Dongeng Motivasi: Kambing Yang Tak Dianggap

Jika dalam dongeng sebelumnya ada karakter anyar bernama Danillo, kali ini hadir karakter baru lain yang bernama Gotik. Keduanya punya andil dalam insiden bendungan jebol yang terjadi di “Petualangan Rufi Rusa“.

Sebelum itu diungkap, ada baiknya kita berkenalan dulu lebih dekat dengan Gotik. Siapa sebenarnya kambing berbulu hitam tersebut? Bagaimana sifat dan kepribadiannya?

Temukan jawabannya dalam cerita dongeng “Kambing Yang Tak Dianggap” berikut ini.

Perkenalan Karakter

Karakter utama dalam dongeng motivasi kali ini adalah Gotik, Poka, Beka, dan Cabi.

Gotik, kambing jantan dewasa. Bulunya berwarna hitam pekat. Introvert dan suka menyendiri.

Poka dan Beka, bebek ABG bersaudara. Bandel dan suka berprasangka buruk pada binatang lain.

Cabi, babi jantan, sepantaran dengan Poka. Anak mama. Tidak berani mengambil keputusan sendiri. Lugu sehingga sering dibohongi oleh binatang lain.

Karakter pendukung dalam cerita kali ini, baik yang ikut terlibat maupun hanya disebutkan namanya, adalah Buntil, Danilo, dan monyet besar bertato.

Kambing Yang Tak Dianggap

Gotik si Kambing Hitam berdiam diri di tempat tidurnya. Sudah masuk tahun ketiga semenjak istrinya, Buntil, pergi untuk menjadi TKH (Tenaga Kerja Hewan) di West Isle. Masih ada 2 tahun lagi sebelum ia dijadwalkan untuk pulang.

Tiga tahun belakangan ini Gotik memang lebih sering menyendiri. Jika tidak sedang bekerja, waktunya ia habiskan untuk melamun. Ia membayangkan betapa bahagianya nanti jika Buntil sudah kembali bersamanya lagi. Saking seringnya melamun, Gotik jadi jarang mandi. Bulu hitamnya kini lusuh dan dekil. Baunya? Tidak perlu ditanya.

Gotik sendiri adalah tukang batu yang mumpuni. Segala hal yang berhubungan dengan batu bisa ia kerjakan. Mulai dari menambangnya dari Bukit Timur maupun Pegunungan Granica,  memahatnya, hingga menyusunnya hingga menjadi karya seni yang enak dipandang.

Hanya satu yang tidak bisa ia lakukan dengan batu. Memakannya.

Sambil menghela nafas, Gotik bangkit dari tempat tidurnya.

“Ke perbatasan dekat air terjun aja deh hari ini,” ucapnya dalam hati. “Siapa tahu bisa dapat batu-batu merah lagi seperti minggu lalu.”

Ya, beberapa hari yang lalu Gotik menemukan beberapa butir batu kecil berwarna merah bata di perbatasan hutan dekat air terjun yang menuju lembah Rustig. Berkilauan seperti berlian. Gotik berniat untuk mengumpulkan lebih banyak lagi, memolesnya, dan menjadikannya kalung untuk Buntil.

Setelah meraih tas slempangnya, Gotik pun pergi meninggalkan rumah.


Saat Gotik mendekati jembatan Sungai KaliAja, pegangan jembatan tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Itu adalah hasil kreasi Danilo Kuda Nil, tetangganya. Banyak warga hutan yang berterimakasih karena berkat Danilo kini tidak ada lagi binatang yang tidak sengaja kecemplung sungai kala hendak menyeberang di malam hari.

“Ilmuwan Danilo itu memang hebat,” decak kagum Gotik.

Setelah melewati jembatan, Gotik melanjutkan langkahnya menyusuri sungai. Ia sempat melihat pak Beri Beruang tengah memancing ikan di dermaga. Tepat di seberang dermaga ada bu Beri Berang Berang yang berjemur dengan kursi malas di halaman rumahnya.

Sekitar 50 meter dari dermaga, terlihat Poka dan Beka Bebek serta Cabi Babi sedang bermain bola. Kedua bebek kecil itu terkenal bandel. Namun warga hutan sedikit banyak sudah memakluminya mengingat usia mereka yang memang masih tergolong ABG.

Beberapa saat kemudian tibalah Gotik di perbatasan hutan. Setelah sempat sejenak membayangkan betapa cantiknya Buntil saat mengenakan kalung batu merah buatannya, Gotik pun mulai fokus mencari batu-batu merah tersebut.


“Bosan nih main di sini terus,” ujar Poka Bebek,

“Aku juga,” timpal adiknya, Beka Bebek. “Kemana ya enaknya?”

“Bagaimana kalau di luar perbatasan hutan? Di pinggir jalan setapak yang menuju Lembah Rustig. Kita bisa main bola sambil petak umpet di sana,” usul Poka.

Cabi Babi memandang ke arah Poka dan Beka. Bergantian.

“Tapi mamaku tidak memperbolehkan aku main di sana,” ucap Cabi ragu.

“Ah tenang aja,” balas Poka, “kan dia tidak tahu.”

“Tapi…”

Sebelum sempat beradu argumen, Beka langsung meraih tangan Cabi dan menariknya agar ikut dengannya. Mau tidak mau Cabi menurut.

Tak lama mereka bertiga tiba di perbatasan. Tidak jauh di hadapan mereka ada Gotik yang sedang mengamati batu-batuan di tanah.

“Eh, ada si kambing dekil tuh,” bisik Poka.

“Iya. Kabarnya kan dia bau banget karena jarang mandi,” tambah Beka, juga berbisik.

“Jangan begitu ah, gak enak tau kalau dia dengar,” timpal Cabi sembari menundukkan kepalanya.

“Ih, lagian kan emang dia lusuh, buluk, dan bau. Gak salah dong,” ucap Beka dengan sedikit ngegas.

“Sudah, ayo jalan cepat biar tidak ketularan bau,” ajak Poka sambil mendorong Beka dan Cabi.


“Yes, ada lagi,” ucap Gotik girang sembari mengepalkan tangan kanannya. Total sudah ada 13 batu merah yang berhasil ia temukan.

“Dua atau tiga batu lagi rasanya sudah cukup untuk dijadikan kalung,” tambahnya.

KRAKKK.

Samar-samar terdengar suara ranting terinjak dari arah luar perbatasan.

GRUDUK GRUDUK GRUDUK.

Gotik menoleh kaget ke arah sumber suara. Ada Poka, Beka, dan Cabi berlari tunggang langgang ke arahnya.

“Tolong kami,” pinta Poka dengan nafas terengah-engah, “Kami dikejar monyet besar bertato.”

Melihat wajah ketakutan mereka, ditambah dengan Cabi yang sepertinya menahan tangis, Gotik tidak membuang waktu.

“Cepat sembunyi di balik semak-semak,” ujarnya sembari menunjuk ke arah semak-semak yang ada di belakangnya. “Jangan bergerak dan bersuara sampai ku beri tanda, ya.”

Poka, Beka, dan Cabi bergantian melangkah ke balik semak yang memang cukup lebat itu. Setelah memastikan ketiganya tidak terlihat dari depan, Gotik sengaja berdiri di depan semak-semak tersebut dan dengan tenang menunggu kedatangan monyet besar bertato yang dimaksud.

7 detik kemudian monyet itu tiba. Terlihat bola yang sebelumnya dimainkan Poka cs ia genggam di tangan kirinya.

“Mana mereka?” tanya si monyet dengan nada emosi pada Gotik.

“Mereka siapa?” balas Gotik pura-pura lugu.

“Dua bebek dan babi kecil. Tadi mereka lari ke arah sini,” ucap si monyet.

“Aku dari tadi di sini dan tidak melihat mereka sama sekali,” jawab Gotik tenang.

Si monyet terdiam. Ia menolehkan pandangannya ke kiri dan kanan. Matanya sempat memicing melihat semak-semak di belakang Gotik. Tapi karena semak-semak tersebut tidak bergerak, kecurigaannya lambat laun hilang.

“Ya sudahlah,” ucap si monyet sambil mendengus dan pergi meninggalkan Gotik.

Setelah memastikan si monyet tidak lagi terlihat, Gotik memanggil Poka, Beka, dan Cabi agar keluar dari semak-semak.

Satu persatu bermunculan dengan wajah lega.

“Kamu sih tadi nendangnya ngawur,” ucap Beka sambil mendorong lengan Poka.

“Ah, kan gak sengaja,” balas Poka bergaya tengil. Sikapnya sudah kembali normal, berbeda 180 derajat dengan saat sebelumnya minta tolong pada Gotik.

“Terima kasih, ya,” ujar Cabi pada Gotik, “Kalau tadi tidak ditolong, bisa saja kita…”

“Jadi bau,” potong Poka. “Ayo cepat kita pergi dari sini, sebelum ketularan bau.”

“Eh, tapi…”.

Cabi merasa tidak enak pada Gotik yang sudah menolong mereka. Namun ia juga tidak bisa meneruskan kata-katanya karena sudah keburu ditarik menjauh oleh Poka dan Beka.

Melihat ulah mereka, Gotik hanya terdiam sambil menghela nafas. Panjang.

Pesan Moral

Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah:

Jangan menilai orang lain (atau sesuatu) dari penampilan luarnya.

dongeng motivasi

Leave a Reply