Review Film Kutuk (2019)

Menjelang pergantian tahun, saya mencoba melengkapi tontonan film layar lebar bertema horor yang terlewat di tahun 2019 ini. Total ada 5 judul yang tidak sempat saya saksikan di bioskop. Yaitu Kutuk, Roy Kiyoshi: The Untold Story, Suwung, Leak (Penangkeb), dan 11:11 (Apa Yang Kau Lihat). Sayangnya, setelah ubek-ubek berbagai layanan streaming digital, hanya judul pertama yang bisa saya temukan di Hooq. Sisanya nihil. Jadi, yah, selamat menikmati sinopsis dan review singkatnya, gaes.

Sinopsis Singkat

poster kutuk

Tanggal Rilis: 25 Juli 2019
Durasi: 1 jam 22 menit
Sutradara: Rudi Aryanto
Produser: Shandy Aulia
Penulis Naskah: Fajar Umbara, Shandy Aulia
Produksi: MD Pictures, Scene Avenue Movies, Open Door Films
Pemain: Shandy Aulia, Alice Norin, Stuart Collin, Vitta Mariana Barrazza, Bryan McKenzie, Laxmi Darra

Maya (diperankan oleh Shandy Aulia) melamar kerja di sebuah panti jompo. Ia mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari rekan sesama perawat, Gendis (diperankan oleh Vitta Mariana Barrazza). Sebaliknya, pemilik panti, Elena (diperankan oleh Alice Norin), justru menerimanya dengan ramah. Sayangnya, sejak pertama kali menginjakkan kakinya di dalam panti, Maya sudah mengalami hal-hal yang misterius. Teror demi teror terus ia alami. Bahkan, Reno (diperankan oleh Bryan McKenzie), pria yang ngekos di dekat panti, sempat menyarankan Maya untuk meninggalkan panti tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?

Review Singkat

WARNING! Tulisan ini mengandung SPOILER!!!

Satu pesan moral yang langsung bisa saya terima tanpa perlawanan pasca menonton film ini adalah, sesuatu yang berlebihan tidaklah baik bagi kita.

Pertama, jump scare yang berlebih.

Sejak awal sutradara Rudi Aryanto sudah mencoba untuk menakut-nakuti penonton dengan berbagai formula film horor. Mulai dari pintu yang terbuka sendiri, suara gedoran keras dari balik lemari, kemunculan makhluk halus secara mendadak saat karakter berbalik badan, dan lain sebagainya. Sayangnya, karena sudah sedari awal diobral, justru adegan-adegan tersebut terasa hambar dan tidak ada maknanya bagi perkembangan alur cerita.

Usaha keras meng-horor-kan cerita juga berimbas pada lupanya para penulis naskah untuk menghadirkan cerita yang solid dan masuk akal. Tidak sedikit lubang dalam cerita dan detil yang terlewatkan. Seperti baju yang melekat pada mayat Aliya. Saat Maya pertama membuka ruang bawah tanah dan melihatnya, baju tersebut terlihat bersih. Sementara saat roh Aliya keluar dari ruang bawah tanah untuk membalas dendam, bajunya terlihat kotor berlumuran tanah dan debu.

Yang paling menggelikan adalah saat ada salah satu penghuni panti yang dibunuh dengan cara ditusuk perutnya berulang kali oleh Elena, namun ia sekarat dan menghembuskan nafas terakhir dengan memegangi lehernya. Waduh.

Kedua, rangkat jabatan yang terlalu maruk.

Ini adalah film perdana Shandy Aulia dimana dirinya cawe cawe sebagai produser. Tidak itu saja, ia juga merangkap sebagai penulis naskah dan pemeran utama. Terbukti, keputusan yang ia ambil menjadi salah satu kekurangan terbesar dalam “Kutuk”. Dirinya sama sekali tidak cocok berperan sebagai Maya. Saya sama sekali tidak teryakinkan bahwa Maya dalam film ini benar-benar berniat untuk menjadi seorang suster perawat.

Kemungkinan besar film ini bisa lebih dinikmati jika pemeran utamanya bukanlah Shandy Aulia.

Di luar itu, film ini sebenarnya mencoba menghadirkan twist yang mengejutkan di babak ketiga. Dari segi aksi sebenarnya tidak jelek. Lumayan mencekam walau masih agak malu-malu menghadirkan adegan sadis. Sayangnya, semuanya itu sudah bisa ditebak sedari awal karena template cerita yang begitu begitu saja.

Petunjuk paling sederhana, saat ada karakter yang terlalu baik, biasanya dialah sosok antagonis yang sebenarnya. Apalagi jika diperkuat dengan adanya karakter yang terlalu jahat. Sudah pasti yang baik itu ‘penjahatnya’.

Dari 10 menit pertama saya sudah menduga bahwa misteri panti jompo pasti berkaitan dengan Elena. Kecurigaan langsung menguat begitu Elena menyatakan bahwa bangunan panti tersebut adalah warisan dari almarhum suaminya. As simple as that.

Dari segi sinematografinya sendiri sama sekali tidak ada masalah. Keren dan berkelas. Berbanding terbalik dengan dialognya, yang terdengar kacangan dan membosankan.

Kesimpulan

Debut Shandy Aulia di belakang layar memang agak mengecewakan. Namun setidaknya tidak seburuk “Kain Kafan Hitam”-nya Maxime Bouttier. Sungguh saya merindukan film-film horor lokal yang mampu menyuguhkan cerita yang tidak monoton dan twist yang out of the box. Sayangnya “Rasuk” gagal menghadirkan hal tersebut. Masih bisa ditonton, namun tidak istimewa dan tidak banyak yang bisa diharapkan.

rk kutuk

Leave a Reply