Review Film Sakral (2018)

Hijrah dari HP Xiaomi Mi Max ke Redmi Note 8 Pro beberapa waktu lalu mengantarkan saya ke salah satu gerai Telkomsel untuk meminta pergantian SIM card ke ukuran micro. Entah sudah prosedurnya atau apa, saat itu saya diwajibkan untuk membeli paket internet senilai Rp 25.000,- dengan alasan merupakan bagian dari proses aktivasi SIM card yang baru. Sebetulnya enggan karena sudah lama tidak menjelajah dunia maya menggunakan jaringan provider tersebut. Kuotanya suka berkurang secara ajaib. Tapi yah, apa boleh buat.

Nah, belakangan saya baru sadar bahwa paket internet dari Telkomsel itu menyertakan free akses ke Hooq dan Viu selama 1 bulan. Dari yang awalnya bete, sekarang saya mulai mempertimbangkan untuk rutin membelinya. Lumayan daripada harus mengeluarkan budget ekstra untuk berlangganan kedua layanan streaming tersebut, hehehe.

Dan karena Hooq menyediakan banyak pilihan judul film layar lebar Indonesia, termasuk horor, jadilah saya bisa menonton film-film horor lama yang dulu belum sempat saya tonton langsung di bioskop. Salah satunya adalah Sakral.

Sinopsis Singkat

poster sakral

Melina (diperankan oleh Olla Ramlan) dan Daniel (diperankan oleh Teuku Zacky) kehilangan salah satu dari dua bayi kembar mereka saat melahirkan, Fiona. Flora (diperankan oleh Makayla Rose), anak yang selamat, tumbuh menjadi anak pemurung dan misterius. Namun sejak Flora berulang tahun yang ke 5, gangguan gaib mulai dirasakan keluarga tersebut, terutama oleh Melina. Belum ditambah dengan hadirnya Bianca (diperankan oleh Erika Carlina), wanita yang pernah ada di masa lalu Daniel. Apa sebenarnya yang menyebabkan teror gaib tersebut?

Tanggal Rilis: 20 September 2018
Durasi: 94 menit
Sutradara: Tema Patrosza
Produser: Dheeraj Kalwani
Penulis Naskah: Baskoro Adi
Produksi: MD Pictures, Dee Company
Pemain: Olla Ramlan, Teuku Zacky, Makayla Rose Hilli, Erika Carlina, Raquel Katie Larkin, Ninok Wiryono

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!!

Cerita dari film ini tergolong klise. Bukan karena terlalu sederhana, melainkan karena tidak jauh berbeda dengan film-film horor lokal yang sudah pernah tayang sebelumnya. “The Doll” atau “Sabrina” misalnya. Istri diteror penampakan, suami tidak percaya, lantas sekeluarga pergi liburan tapi tetap dihantui. Sama persis, kan?

Ada yang menyebutkan bahwa penampakan dan jump scare-nya juga copas dari film-film lain. Untuk bagian ini saya tidak berkomentar karena saya coba memahami bahwa ide untuk menghasilkan penampakan dan jump scare yang orisinil memang agak sulit untuk dicari. Saya sih lebih terganggu dengan hantu di sini yang diceritakan penuh amarah dan ingin membalas dendam namun berulang kali melewatkan momen untuk langsung membunuh target. Si hantu juga terlihat sangat terobsesi untuk membunuh dengan cara mencekik leher. Entah berapa banyak adegan cekik mencekik bersliweran di sepanjang film ini.

Keanehan si hantu mencapai puncaknya di bagian akhir, dimana dirinya yang sebelumnya bertahan walau sudah dibakar, eh ternyata malah musnah terbakar sendiri tanpa sebab yang jelas. Antiklimaks.

Selain alur cerita yang terasa dejavu, saya seperti sering melihat rumah yang digunakan dalam film-film horor lokal lainnya. Entah memang benar rumah yang sama atau kebetulan belaka. Namun terkait dengan setting latar, film ini patut diberi acungan jempol karena menyajikan latar adegan yang bervariasi dan tidak monoton di satu dua tempat saja. Salah satunya di Kawah Putih, yang terlihat begitu indah di sini.

Saking indahnya lokasi syuting, beberapa dialog sepertinya ketularan jadi terlalu puitis dan terasa tidak realistis. Yang paling bikin kening berkernyit adalah saat Daniel memberitahu Bianca bahwa orang tuanya ‘sudah dipanggil Yang Maha Kuasa’. Percakapan normal akan menggunakan kata ‘meninggal’, bukan deretan kata tersebut.

Untuk misteri siapa pelaku teror tidak terlalu sulit untuk ditebak. Masih menggunakan rumus yang sama. Jika ada karakter yang terlalu baik, 99% dia adalah pelakunya.

Secara keseluruhan tidak ada yang perlu diperdebatkan dari segi cerita. Tidak banyak lubang yang perlu ditambal. Yah, kecuali pedang samurai — yang disimpan di bawah KOMPOR — yang sama sekali tidak terlihat ada bercak darah meski habis digunakan untuk menyabet mulut hantu hingga robek…

Penutup

“Sakral” bisa dimasukkan dalam kategori film bioskop yang masih layak ditonton namun tidak perlu berharap terlalu banyak. Cukup duduk dan nikmati apa yang ada di layar. Tidak ada yang istimewa di dalamnya, tapi juga tidak ada yang benar-benar patut untuk dikritik habis-habisan.

rf sakral

Leave a Reply