Review Film Pocong Jalan Blora (2009)

Poster film “Pocong Jalan Blora” ini dengan pede memajang dua kalimat yang bikin penasaran. Pertama adalah “The Real Urban Legend” (legenda / mitos di masyarakat yang sesungguhnya), dan kedua “The Scarriest Horror Movie In Years” (film horor terseram dalam beberapa tahun terakhir). Yang disebut di awal belum apa-apa sudah menimbulkan kebingungan. Saya coba mencari informasi terkait jalan Blora yang entah berada di kota apa. Hasilnya? Tidak ada satu pun yang berhubungan dengan mitos maupun urban legend. Salah ketik kali ya posternya. Bagaimana dengan kalimat promosi yang satunya lagi? Jawabannya ada di bawah, tepatnya dalam sinopsis serta review singkatnya berikut ini, hehehe.

Sinopsis Singkat

poster pocongjalanblora

Sandra (diperankan oleh Monique Henry), Josh (diperankan oleh Zidni Adam Jawas), Mel (diperankan oleh Garneta Haruni), dan Joe (diperankan oleh Abdurrahman Arif) memutuskan untuk mendatangi jalan Blora demi keperluan tugas kampu mereka. Mereka hendak mencari bahan terkait misteri-misteri pembunuhan serta penampakan pocong yang terjadi di tempat tersebut. Dan benar, mereka akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri penampakan sosok pocong tanpa kepala yang berdarah-darah.

Sejak malam itu, hidup mereka menjadi tidak tenang. Satu persatu dihantui oleh pocong tersebut. Mel bahkan menghilang begitu saja. Fredi (diperankan oleh Fikri Baladraf), kekasih Mel, yang bingung mencarinya, ujung-ujungnya menyalahkan Sandra dkk karena sudah mengajak Mel ke jalan Blora yang terkenal angker itu.

Apartemen Mel sendiri kini ditempati oleh penghuni baru bernama Hilda (diperankan oleh Arumi Bachsin). Suatu ketika, saat sedang mandi, ia terpeleset dan sudut matanya terantuk bath tub. Pasca kejadian tersebut, Hilda mulai bisa melihat penampakan makhluk gaib. Kehadiran mereka makin lama membuat Hilda sadar bahwa bisa jadi ada sesuatu yang hendak mereka sampaikan kepadanya.

Setelah tahu mengenai hilangnya Mel dari Sandra, Hilda berinisiatif untuk menemani Sandra kembali ke jalan Blora. Setibanya di sana, mereka dikagetkan dengan Fredi yang tengah membawa karung berisi mayat Mel. Ternyata pasca kepulangan Mel dari jalan Blora, Fredi yang dihantui oleh pocong tanpak kepala tanpa sengaja membunuh Mel. Ia pun menyembunyikan mayat Mel di dalam kulkas di apartemen yang sekarang ditempati Hilda dan menguncinya rapat-rapat. Kebetulan, karena malam itu Hilda sedang bersama Sandra, Fredi jadi ada kesempatan untuk mengambil mayat tersebut untuk kemudian dikuburkan diam-diam di jalan Blora.

Saat dikonfrontasi oleh Hilda dan Sandra, Fredi mendadak diserang oleh setan pocong hingga tewas.

Tanggal Rilis: 27 Agustus 2009
Durasi: 90 menit
Sutradara: Ian Jacobs
Produser: Jamal Hasan
Penulis Naskah: Ery Sofid, Nestor Katanya
Produksi: Imagine Pictures
Pemain: Arumi Bachsin, Monique Henry, Garneta Haruni, Fikri Baladraf, Abdurrahman Arif, Zidni Adam Jawas, Ridwan Ghani

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!!!

Teman-teman pasti pernah mendengar satu dua kisah mengenai seseorang yang terlalu bangga akan kemampuan atau materi yang ia miliki, lantas jadi lupa diri, berbuat serampangan, dan akhirnya berujung tragis. Itulah sepertinya yang cocok untuk menggambarkan film “Pocong Jalan Blora” secara keseluruhan.

Membalut sebuah cerita misteri sederhana dengan beberapa ‘jebakan’, di babak ketiga sutradara dan/atau penulis jadi lengah dan asal memaksakan berbagai adegan yang maksa dan melenceng dari jalur yang telah dibangun sejak awal. Padahal, jika hal tersebut tidak terjadi, cerita yang disajikan terbilang lumayan.

Fredi ditunjukkan sama sekali tidak pernah dihantui oleh sosok Mel yang telah ia bunuh. Alih-alih, sosok pocong tanpa kepala dan seorang anak kecil yang terus menterornya. Mau tidak mau ini membuat kecurigaan terhadap dirinya sebagai pembunuh Mel agak berkurang.

Sayangnya, justru keberadaan si poci kepala buntung sendiri yang super membingungkan. Tidak ada korelasi kenapa ia harus menteror Sandra dkk. Wong di jalan Blora mereka ditunjukkan tidak melakukan apa-apa. Hanya berkeliling dan melihat-lihat saja. Lebih aneh lagi saat si pocong lebih fokus menghantui Fredi. Apa mungkin Fredi adalah orang yang membunuhnya dulu? Dari suara dan gerak geriknya sih iya. Ya masa sebagai mahasiswa Fredi juga merangkap sebagai copet? Gak jelas lah pokoknya.

Tapi lebih gak jelas lagi saat Hilda mau buka pintu kulkas dengan cara digetok palu…

Eniwei, untuk urusan jump scare, tidak jauh berbeda dengan karya Ian Jacobs a.k.a Nayato Fio a.k.a Koya Pagayo lainnya. Terstruktur (alias sebagian polanya berulang) dan masif. Untungnya, sebagian cukup menghibur dan berkualitas. Misalnya, saat Josh duduk ternyata yang diduduki adalah pocong, hehehe.

Terakhir, dari segi akting, menurut saya pribadi yang tampil di atas rata-rata pemain lainnya adalah Fikri Baladraf sebagai Fredi. Dapet banget feel-nya sebagai cowok yang emosian di saat-saat tertentu.

Penutup

Mencoba bermain dengan twist dan plot jebakan, namun ujung-ujungnya justru “Pocong Jalan Blora” sendiri yang terjebak dalam kebingungan membuat penyelesaian akhir. Banyak adegan di babak ketiga yang terlihat dipaksakan dan tidak believable. Hantu pocong yang didapuk sebagai tokoh utama malah jadi bagian cerita yang paling tidak jelas. 2/10 untuk usahanya.

Catatan: rating bersifat subyektif dan berdasarkan preferensi pribadi

rf pocongjalanblora

Leave a Reply