Review Film Perempuan Tanah Jahanam (2019)

Saya happy. Bukan saja film ini benar-benar bagus, tapi akhirnya ada perwakilan orang tua yang tidak peduli pada masa depan anaknya secara psikologis kena batunya. Seorang emak-emak dengan pedenya mengajak anak laki-lakinya yang sepertinya masih SD dan baru pulang sekolah untuk nonton “Perempuan Tanah Jahanam” yang diberi label rating Dewasa (17+). Alhasil, saat satu demi satu adegan sadis bermunculan di layar, anak tersebut tidak lagi kuat menonton dan terlihat ketakutan. Semoga untuk ke depannya tidak hanya orang tua tadi saja yang menggunakan otaknya, namun juga ortu-ortu lainnya. Jangan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri. Ingat, rating film bukan sekedar tempelan!

Sinopsis Singkat

poster perempuantanahjahanam

Maya (diperankan oleh Tara Basro) tinggal di ibukota bersama sahabatnya, Dini (diperankan oleh Marissa Anita). Hari demi hari mereka lalui dengan penuh susah payah. Suatu ketika, Maya yang selama ini tidak mengenal orang tuanya mendapat informasi bahwa ada kemungkinan dia berasal dari keluarga kaya raya. Penasaran, Maya dan Dini lantas menuju desa tempat tinggal kedua orang tuanya dahulu… desa yang tanpa mereka sadari merupakan desa yang terkutuk.

Tanggal Rilis: 17 Oktober 2019
Durasi: 106 menit
Sutradara: Joko Anwar
Produser: Shanty Harmayn, Tia Hasibuan, Aoura Lovenson Chandra, Ben Soebiakto
Penulis Naskah: Joko Anwar
Produksi: Rapi Films, CJ Entertainment, Base Entertainment, Logika Fantasi
Pemain: Tara Basro, Marissa Anita, Asmara Abigail, Ario Bayu, Christine Hakim

Review Singkat

WARNING! Tulisan di bawah ini mengandung SPOILER!

Setelah sekian lama, akhirnya ada lagi film horor lokal yang membuat saya kesulitan mencari celah untuk mencela. Memang masih ada bagian yang terasa aneh dan bisa dipertanyakan, tapi saya dan sepertinya seluruh penonton dalam studio tadi keluar dengan perasaan puas.

Satu hal yang membuat perbedaan kualitas penulis naskah terlihat jelas antara “Perempuan Tanah Jahanam” dengan film-film horor lokal lainnya adalah dialognya. Tidak ada percakapan yang tidak jelas. Penonton juga tidak dipaksa untuk menebak-nebak maksud dan arah dialog yang ada. Tanpa kalimat bertele-tele, kita sudah paham maksud dari adegan demi adegan yang hadir.

Selain permainan angle kamera yang patut diacungi 4 jempol, kecerdasan Joko Anwar untuk menghadirkan momen mengejutkan di saat yang tidak terduga juga perlu diapresiasi. Baik mengejutkan dalam arti bikin kaget, maupun mengejutkan dalam arti bikin syok.

Lah bagaimana tidak syok. Adegan-adegan sadis yang di paruh awal seolah-olah tidak ingin diperlihatkan, makin ke belakang justru makin diobral. Pecinta film gore pastinya bakal senyum senyum sendiri melihatnya.

Selain adegan sadis, perlu diingat juga bahwa film ini mengandung unsur percakapan dewasa dan adegan khusus dewasa (walau di-blur). Jadi, seperti sudah saya sampaikan di atas, ini bukan film untuk anak-anak.

Untuk ceritanya sendiri, ada tiga hal yang mengganggu.

Pertama, saya tidak melihat jelas alasan Ki Saptadi (diperankan oleh Ario Bayu) melakukan pembunuhan terhadap Ki Donowongso (diperankan oleh Zidni Hakim), Nyai Shinta (diperankan oleh Faradina Mufti), dan beberapa orang lainnya. Kalau hanya kedua orang yang disebut pertama itu masih bisa dipahami, mungkin karena terpengaruh rumor mengenai hilangnya tiga orang anak perempuan sebagai tumbal untuk menyembuhkan Rahayu (nama asli Maya) saat ia masih balita. Herannya, ia juga membunuh pemain wayang yang lain.

Kedua, momen flashback yang dijembatani oleh adegan kesurupan seperti agak dipaksakan agar film punya benang merah yang kuat terhadap genre horor yang diusungnya. Saya rasa akan lebih menarik jika sebagian jawaban misteri tersebut terjawab dengan cara yang lebih ‘normal’, lebih terasa pas dengan filmnya.

Ketiga, hadirnya kembali Nyi Misni (diperankan oleh Christine Hakim) sebagai setan di akhir film. Ini sama dengan poin kedua. Malah lebih terasa dipaksakan lagi. Dan sama dengan di atas, saya juga bisa memahami alasannya — sebagai tongkat estafet apabila suatu saat nanti sequelnya hadir. Tapi tetap saja, lebih senang jika adegan tersebut tidak ada.

Pun begitu, secara keseluruhan cerita masih bisa diterima. Alurnya solid dengan laju yang sewajarnya. Tidak melompat-lompat ala kelinci, atau sebaliknya, terlalu lambat ala siput.

Kesimpulan

Tidak sulit untuk menasbihkan “Perempuan Tanah Jahanam” sebagai film horor produksi lokal terbaik yang hadir di tahun 2019 ini. Setidaknya hingga periode minggu ke-3 bulan Oktober. Sayangnya, film ini bukan untuk semua kalangan. Yang tidak terbiasa menonton genre horor sadis kemungkinan besar bakalan mual, terutama di babak ketiga. Tapi jika tontonan sekelas “Wrong Turn” dan “Saw” masih bisa membuat teman-teman duduk manis di kursi, selamat menyaksikan film ini sembari menyantap popcorn dan menyeruput soft drink.

Highly recommended!

rf perempuantanahjahanam

Leave a Reply