-Shin lirih.

“Siapa yang bilang? Peramal?”

Hwa-Shin mengangguk.

“Siapa dia? Aku akan ke sana dan tanya sendiri.” tanya Na-Ri.

“Aku tidak tahu.”

“Apa kamu pergi ke peramal terkenal? Apakah orang itu seharusnya bagus?”

“Aku rasa begitu.”

“Sungguh? Kalau begitu kita tanya yang lainnya.”

“Apa kamu tidak setuju dengan tidak punya anak?” tanya Hwa-Shin.

“Tentu saja aku tidak setuju. Aku ingin menjadi ibu yang baik. Apakah itu baik-baik saja untukmu?”

Hwa-Shin menggelengkan kepalanya.

“See? Kamu juga suka anak-anak, kan?”

Hwa-Shin mengangguk.

“Apa kamu jadi mabuk karena apa yang dikatakan si peramal?” tanya Na-Ri sambil tersenyum.

Hwa-Shin kembali mengangguk.

“Ya Tuhan. Apa kamu benar-benar kecewa karena seorang peramal mengatakan padamu kalau kita tidak bisa punya anak? Kamu kecewa?”

Sekali lagi Hwa-Shin mengangguk.

Na-Ri kemudian menanyakan jam berapa ia dilahirkan. Hwa-Shin ternyata salah menebaknya. Na-Ri tertawa karena berarti ia juga salah memberitahu si peramal.

“Ayo lain kali kita pergi bersama untuk mengecek kecocokan kita,” ajak Na-Ri sembari menggenggam tangan Hwa-Shin. “Jangan beri dia informasi yang salah dan mendapatkan hasil ramalan yang ngawur, oke?”

“Kenapa kamu menyukaiku?” tanya Hwa-Shin.

“Karena kamu jantan.”

“Bukan itu.”

“Bukan itu? Tidak ada yang lain.”

“Jangan menggodaku… Apakah tidak apa-apa aku punya kanker payudara? Bahkan jika ada satu peramal yang bilang aku tidak bisa punya anak, apakah itu juga tidak apa-apa? Kamu baik-baik saja dengan pria yang punya kanker payudara dan tidak bisa punya anak?” lirih Hwa-Shin bertanya.

“Apa yang terjadi denganmu hari ini?” tanya Na-Ri bingung.

“Aku pria, bukan?”

Na-Ri tersenyum mendengarnya.

“Jangan tertawa,” respon Hwa-Shin.

“Kamu melakukan operasi, jadi kanker payudaranya baik-baik saja. Aku akan pergi ke 100 peramal dan menemukan beberapa yang mengatakan kita akan punya anak, oke? Apa masalahnya? Apa yang salah?”

Na-Ri memegang dagu Hwa-Shin dan mengulangi pertanyaannya, “Apa masalahnya? Apa yang salah?”

Hwa-Shin hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Hari berganti. Di stasiun TV, setelah kejadian dengan Kim Rak, Ja-Young berusaha menghindar dari Kye Sung-sook (Lee Mi-Sook). Hal itu justru membuat Sung-Sook curiga. Ia pun mengkonfrontasi Ja-Young di kubikelnya. Ja-Young berdalih tidak ada apa-apa yang terjadi. Sung-Sook lantas menanyakan apa yang terjadi dan menebak-nebak sendiri. Kebetulan semua tebakannya tepat, mulai dari tidak sempat kabur, bersembunyi di kloset, hingga berada di sana berdua dengan Kim Rak hingga pagi; Ja-Young pun hanya mengiyakan saja tanpa berani menatap wajah Sung-Sook.

“Tidak ada yang terjadi, kan?” tanya Sung-Sook.

“Apa?” tanya Ja-Young dengan wajah ketakutan.

“Yah, seperti ada yang bakal terjadi. Kamu bisa menghabiskan 100 malam bersama pria aseksual dan tidak akan ada yang terjadi,” lanjut Sung-Sook.

Ja-Young tidak menjawabnya, pura-pura tidak mendengar.

Na Joo-Hee (Kim Ye-Won) keluar dari ruangan staff dengan memegangi perut sebelah kanannya. Wajahnya terlihat pucat menahan sakit. Saat itu ternyata waktunya untuk membawakan ramalan cuaca. Ia tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya, namun direktur Oh Jong-Hwan (Kwon Hae-Hyo) dam reporter Um yang melihat kondisinya mulai mempertanyakan kemampuannya untuk tampil. Na-Ri yang sedang bertugas menjadi pembawa berita saat itu kemudian menghampirinya. Repoter Um akhirnya bahwa Joo-Hee kemungkinan terkena usus buntu. Ia pun segera dibawa ke rumah sakit untuk ditangani.

Direktur Oh menjadi bingung karena tidak ada pengganti Joo-Hee sementara ada berita cuaca yang cukup penting untuk disampaikan yang berkaitan dengan prediksi adanya angin kencang. Ia berniat untuk sekalian menghilangkan saja sesi ramalan cuaca, namun Na-Ri memintanya untuk tetap mengadakannya dan mengajukan diri untuk membawakannya. Yang menjadi masalah, karena itu sesi terakhir, Na-Ri harus bisa kembali ke tempat duduk penyiarnya untuk melakukan closing segera setelah ramalan cuaca selesai dibacakan. Na-Ri meyakinkan direktur Oh bahwa ia bisa melakukannya.

Direktur Oh akhirnya menyetujui usul Na-Ri. Namun apes baginya. Meski sesi ramalan cuaca kemudian berjalan dengan lancar, Na-Ri ternyata gagal kembali ke kursinya tempat waktu sehingga reporter Park yang melakukan closing seorang diri. Direktur Oh dan reporter Um menjadi stress melihatnya.

Hwa-Shin yang juga berada di sana kemudian menghampiri Na-Ri, yang masih tidak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan.

“Kamu pembawa berita atau peramal cuaca?” tanya Hwa-Shin. “Kamu peramal cuaca atau pembawa berita? Apa? Pilih salah satu.”

Na-Ri menunduk dan tidak berkata apa-apa saat Hwa-Shin mengomelinya. Ia lantas melangkah kembali menuju ke meja penyiar.

“Dimana kamu pikir kamu akan duduk?” sergah reporter Park saat Na-Ri hendak duduk di kursinya.

“Seorang pembawa berita dengan kanker payudara yang mungkin keluar karena ia sakit,” lanjut reporter Park, “Akankah kamu akan dikontrak penuh?”

Na-Ri bingung mendengar perkataan reporter Park.

“Hei, istriku mengatakan ia melihatmu melakukan perawatan radiasi. Katakan pada Hwa-Shin untuk datang kepadaku dan berlutut memohon maaf, lalu aku tidak akan mengatakan pada siapapun.”

“Itu tidak akan terjadi,” respon Na-Ri.

Hwa-Shin tiba-tiba mendatangi reporter Park.

“Hei, lakukan saja pekerjaanmu,” ujar Hwa-Shin pada Park. “Matamu tampak mengantuk. Orang akan tertidur saat menonton berita. Jangan hanya bekerja membully reporter junior.”

Dengan wajah tak bersalah reporter Park mengiyakan dan pergi meninggalkan mereka. Tanpa diduga, saat itu juga ia mulai menyebarkan berita tentang Na-Ri yang terkena kanker payudara. Dimulai dari Dong-Gi, gosip pun menyebar dengan cepat di kalangan pekerja kantor.

Hwa-Shin keluar dari kantor, hendak berlari menembus hujan dan angin kencang untuk menuju ke mobilnya. Na-Ri tiba-tiba muncul dari belakang dengan membawakan payung.

“Kamu tadi hendak pergi kemana?” tanya Hwa-Shin setelah mereka berada di dalam mobil.

“Aku mencarimu untuk membawakan payung. Kamu pergi begitu saja dari studio, jadi aku tahu kamu akan pergi tanpa menggunakan payung. Itu sebabnya aku mengejarmu agar kamu tidak kebasahan. Kamu tahu hal-hal seperti ini setelah naksir selama tiga tahun.” jawab Na-Ri.

Hwa-Shin menoleh ke arahnya. Na-Ri menanggapinya dengan senyuman.

“Selama tiga tahun, aku tidak bisa memberikanmu payung meski aku punya. Sekarang, aku bisa mengejarmu dan memegangi payung di atas kepalamu. Aku sungguh bahagia.” ujar Na-Ri.

“Mr. Lee,” lanjut Na-Ri, “Lihat keluar. Ini masih pagi, tapi karena hujan, kelihatan gelap dan terasa seperti malam, bukan?”

Hwa-Shin mengiyakan.

“Dengan angin dan hujan, orang sepertinya tidak akan melihat ke dalam mobil, kan?”

“Ya”

“Ini bagus.”

“Apanya?”

“Orang tidak bisa melihat kita.”

“Kamu bilang matahari akan segera keluar di siang hari.”

“Tidak ada yang bisa melihat apa yang kita lakukan.”

“Jadi?”

“Aku hanya mengatakan itu.”

Hwa-Shin baru menyadari maksud Na-Ri. Na-Ri memanggilnya lalu menyentuh bibirnya sendiri dengan jarinya sambil berkata, “Mereka tidak akan tahu meski kita berciuman, bukan? Ini menegangkan di lapangan parkir.”

Hwa-Shin hanya memandangi Na-Ri tanpa melakukan apa-apa. Tiba-tiba ia berkata, “Keluarlah.”

“Kamu sibuk?” tanya Na-Ri kesal.

“Ya, aku sibuk.”

Na-Ri lantas mengajak Hwa-Shin untuk menemui peramal yang kemarin meramalnya dan meminta untuk dicek ulang kecocokan mereka. Meski Na-Ri merajuk merayunya, Hwa-Shin tetap saja memintanya keluar. Akhirnya Na-Ri pun keluar dan Hwa-Shin pergi meninggalkannya.

Siang harinya, Na-Ri yang kembali ke rumah melihat ada ibu Hwa-Shin mendatangi apartemen Hwa-Shin. Ia mencoba menghubungi Hwa-Shin namun telponnya tidak diangkat. Hwa-Shin ternyata pergi ke klinik urologis untuk melakukan konsultasi dan tes. Dari hasil tes memang tidak ada penyakit lain yang perlu dikhawatirkan, namun sesuai dengan yang sebelumnya dikatakan oleh dokter Geum Suk-Ho (Bae Hye-Sun), ia mengalami ketidaksuburan yang berpotensi impotensi.

Hwa-Shin kini terduduk lesu di sebelah dokter Geum dan Nurse Oh (Park Jin-Joo).

“Aku pikir tes menyeluruh bisa memberikan hasil yang berbeda,” curhat Hwa-Shin, “Jangan bilang Na-Ri.”

Dokter Geum, dengan wajah prihatin, mengiyakan.

“Kamu berniat untuk menikahinya tanpa memberitahunya?” tanya dokter.

Hwa-Shin tidak menjawab, hanya menoleh ke arah dokter Geum.

“Lalu kenapa kamu tidak memberitahunya? Apakah kamu akan putus?” tanya dokter Geum lagi.

“Tidak”

“Apa kamu akan menikahinya?” tanya dokter seraya menggeser duduknya mendekati Hwa-Shin.

“Tidak”

“Apa kamu akan mengencaninya?” tanya dokter seraya kembali menggeser duduk semakin mendekati Hwa-Shin.

“Tidak”

“Kalau begitu kamu tidak akan melakukan apa-apa?”

“Tidak”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya dokter Geum dengan kesal.

“Aku akan melakukan segalanya”

“Kamu sudah gila,” respon dokter.

“Bagaimana tidak?”

Dokter Geum berdiri. Ia tampaknya mulai stress. Ia pun menyarankan Hwa-Shin agar menemui terapis agar bisa menenangkan pikirannya kembali dan menyembuhkan penyakitnya.

“Aku pergi ke klinik kanker payudara, ke urologis, dan psikiatris. Kamu juga bilang liverku tidak sehat. Kemana aku harus pergi untuk itu? Setiap kali aku mengunjungi rumah sakit ini, aku bisa tinggal pergi dari satu departemen ke departemen lain, mendapat diagnosa, diobati, didiagnosa, dan diobati. Aku akan membutuhkan bantuan psikiater untuk melaluinya.”

Belum sempat dokter Geum mendebatnya, suster Oh maju dan menyerahkan selembar kertas pada Hwa-Shin, yang berisi resep obat-obatan yang harus ia konsumsi setiap hari.

“Apa yang harus aku lakukan jika dia menelpon?” tanya dokter Geum.

“Jangan bilang apa-apa”

Dokter Geum tiba-tiba melangkah ke tembok dan bersandar dengan satu tangan ala-ala film India.

“Ini pertama kalinya aku bertemu dengan pria yang punya kanker payudara sekaligus impoten.” ucapnya.

“Aku tahu” jawab Hwa-Shin lesu.

“Kamu pria paling jantan yang pernah aku temui,” ujar dokter Geum sambil bergaya ala Bruce Lee.

“Apakah itu seharusnya menghiburku?” tanya Hwa-Shin.

Dokter Geum langsung menghentikan aksinya dan kembali duduk di samping Hwa-Shin.

“Jangan sendirian. Jangan melakukan sesuatu terburu-buru.” nasehatnya.

“Aku ingin sendirian dan aku ingin melakukan sesuatu dengan terburu-buru,” respon Hwa-Shin, “Aku ingin mati, aku takut bertemu wanita. Na-Ri yang paling menakutiku dan aku malu. Aku bingung apakah aku pria atau wanita. Aku tidak tahu apakah lampunya hijau atau merah. Semuanya terlihat seperti aku tersangkut di tengah-tengah. Aku menjadi gila.”

Dokter Geum menatap Hwa-Shin dengan wajah sedih.

“Aku juga takut pada kamera pada saat aku siaran,” lanjut Hwa-Shin, “Aku tidak pernah sekalipun takut pada kamera, tapi sekarang, aku merasa seperti kamera itu mengolokku dan memandang rendah diriku. Aku merasa seperti ia mengejekku dan menatap langsung ke arahku”

“Oh tidak,” ujar dokter.

“Eniwei, jangan bilang Na-Ri. Kalau tidak aku akan loncat ke sungai Han,” ancam Hwa-Shin.

“Jangan khawatir, aku akan..” balas dokter Geum sembari memberi tanda ia telah menutup mulutnya.

Hujan sudah reda dan cuaca sudah kembali cerah saat ibu Hwa-Shin keluar dari kamar Hwa-Shin. Na-Ri menyapanya dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Meski agak heran, ibu Hwa-Shin mengiyakan. Mereka pun makan bersama di rooftop.

“Menantu seperti itu apa yang kau harapkan?” tanya Na-Ri.

“Apa maksudmu? Tidak ada masalah selama Hwa-Shin menyukainya.” jawab ibu Hwa-Shin.

“Sungguh?” tanya Na-Ri memastikan.

“Tentu. Ia sepertinya sudah memiliki seseorang. Ia seharusnya mengenalkanku padanya, tapi ia berubah pikiran. Bagaimana denganmu? Apa segala sesuatunya berjalan lancar dengan Jung Won?”

“Tidak,” jawab Na-Ri sambil tersenyum.

Mereka pun melanjutkan makan-makannya.

Hwa-Shin tiba kembali di stasiun TV. Saat hendak parkir, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya dan pergi berbelanja. Mulai memborong berbagai jenis es krim, membeli 998 bungkus ramen, bahkan mampir ke butik Ko Jung-Won (Ko Gyung-Pyo) dan membeli semua baju-baju pria yang ada di sana. Jung-Won dan sekretaris Cha (Park Sung-Hoon) menemuinya dengan heran.

“Kenapa?” tanya Jung-Won.

“Kamu tidak berpikir aku mampu membelinya?” sergah Hwa-Shin.

“Kamu sudah kehilangan akal?” tanya Jung-Won.

“Aku menghasilkan uang yang lumayan. Aku mau semua itu. Aku punya uang. Kamu pikir aku tidak mampu? Kamu pikir aku menerima baju darimu karena aku tidak punya uang? Aku akan berganti pakaian baru setiap jamnya.” jawab Hwa-Shin.

Ia lalu berteriak, “Keluarkan semua yang kalian punya. Semuanya milikku. Na-Ri milikku juga. Aku satu-satunya pria untuk Na-Ri. Aku satu-satunya pria.”

Na-Ri membesuk Joo-Hee di rumah sakit. Joo-Hee menyambutnya dengan baik dan berterima kasih atas bantuannya sebelumnya. Salah seorang rekan Na-Ri menyinggung Na-Ri yang tadi tampak bersemangat membawakan ramalan cuaca.

“Aku juga menyukainya,” jawab Na-Ri.

Yang lain tertawa mendengarnya.

“Tapi serius,” Joo-Hee berkata, “Aku dengar Mr. Park berkeliling menyebarkan berita kalau kamu terkena kanker payudara. Itu tidak benar, bukan? Ia membullymu, dan sekarang, ia menyebarkan gosip ngawur. Apa masalahnya?”

“Itu bukan kebohongan. Itu benar,” jawab Na-Ri lirih. Yang lain kaget mendengarnya. Na-Ri melanjutkan, “Aku sudah menjalani operasi dan itu stadium satu. Aku juga sudah menyelesaikan perawatan radiasiku. Aku baik-baik saja sekarang.”

Seorang rekan Na-Ri mengungkapkan keprihatinannya, terlebih karena Na-Ri masih merupakan karyawan kontrak. Na-Ri meminta mereka untuk tenang saja karena ia yakin tidak akan ada masalah dengannya.

Hwa-Shin melanjutkan belanjanya. Kali ini ia menuju toko perlengkapan bayi dan memborong satu lemari penuh yang berisi berbagai macam baju bayi.

Malam harinya ia memberikan semua itu pada Na-Ri. Na-Ri heran sekaligus bingung melihat semua barang itu. Apalagi saat membuka kardus yang berisi banyak pakaian bayi.

“Berapa banyak anak yang kamu ingin miliki?” tanya Na-Ri. “Kenapa kamu sudah membeli semua ini? Kita sebaiknya mulai dari sekarang.”

“Benar,” jawab Hwa-Shin singkat.

“Ada yang salah?” tanya Na-Ri heran sembari meraih muka Hwa-Shin, hendak membelainya.

Hwa-Shin menghindari tangan Na-Ri dan menjawab, “Tidak ada yang salah.”

“Ya, ada.”

“Tidak, tidak ada” respon Hwa-Shin. Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Maaf, karena aku tidak bisa seperti pria lain.”

“Itu tidak benar,” balas Na-Ri.

“Tidak, aku tidak memenuhi syarat.”

“Untuk melakukan apa?”

“Untuk menerima cintamu.” jawab Hwa-Shin.

Na-Ri terdiam mendengarnya.

“Kenapa kamu menyukaiku?” tanya Hwa-Shin.

“Kamu seksi. Kamu super hot. Kamu terlihat keren saat sedang membacakan berita hingga aku ingin menontonnya sendiri.” jawab Na-Ri.

Hwa-Shin menggaruk-garuk kepala mendengar jawaban Na-Ri. Ia lalu kembali bertanya, “Dapatkah kamu hidup tanpaku? Jawab aku?”

“Kenapa kamu menanyakan itu? Kamu menakutiku.” tanya Na-Ri.

“Karena aku tidak bisa hidup tanpamu,” jawab Hwa-Shin.

Na-Ri tersenyum mendengarnya.

Ja-Young diam-diam menyelinap dari kamar tidur, menuju ke restoran Rak Pasta. Pun begitu dengan Kim Rak. Beberapa saat kemudian, Sung-Sook yang sedang bermimpi buruk terbangun. Melihat Ja-Young tidak ada di tempat tidurnya, ia pun mencarinya. Begitu kagetnya Sung-Sook saat mengintip ke dalam salah satu ruangan di restoran dan mendapati Kim Rak dan Ja-Young sedang melakukan ‘kegiatan dewasa’ 🙂

Dengan sedikit syok dan gontai Sung-Sook melangkah keluar dari restoran.

“Apakah ia sudah menyembuhkan aseksualitinya? Sungguh? Aku seharusnya yang mengembalikan uang itu. Aku seharusnya yang terperangkap di dalam lemari. Aku sungguh kesepian.” ujarnya menyesal.

Ia pun kembali ke kamarnya dengan menangis.

“Aku dengar itu kanker,” ujar direktur Oh tiba-tiba saat sedang berdua bersama Hwa-Shin di dalam lift. “Kapan kamu mengetahuinya?”

Hwa-Shin kaget, mengira direktur Oh sedang membicarakan tentang dirinya. Ia pun terdiam.

“Baik-baiklah kepadanya,” lanjut direktur Oh, “Aku dengar kamu pergi ke rumah sakit bersamanya.”

“Ya,” jawab Hwa-Shin lirih, masih agak bingung dengan pertanyaan direktur Oh.

Sementara itu, di ruang siaran, Na-Ri mengatakan pada reporter Park bahwa gosip yang ia sebarkan benar adanya.

“Wow, aku tidak tahu Hwa-Shin mau pergi ke tempat seperti itu untuk seorang wanita. Aku salah menilainya.” ujar reporter Park.

Kembali ke lift, direktur Oh mengatakan bahwa apabila bagian HR mengetahui Na-Ri terkena kanker payudara, Na-Ri tidak akan bisa mendapatkan posisi full-timenya.

Begitu pintu lift terbuka, Hwa-Shin segera berlari menuju ruang siaran. Kebetulan saat itu Na-Ri sedang melangkah keluar dari ruang siaran. Hwa-Shin segera menarik Na-Ri dan membawanya ke tangga darurat.

“Apakah rumor yang beredar itu tentangmu?” tanya Hwa-Shin dengan kasar. “Apa kamu tahu tentang rumor itu? Lalu kenapa kamu tidak bilang kepadaku? Apakah aku yang terakhir tahu?”

“Tenanglah,” respon Na-Ri.

“Kamu mungkin tidak akan mendapatkan posisi full-time.” ujar Hwa-Shin, kali ini dengan nada suara yang normal.

“Aku tidak berpikir mereka akan menentukan berdasarkan sesuatu seperti itu,” dalih Na-Ri. “Jika aku tidak mendapatkannya, itu bukan karena aku memiliki kanker payudara, tapi karena aku tidak cukup baik. Jadi tetaplah tenang. ”

Hwa-Shin hanya terdiam mendengar ucapan Na-Ri.

“Oke?” tanya Na-Ri lagi sembari mengatur jas Hwa-Shin yang kurang rapi.

“Apa yang aku lakukan kepadamu?” gumam Hwa-Shin.

“Oke?” tanya Na-Ri. “Aku ingin tetap melihatmu membacakan berita. Dan bukan hal besar bagi wanita untuk terkena kanker payudara.”

Hwa-Shin tidak menjawabnya. Matanya masih terus menatap Na-Ri dalam-dalam.

Di kamar mandi, Hwa-Shin teringat kata-kata Na-Ri bahwa itu bukan hal besar. Sambil memegangi dadanya, Hwa-Shin berujar, “Itu sama saja. Bagaimana mungkin itu bukan hal besar?”

Berita tentang Na-Ri ternyata sudah sampai ke telinga Tae-Ra. Di butik, ibu Jung-Won menanyakan apakah Jung-Won sudah mengetahui hal itu sebelumnya.

“Na-Ri tidak sakit. Bukan dia yang sakit,” jawab Jung-Won sambil berlalu meninggalkan ibunya.

Na-Ri menemui Hwa-Shin di salah satu sudut kantor, sedang mengamati keadaan kota di malam hari.

“Waktunya untuk berhenti berpura-pura menjadi pasien untukku,” ujar Hwa-Shin tiba-tiba. Ia melanjutkan, “Aku akan mengatakan pada perusahaan kalau akulah yang terkena kanker payudara. Aku akan katakan faktanya bahwa kamu berpura-pura sakit agar orang-orang tidak mengetahuinya. Jadi ingatlah itu.”

“Jangan berani melakukan itu,” respon Na-Ri.

“Aku akan mengambil cuti pendek,” ucap Hwa-Shin.

“Kamu lakukan itu dan aku akan membunuhmu.”

“Aku biarkan kamu membunuhku kalau begitu.”

“Aku tidak akan menemuimu.”

“Jangan temuiku.”

“Ayo putus.”

“Ya, ayo putus.”

“Ini benar-benar berakhir.”

“Ya, akhirilah. Itu untuk yang terbaik.”

“Kamu gila? Kamu sudah hilang pikiran? Gosip itu sudah beredar. Biarkan saja. Jika orang-orang mengetahui ada pria terkena kanker payudara, bayangkan bagaimana mereka akan melihatmu dengan cara berbeda. Aku akan lakukan hal lain yang kamu minta. Oke? Ayolah, Mr. Lee. Lakukan yang aku bilang, oke? Aku suka berakting sebagai pasien sebagai penggantimu. Aku bahagia karena itu memberiku alasan untuk bersamamu.” ujar Na-Ri panjang lebar.

“Meski sekarang?”

“Ya, meski sekarang.”

“Meski sekarang, saat orang membicarakanmu, memandangmu dan memperlakukanmu dengan tidak nyaman, bercampur antara prihatin dan simpati?” tanya Hwa-Shin.

“Ya,” jawab Na-Ri. “Jangan berani-beraninya. Aku akan kembali pada Jung-Won.”

Hwa-Shin tidak lagi membantahnya.

“Kamu takut aku tidak bisa menjadi karyawan tetap karena aku sakit? Aku akan melakukan yang lebih baik. Aku butuh untuk melihatmu membawakan berita setiap malam untuk mencerna makananku. Aku butuh melihatnya setiap malam. Jangan berani-beraninya. Aku katakan padamu untuk tidak melakukannya, oke?”

“Aku ingin berhenti merasa bersalah kepadamu,” respon Hwa-Shin.

Hwa-Shin bertemu dengan reporter Park di dalam lift. Park yang melihatnya langsung tertawa-tawa tidak jelas. Hwa-Shin kemudian menuju helipad. Ia memandangi gemerlap kota Seoul dari atas sana dan memikirkan kembali tentang Na-Ri yang kemungkinan kecil akan menjadi pekerja tetap dengan kondisinya saat ini.

Esok harinya, Hwa-Shin menemui dokter Geum.

“Tolong bantu aku,” ujar Hwa-Shin.

Di stasiun TV, Hwa-Shin menemui direktur Oh. Ia minta ijin untuk melakukan reportase investigasi dan diperbolehkan. Walau demikian, ia tidak mau memberitahu temanya pada direktur Oh.

“Mr. Oh. Orang akan lupa setelah satu tahun, kan?” tanya Hwa-Shin.

“Tentang apa?” tanya direktur Oh.

“Apa saja,” jawab Hwa-Shin.

“Seperti apa?”

“Apa saja.”

Tanpa menunggu jawaban dari direktur Oh, Hwa-Shin lantas berpamitan.

Ia kemudian bergabung dengan Na-Ri dan Ja-Young yang sedang makan di kafetaria. Ja-Young memuji Hwa-Shin yang mau menemani Na-Ri ke rumah sakit.

“Aku tidak membawanya. Akulah yang terkena…”

Belum selesai Hwa-Shin berbicara, Na-Ri menutup mulutnya dan mengatakan bahwa Hwa-Shin baik kepadanya karena ia terkena kanker sembari tertawa.

“Itu bukan Na-Ri. Itu…”

Lagi-lagi Na-Ri memotong kata-kata Hwa-Shin. Kali ini dengan mengambil tisu dan mengelap mulut Hwa-Shin. Ia lantas mengusir Hwa-Shin secara halus dengan mengatakan kalau Hwa-Shin ada acara. Ja-Young sempat memuji Hwa-Shin kembali, tapi dari belakang diam-diam Na-Ri mencubit lengannya agar ia berbicara yang tidak-tidak.

Hwa-Shin hendak melakukan siaran berita malamnya seperti biasa. Tiba-tiba ia menelpon ibunya dan meminta untuk dibuatkan ikan rebus, mengaku sudah lama tidak memakannya. Dengan kesal ibunya menurutinya, sambil menggerutu karena jadi tidak bisa menonton siaran berita Hwa-Shin gara-gara harus pergi membeli ikan terlebih dahulu.

Acara berita pukul 7 malam pun dimulai. Saat pembukaan, secara mengejutkan Hwa-Shin menyebutkan bahwa salah satu topik berita mereka malam ini adalah mengenai kanker payudara pada pria. Na-Ri yang saat itu sedang berada di lantai dasar dan melihatnya segera bergegas menuju ruang siaran. Ia bahkan bela-belain naik tangga darurat ke lantai 15 karena semua lift penuh.

Setibanya di sana, Hwa-Shin sudah mulai membawakan reportase investigasinya. Na-Ri melihatnya dengan was-was. Begitu pula ibu Hwa-Shin, yang sepertinya sudah kembali dari membeli ikan, menontonnya dengan meneteskan air mata.

Video investigasi Hwa-Shin usai diputar dan kini masuk ke sesi penutupan.

“Kalian mungkin tidak percaya ini…” ujar Hwa-Shin perlahan.

Na-Ri yang mendengarnya segera tahu arah perkataan Hwa-Shin. Ia menatap ke arah Hwa-Shin sambil menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya, meminta Hwa-Shin untuk tidak meneruskan perkataannya. Sementara yang lain menunggu dengan penasaran apa yang akan dikatakan Hwa-Shin selanjutnya.

“Aku juga pasian kanker payudara.” lanjut Hwa-Shin dengan tenang.

Semua yang ada di sana kaget mendengarnya dan seolah tidak percaya. Air mata semakin deras menetes di pipi Na-Ri dan juga ibu Hwa-Shin.

“Aku menemukannya di saat tahap awal dan pasanganku mendukungku. Tapi aku harus berjuang melawan pandangan yang sudah mengakar. Aku hampir putus asa. Aku tidak bisa mengatakan kepada siapapun di tempat kerja tentang penyakitku. Aku takut bahwa aku mungkin akan kehilangan posisiku di pekerjaan. Tapi ada sesuatu yang lebih penting daripada posisiku. Aku kehilangan bagian dari dadaku, tapi untuk melindungi orang yang aku cintai, aku membuat pengakuan ini. Aku tidak punya penyesalan. Aku hanya menyesal aku tidak bisa melakukan ini lebih awal.” jelas Hwa-Shin.

Sementara staff lain masih saja belum percaya dengan apa yang barusan mereka dengar, Hwa-Shin melanjutkan melakukan penutupan investigasinya dan mengakhirinya dengan memberi hormat. Ia lantas melihat ke arah Na-Ri dan tersenyum.

[wp_ad_camp_1]

Preview Episode 23

Berikut ini adalah video preview episode 23 dari drakor Jealousy Incarnate. Selamat menikmati!

» Sinopsis ep 23 selengkapnya

sinopsis jealousyincarnate 22

9 Comments

  1. Mahsitanni

    Makasih yaa mas admin dah update ep 22 nya…..semangat dijumat barokah..

  2. anisa yulia

    thxu mimin!
    cepet bgt sinopsisnyaa^^
    yaa tinggal 2 eps lagi dehh

  3. lisa

    bener bikin nangis kata-kata hwa shin..

  4. sisiliapri

    hwa siiiiiiiiiin…. ooooouuuggghhhh…. 🙁 🙁 🙁
    thankd untuk update tercepatnyaaa….
    ditunggu minggu depan dan episode terakhirnyaaa….
    berharap happy endiiiing 🙁 🙁 🙁

  5. desy

    poor hwa shin…berharap happy ending

  6. riza

    tinggal 2 epsd lgi… di tunggu updatenya ya!!! berharap happy anding.. :'(

  7. julie

    Sinopsis yg ke 23 plissss…

  8. eka

    Admin kog tumben episode terbaru (23) belum muncul? Bukannya harusnya kemaren sudah tayang?

Leave a Reply to Cancel reply